”Barista” dari Lereng Gunung Kelir
Sedari awal, Ngadiyanto yang tinggal di Dusun Sirap, Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, hanya ingin petani kopi untung.
”Sekitar 14 tahun lalu, kopi hanya dihargai Rp 4.000 per kilogram. Padahal, harga itu nyawa kedua bagi petani kopi, mengingat kopi satu-satunya komoditas andalan petani di Sirap,” kata Ngadiyanto, awal Oktober.
Kala itu, tata niaga kopi di kawasan perbukitan yang terletak sekitar 60 kilometer di selatan pusat Kota Semarang tersebut masih dikuasai tengkulak. Untuk itu, dia mulai mendorong petani agar bersatu dalam kelompok dan memiliki kesadaran bersama guna meningkatkan kesejahteraan. Kopi harus dipasarkan secara kolektif, serentak dalam jumlah banyak.
Upaya penyadaran petani kopi yang tergabung dalam 16 kelompok tani itu mulai dirintis sejak 2010. Cita-citanya memasarkan kopi Gunung Kelir, hasil perkebunan rakyat yang meliputi Desa Kelurahan, Bedono, Gemawang, dan Brongkol seluas 1.100 hektar lewat satu pintu pun mulai dirintis.
Ngadiyanto berkisah, sebelum 1985, mayoritas petani lereng Gunung Kelir menanam tanaman hortikultura, seperti bawang merah, singkong, padi, dan jagung. Namun, tanaman-tanaman tersebut justru membuat lahan lereng bukit, khususnya di Dusun Sirap, kerap longsor. Bahkan, pernah terjadi longsor besar sekitar 1975.
Perbukitan Gunung Kelir berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, berada di tepi jalan utama rute Semarang-Magelang. Kawasan ini diapit lahan perkebunan besar kopi dan cokelat.
Tidak seperti desa lain yang sudah turun-temurun mengelola kebun kopi, petani Dusun Sirap baru intensif beralih ke tanaman kopi setelah 1990. Kebanyakan berjenis robusta. Kini, terdapat 80 petani dengan lahan garapan 35 hektar dengan hasil sekali panen mencapai 220 ton.
Namun sayang, berkembangnya komoditas ini tidak dibarengi dengan pengembangan sumber daya petani. Hingga 2005, dari 16 kelompok tani kopi di kawasan Gunung Kelir, hampir 80 persen kondisinya mati suri. Kondisi ini di antaranya akibat petani memilih menjual langsung kopinya kepada tengkulak.
Menyatukan petani
Akhirnya, setelah terpilih menjadi ketua gabungan kelompok tani (gapoktan) pada 2003, Ngadiyanto giat memberdayakan 16 kelompok tani yang membawahi 3.660 petani kopi. Dengan posisinya sebagai ketua gapoktan, Ngadiyanto lebih mudah menjalankan misinya untuk memasarkan kopi lewat satu pintu. Pemasaran hanya melalui gapoktan, tidak lagi perorangan seperti sebelumnya.
”Saya coba mengajak tokoh-tokoh petani kopi dari setiap kelompok. Mereka selalu disertakan jika ada kegiatan penyuluhan atau pelatihan yang terkait upaya meningkatkan ekonomi petani kopi. Hasilnya, perlahan kelompok tani bangkit,” ujar Ngadiyanto.
Salah seorang anggota bidang pemasaran Gapoktan Gunung Kelir, Suradji (45), mengakui, pendekatan harga jadi kunci Ngadiyanto mengajak petani untuk tidak lagi mudah menjual kopi hasil panen kepada tengkulak. Biasanya, petani menjual kopi basah dengan harga murah karena terdesak kebutuhan uang.
Untuk itu, gapoktan berkomitmen membantu kebutuhan mendesak para petani, seperti uang sekolah anak atau kesehatan. Syaratnya, petani menyetor hasil kopi ke gapoktan.
Ngadiyanto menuturkan, gapoktan butuh modal besar guna menciptakan skema pemasaran satu pintu untuk hasil kopi Gunung Kelir. Caranya, gapoktan tidak lagi berhubungan dengan pedagang atau tengkulak. Mereka langsung membangun jaringan kerja sama bisnis dengan sejumlah eksportir kopi di Magelang, Temanggung, dan Semarang.
Jika pedagang membeli kopi petani hanya Rp 18.000 per kilogram, misalnya, gapoktan minta eksportir membeli seharga Rp 20.000 per kilogram. Ada tiga eksportir yang sudah bekerja sama memasarkan kopi petani, termasuk PT Taman Delta Indonesia, Semarang, serta Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI).
Menyadari kopi robusta kebun kopi Gunung Kelir memiliki aroma khas, Ngadiyanto juga berinisiatif belajar dari para peneliti Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Petani kemudian diajak menjaga kualitas dan aroma kopi Java Mocha khas Gunung Kelir.
Varian kopi ini punya riwayat panjang dalam budidaya kopi di Jateng. Gunung Kelir, yang merupakan perbukitan, pada era kolonial diapit perkebunan besar dengan dominasi komoditas cokelat.
Petani diajak beralih ke pemupukan organik. Pupuk organik membantu tanaman kopi mempertahankan kualitas biji yang lebih bernas. Selain itu, hasil panen juga dapat dioptimalkan hingga lebih dari 1,8 ton per hektar.
Gapoktan juga mendirikan rumah pengolahan kopi supaya petani tidak lagi hanya menjual kopi basah dan kopi kering semata. Rumah pengolahan itu dibangun di setiap desa agar lebih dekat pada hasil panen. Pengelolaannya diserahkan kepada kelompok tani.
Rumah pengolahan kopi dilengkapi sejumlah alat pengolah modern. Petani pun mampu menyediakan kualitas kopi di semua level.
Ngadiyanto juga mendorong petani melakukan peremajaan tanaman. Dalam 10 tahun terakhir ini, banyak tanaman kopi diremajakan dengan bibit bantuan instansi perkebunan Pemerintah Kabupaten Semarang dan Provinsi Jateng.
Untuk mengembangkan skala usaha, Ngadiyanto memodifikasi gapoktan menjadi lembaga ekonomi desa sejak 2015 dari bantuan modal kredit lunak sebuah BUMN sebesar Rp 850 juta.
Kini, kopi Java Mocha diekspor ke sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Australia, Jepang, Singapura, dan Perancis. ”Hampir 70 persen hasil panen kopi untuk keperluan ekspor, sisanya pasar regional,” tutur Ngadiyanto.
Kini, nilai ekonomi yang berputar dari komoditas kopi Gunung Kelir ini diperkirakan mencapai Rp 3 miliar dalam setahun. Harga berhasil dijaga, berkisar Rp 28.000 per kg-Rp 30.000 per kg. Tak jarang hasil panen kopi petani juga menyuplai pabrik PTPN IX.
Kini, Ngadiyanto mulai menggandeng anak-anak muda di kampungnya mengelola kedai kopi di tengah rimbunnya kebun kopi Dusun Sirap. Diharapkan, kecintaan dan kebanggaan anak-anak petani kopi terhadap hasil jerih payah orangtuanya tersemai sejak dini.