Membuka Ruang Dialektika
Jelang tengah hari yang panas, Selasa (19/9), Luthfi kedatangan tamu Sosiawan Leak, penyair dari Solo, Jawa Tengah. Di teras rumahnya yang terhubung dengan warung kopi di Kalimetro itu, mereka bersiap membedah buku Kata Tidak Sekedar Melawan-Gerakan Puisi Menolak Korupsi karya Leak dan kawan-kawan.
Luthfi menjadi tuan rumah bedah buku sekaligus memberi dukungan(endorsement) pada buku tersebut bersama dosen Universitas Negeri Malang Joko Sardono dan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto. ”Habis ini mau safari. Setelah bedah buku dan diskusi di sini, besok ada acara diskusi di Madura dan Surabaya. Temanya sama, soal korupsi,” ujarnya.
Luthfi tidak hanya sering terlibat diskusi korupsi di sejumlah tempat. Sebelumnya, 7 September lalu, pria supel ini mewakili Museum Omah Munir, Batu. Di hadapan puluhan mahasiswa salah satu kampus di Malang, ia memberikan sambutan pada acara peringatan 13 tahun kepergian pejuang HAM Munir Said Thalib yang hingga kini belum terkuak siapa auktor intelektualis di balik kematiannya.
Kalimetro sebagai ”pedepokan” lebih terlihat sebagai ruang publik ketimbang rumah tinggal. Lokasinya di pinggir sawah dan masih teduh oleh rindang pepohonan. Konsep bangunannya sederhana, berdinding batu bata. Ruang—dilengkapi bangku-bangku kecil dan gazebo—di antara bangunan ini biasa dipakai sebagai tempat nongkrong, ngobrol, diskusi, hingga menggelar pameran foto.
Di sisi paling barat terdapat markas Malang Corruption Watch (MCW)—lembaga antikorupsi yang didirikan Luthfi tahun 1999. Di sebelahnya terdapat kantor sekaligus gudang Intrans Publishing dan Intrans Institut (lembaga riset yang menerbitkan jurnal Transisi dan laman transisi.org).
Ada juga koperasi warga dan Indonesia Safe House (lembaga baru yang didirikan khusus memerhatikan anak berhadapan dengan hukum/ABH). Kalimetro juga menjadi kantor redaksi Terakota—wadah bagi jurnalis di Malang yang ingin menuangkan gagasan di bidang kesenian, sejarah, sastra. Semua didirikan oleh Luthfi dan mendapat dukungan penuh kawan-kawannya.
Setiap hari denyut aktivitas di Kalimetro terus berjalan dan saling mendukung. Intrans Publishing, misalnya, terus memproduksi buku-buku baru. Setiap bulan ada 9-12 judul buku diterbitkan. Temanya merentang mulai politik, hukum, sosial, filsafat, ekonomi, pertanian, hingga teknik. ”Setiap bulan harus ada buku baru,” ujarnya.
Harus bersih
Intrans Publishing bukan sekadar muara dari kegiatan berdialektika. Lembaga ini bersama warung kopi yang ada telah menopang unit dan kegiatan lain yang ada di Kalimetro, termasuk MCW. Luthfi tidak ingin setiap saat meneriakkan slogan lawan korupsi, namun asap dapur anggotanya terganggu. Mereka sadar bahwa bekerja pada lembaga yang demikian harus bersih dari praktik korupsi (zero corruption).
”Kami, gerakan masyarakat, tidak bergantung sepenuhnya pada lembaga donor. Harus dipikirkan soal pembiayaan hingga akhirnya tercetus soal penerbitan,” katanya. Ia lalu bercerita bahwa dua tahun MCW berdiri sempat terancam gulung tikar lantaran tidak ada orang dan sumber dana. Hingga akhirnya terbesit ide untuk mengumpulkan hasil riset dan catatan-catatan advokasi menjadi produk akademik berupa buku.
Luthfi dan teman-teman yang punya kebiasaan menulis dan narasumber diskusi itu melakukan konsolidasi untuk mewujudkan idenya. Setelah penerbitan berjalan, sebagian royalti yang didapat kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Sebagian lagi dipakai untuk membiayai gerakan.
”Jangan sampai kegiatan pengawasan terganggu oleh kegiatan pembiayaan organisasi,” ucap pengajar di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Malang itu. Bagi Luthfi, seorang aktivis harus mampu secara ekonomi sehingga ketika menghadapi pejabat yang korup mereka punya kemandirian memperjuangkan idealisme. Tidak gampang terpengaruh dan membelot.
Sejauh ini, baru ada empat buku karya Luthfi sendiri dan belasan judul yang ditulis bersama. Buku yang ditulis sendiri, antara lain, Paradigma Kebijakan Pelayanan Publik (2007), Pendidikan untuk Semua (2005), dan Anggaran untuk Siapa (2003).
Ruang diskusi
Di luar urusan internal dan sinergi antar-unit, Luthfi mengharuskan semua unit yang ada di Kalimetro bisa membuka ”ruang” diskusi. Bagaimana membahas permasalahan semua persoalan, mulai dari tentang kota, pendidikan, perburuhan, hukum, hingga kesenjangan sosial, dan kemiskinan yang sebelumnya remang-remang menjadi gamblang dan pada akhirnya diperhatikan pemangku kepentingan.
Beberapa bulan terakhir, misalnya, warung Kalimetro juga berupaya meningkatkan kesejahteraan sebagian petani kopi di Tirtoyudo, Kabupaten Malang. Luthfi mendatangkan kopi dari petani, yang semula terjebak harga sangat rendah Rp 8.000-Rp 10.000 per kilogram oleh tengkulak menjadi harga layak dan menguntungkan petani Rp 30.000 kilogram. Meski belum banyak, langkah ini memberi harapan baru bagi petani setempat.
Begitu pula tentang anak-anak yang berhadapan dengan hukum, yang hingga kini belum ada lembaga khusus bisa mengadopsi mereka secara ideal. Meski mereka bersalah, pelaku yang masih anak-anak harus mendapat pembinaan yang baik demi masa depannya. Keberadaan Indonesia Safe House di Kalimetro diharapkan bisa mewujudkan hal itu.
Luthfi menyebut semua langkah yang dilakukannya berawal dari kegelisahan. Kegelisahan sebagai orang yang lahir dan tumbuh di sebuah desa miskin di Kabupaten Situbondo yang terbatas dari sisi akses pendidikan dan ekonomi. Ditambah pengalamannya bersinggungan dengan masyarakat kelas bawah di perkotaan, membuat Luthfi yakin bahwa semua yang terjadi disebabkan adanya kesalahan pengelolaan oleh pihak pengambil kebijakan. Semua itu bisa dibenahi.