Kesetiaan Sang Pelatih Tari
Tari-tarian Lombok sudah lama menjadi bagian dari hidupnya. Ia memang tidak mengenyam pendidikan formal di bidang seni tari, namun bakat dan pengalamannya belajar kepada sejumlah guru membawanya masuk ke dunia tari selama hampir dua pertiga usianya sekarang. Dan, sampai sekarang, ia tidak mau keluar dari dunia yang dicintainya itu.
Masykur belajar seni tari sejak kelas II Madrasah Aliyah Negeri 2 Mataram tahun 1993. Saat itu, seni tari menjadi program ekstrakurikuler bagi siswa di MAN itu. Tidak sekadar ikut, ia bahkan menjadi pentolan penari di sekolahnya. Ia nyaris tak pernah absen memperkuat barisan penari sekolahnya dalam berbagai pentas.
Telanjur cinta pada seni tari, Masykur berusaha memperdalam keahlian menari. Ia temui para penari senior untuk belajar tari gandrung dan tari rudat yang dikenal di kalangan masyarakat Sasak, Lombok. Namun, dalam perkembangannya, ia fokus menekuni tari kreasi sambil mempertahankan warna Lombok. Ia melakukan itu untuk menarik minat anak muda yang sebagian besar sudah hanyut dalam budaya pop. Terlebih lagi anak muda di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Senggigi, Lombok Barat, yang merupakan daerah wisata.
Setelah lulus MAN tahun 1994, Masykur sejatinya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, tetapi tidak punya biaya. Ia lalu memutuskan merantau ke Jakarta untuk belajar tari di Sanggar Seni Dangdut dan Jaipongan Gelanggang Remaja Jakarta. Sejak saat itu, hidupnya dipenuhi dengan jadwal latihan dan pentas.
Di luar jadwal itu, Masykur harus memutar otak untuk mencari penghidupan karena honor yang didapat dari kegiatan pentas sangat minim. Masykur akhirnya menjadi pedagang sayur keliling untuk menambah penghasilan.
Pulang kampung
Setelah dua tahun malang melintang di Jakarta, Masykur memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Dusun Loco, Desa Senggigi, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, pada 1997. Pengalaman belajar tari di Gelanggang Remaja Jakarta ia gunakan di kampung halaman. Ia membentuk Sanggar Seni Nurul Iman. Lewat sanggar itu, ia melatih mulai dari anak TK dan SD, siswa SMA, hingga mahasiswa.
Sanggar itu sederhana. Latihan menari dilakukan di halaman rumah dengan peralatan seadanya. ”Untuk memutar lagu pengiring ada tape recorder bekas dan salon (sound system) pemberian almarhumah Ibu Galuh Marhaeni, Camat Batu Layar saat itu,” kata Masykur saat ditemui pertengahan September lalu di rumahnya.
Kami berbincang-bincang dengan Masykur di berugak, semacam saung khas Lombok, di depan rumahnya yang dipenuhi tas keresek berisi pakaian adat Sasak. Ia bercerita, dengan fasilitas seadanya, sanggar yang ia dirikan lambat laut dikenal masyarakat. Masykur mendapat julukan ”Pantasi” sehingga namanya kemudian menjadi Masykur Pantasi.
Pantasi adalah singkatan dari ”pelatih seni daerah dan kreasi”. Julukan itu ia peroleh karena sangat aktif mengajar tari, tidak hanya di sanggar, tetapi juga di sekolah-sekolah. Ia, misalnya, menjadi guru honorer tari di 17 sekolah. Di luar itu, ia memberikan les tari di 8 PAUD, 36 SD, 12 madrasah ibtidaiyah, 36 SD, 12 madrasah tsanawiyah, 11 SMP, 10 SMA, dan 4 perguruan tinggi. Sekolah-sekolah itu tersebar di banyak lokasi di Pulau Lombok, yang membuat Masykur harus ”akrobat” mengatur waktu.
