Guru bagi Ibu-ibu di Pelosok
Pendidikan formalnya hanya tamat sekolah dasar, tetapi keinginan dia berbagi begitu besar. Lewat kelompok belajar bersama, Nurma (34) mengajari ibu-ibu di pelosok desa membaca, menulis, dan berhitung.
Seusai menyeduh kopi untuk suaminya, Nurma bergegas ke beranda rumah. Di sana murid-muridnya menunggu. Sabtu (16/9) siang itu, seperti biasa kelompok belajar Ariga di Desa Melidi, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, belajar bersama.
Yang hadir hari itu hanya lima orang dari jumlah murid 27 orang. Maklum saja, peserta kelas belajar adalah ibu-ibu rumah tangga yang tidak bisa selalu hadir saat jadwal belajar tiba. Maklum, mereka harus membagi waktu antara urusan rumah, ladang, dan belajar.
Kelompok belajar Ariga tidak memiliki ruang kelas. Beranda rumah panggung milik Nurma digunakan sebagai tempat belajar. Mereka duduk bersila di lantai papan. Hari itu, Sediria (28) dan Nur Kasih (30) ikut memboyong anaknya yang baru berusia dua tahun.
Nurma mengeluarkan papan tulis dan menyandarkan di dinding dekat pintu. Sejurus kemudian, tangannya menuliskan kalimat-kalimat pendek ”Ini sikat gigi. Mulut saya satu. Nana sakit gigi. Surat dari paman”. Nurma membaca tulisan itu lalu diikuti serentak oleh yang lain. Ia kemudian meminta ibu-ibu peserta didik untuk menyalin tulisan itu ke buku masing-masing.
Seusai pelajaran baca tulis, materi dilanjutkan dengan matematika dasar. Nurma memberikan soal penjumlahan. ”Pelajarannya yang dasar-dasar saja, yang penting mereka bisa membaca dan tambah kurang,” kata Nurma.
Prihatin
Nurma lahir di Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang. Dia menikah dengan Ajisah, pria Desa Melidi. Pada 2007, Nurma menetap di kampung suaminya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bertani di ladang.
Melidi sebuah desa terpencil di Aceh Timur. Meski berada di Aceh Timur, desa itu harus ditempuh melalui Aceh Tamiang karena tidak ada jalan darat penghubung ke Melidi.
Satu-satunya transportasi melalui sungai menggunakan perahu kayu bermesin tempel. Dari Kuala Simpang butuh waktu tiga jam menyusuri sungai ke Melidi.
Pada 2010 atau setelah tiga tahun tinggal di Melidi, Nurma aktif sebagai kader kesehatan desa dan posyandu. Suatu hari, seorang ibu menanyakan cara membuat oralit. Padahal, pada buku petunjuk sudah ada penjelasan cara membuat oralit atau campuran garam dan gula. Ternyata ibu itu tidak bisa membaca. Persoalan itu juga dialami kebanyakan ibu-ibu di sana.
Merasa prihatin melihat ibu-ibu di sana yang banyak buta huruf, Nurma berinisiatif membuka kelas belajar khusus bagi ibu-ibu. Niat baik itu mendapat restu dari suami. Bahkan, suaminya ikut membantu mencari perlengkapan belajar.
Dia mulai bergerilya mencari murid. Tidak mudah mengajak ibu-ibu yang rata-rata sudah berkepala tiga ikut belajar membaca. Beberapa kali orang yang diajak menolak. Alasannya mereka malu sudah tua masih belajar membaca.
Nurma tidak menyerah, ia mendatangi rumah-rumah. Usaha berbuah hasil. Ada 10 ibu yang bersedia menjadi peserta kelompok belajar. ”Pada hari pertama, dari 10 yang bilang bersedia, yang datang hanya tiga. Tidak masalah, yang penting ada niat belajar,” kata Nurma.
Namun, lambat laun, peserta semakin bertambah. Ibu-ibu yang semula malu sudah mau ikut setelah melihat teman-temannya belajar di sana. Pertemuan dua kali dalam seminggu. Mereka belajar mengenal huruf, mengeja, menulis, membaca, dan matematika dasar.
Gerakan Nurma kini berbuah hasil, anggota kelompok belajar itu sudah bisa membaca dan menulis. Setidaknya mereka sudah bisa mendampingi anak mengerjakan tugas sekolah. Bahkan, ada anggota yang buka warung kelontong sudah bisa membuat faktur jual beli.
Ubah paradigma
Nurma sendiri bersekolah hanya sampah sekolah dasar. Kemiskinan memaksanya menguburkan mimpi bersekolah tinggi. ”Orangtua tidak punya biaya. Mereka bilang, untuk apa sekolah tinggi-tinggi, nanti juga jadi ibu rumah tangga,” kata Nurma menahan sedih.
Apa yang dialami Nurma sejatinya juga dialami perempuan lain di Melidi. Kesulitan ekonomi dan kuatnya budaya patriarki membuat perempuan kerap dinomorduakan untuk memperoleh pendidikan formal.
Nurma ingin mengubah paradigma itu. Baginya perempuan juga punya hak untuk pintar karena perempuan adalah guru pertama bagi anak-anak di rumah sebelum dididik guru di sekolah.
Nurma yang memiliki tiga anak, semuanya perempuan, ingin anak-anaknya bersekolah tinggi. Meski mereka tinggal di desa terpencil, mimpi untuk meraih cita tidak boleh pudar. ”Apa yang saya alami jangan sampai terulang pada anak-anak,” kata Nurma.
Suaminya, Ajisah, mengaku bangga melihat gebrakan Nurma yang memberikan manfaat besar bagi warga. ”Meski tidak diupah, dia sanggup mengurus kelompok belajar itu bertahun-tahun. Hasilnya sudah terlihat, ibu-ibu yang dulu tidak mengenal huruf kini sudah bisa membaca,” ujar Ajisah.
Nurma dan Ajisah menginginkan adanya pustaka di desa mereka agar anak-anak dan warga dapat mengisi waktu luang dengan membaca. Mereka kini sedang berupaya mewujudkannya.