Selain mengajar, ia juga kerap terlibat dalam kegiatan festival atau karnaval tingkat kabupaten dan provinsi. Pada acara seperti itu, Masykur biasanya menampilkan tari kreasi yang temanya digali dari sejarah, kehidupan sosial, dan budaya masyarakat Sasak. Beberapa di antaranya adalah tari Kadal Nongak (tengadah) yang mengandung petuah dan nasihat agar orang tidak congkak serta tari Aik Engger Mangkok Sie (sumber mata air dan batu garam) yang digali dari aktivitas keseharian penduduk dan cerita rakyat di wilayah Kecamatan Batu Layar.
Tarian ini menggambarkan, warga harus naik-turun bukit menuju sumber mata air yang berlokasi di sebuah batu sebagai tempat peristirahatan para musafir di masa lalu.
Tukang sayur
Meski keseharian Masykur padat dengan jadwal mengajar tari dan pentas, kegiatan kesenian itu tidak menjamin kehidupan yang layak. ”Soal upah atau honor, buat saya itu memang nomor sekian. Yang penting bagi saya adalah kemauan, siapa saja yang mau belajar menari, dengan senang hati saya layani,” ujarnya.
Masykur memang tidak bisa mengandalkan hidupnya dari kegiatan menari. Karena itu, ia banting tulang sebagai tukang sayur keliling, sama seperti yang pernah ia lakukan di Jakarta. Kadang ia juga menjadi tukang ojek atau tukang parkir.
Sepulang mengajar, ia biasanya berburu rupa-rupa kebutuhan pokok. Barang-barang itu kemudian ia jajakan keliling kampung dengan sepeda motor bututnya. Jika sedang tidak mengajar, ia berjualan sayur, kelapa, dan beras di Pasar Kota Ampenan, Mataram.
Banyak suka dan duka yang ia hadapi. Suatu ketika, ia membawa 50 kilogram beras dengan sepeda motornya. Beras itu dipesan sejumlah warga dusun tetangganya yang bermukim di perbukitan obyek wisata Senggigi. Di sebuah tanjakan terjal, beras itu jatuh dan tumpah. Sebagian besar beras yang tumpah bisa ia selamatkan. Namun, sebagian beras yang seharusnya menjadi laba tak bisa diselamatkan. Ia tidak merugi, tetapi tak dapat untung sama sekali. Itu artinya, ia tak bisa pulang membawa uang untuk anak istri.
Sebelum pulang, ia memilih singgah beberapa jam di lokasi parkir di obyek wisata. Agar bisa pulang membawa uang, ia menjadi tukang parkir dadakan. Setelah mendapat upah jasa parkir Rp 25.000, Masykur baru berani pulang.
Selain berjualan sayur dan beras, ia juga berjualan pakaian adat di sekolah tempat ia melatih tari. ”Pakaian-pakaian adat ini milik orang lain, saya hanya membantu menjual,” kata Masykur yang mendapatkan untung Rp 5.000-Rp 10.000 dari sepotong pakaian adat yang bisa ia jual.
Tidak jarang Masykur mendapat hambatan di jalan sepulang mengajar. Sepeda motornya pernah mogok sepulang ia mengajar tari di Desa Loloan, Lombok Utara. Masykur harus mendorong sepeda motor dan berjalan kaki sekitar 40 kilometer sampai rumahnya. Ia juga pernah mendorong sepeda motornya yang mogok sejauh 35 kilometer sepulang mengajar di sebuah sekolah dasar di Desa Tebaban, Lombok Timur.
Pengalaman tak mengenakkan seperti itu buat Masykur sekadar bunga-bunga dalam kehidupannya sebagai seniman tari. ”Itu (motor mogok dan berjualan keliling) dukanya jadi seniman. Tetapi, duka itu berubah menjadi suka ketika apa yang saya ajarkan kepada anak-anak bisa diikuti dengan baik. Malah banyak anak asuh saya yang meraih juara dalam lomba tari tingkat Provinsi NTB,” ucap Masykur.