Melawan HIV/AIDS di Lokasi Rawan
Harjana Nanang Suryadi yang biasa disapa Nanang adalah Koordinator Bidang Infeksi Menular Seksual Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir, Riau (sekitar 200 kilometer utara Pekanbaru). Fokus utama pekerjaannya adalah mengurangi risiko penularan HIV/AIDS.
Dalam menjalankan tugas, bapak tiga anak berusia 40 tahun itu kerap bersinggungan dengan bisnis prostitusi. Senin (27/11) malam, Kompas ikut bersama Nanang mendatangi beberapa lokasi rawan penyebaran HIV/AIDS di sepanjang jalan lintas timur Sumatera, wilayah Kabupaten Rokan Hilir.
Dia menyebut lokasi rawan dengan istilah hotspot. Tempat yang didatangi adalah warung-warung dan kafe-kafe kecil yang halamannya dipenuhi truk yang parkir. Warung dan kafe di sana biasanya menyediakan perempuan penjaja seks. Bangunan warung dan kafe hampir seluruhnya berdinding kayu, beratap seng, asbes, atau daun rumbia.
Di dalam bangunan terdapat ”kamar eksekusi”, istilah untuk tempat praktik penjaja seks, berukuran antara 8 meter persegi dan 12 meter persegi. Tidak ada kamar mandi di dalam. Tidak ada pula ranjang empuk berharga mahal. Yang tersedia hanya kasur lipat tipis yang diletakkan di lantai. Kamar itu kumuh, gelap, dan pengap.
”Jumlah hotspot di Rokan Hilir mencapai 113 titik. Tersebar di 15 kecamatan, mulai dari pinggir jalan, di dekat permukiman penduduk, sampai ke tepi laut. Lokasi itu sangat rawan. Dalam lima tahun terakhir, orang dengan HIV/AIDS mencapai 200 orang. Di wilayah kami, terdapat 24 orang dengan HIV/AIDS dan 9 di antaranya meninggal,” ujar Nanang.
Setelah pengamatan malam hari, di siang hari Nanang dan timnya yang berjumlah lima orang, termasuk istrinya, Dewi Marisa Sari, secara berkala melakukan penyuluhan tentang perilaku hubungan seks yang sehat. Ia juga mengecek darah orang-orang yang berisiko tertular HIV/AIDS dan membagikan kondom di lokasi yang sudah diobservasi. Kegiatan itu dilakukan dengan tenang, tegas, dan tanpa rasa takut meskipun ia kerap berhadapan dengan preman penjaga lokasi.
Data Dinas Kesehatan Riau 2017, sampai Oktober, ditemukan tujuh kasus baru HIV di Rokan Hilir. Satu di antaranya ditemukan di Puskesmas Rimba Melintang. Namun, kata Nanang, pasien itu rujukan dari puskesmas tetangga.
Menjaring kader
Apa yang dikerjakan tim Nanang dalam menangani HIV?
Sebenarnya, semua puskesmas di Indonesia diberi tugas untuk mengamati perkembangan HIV/AIDS. Namun, tidak semua puskesmas memiliki kader yang aktif. Kebanyakan bersifat pasif menunggu pasien datang berobat. Setelah itu menunggu lagi sampai kunjungan berikutnya. Kalau pasien tidak datang, penanganan penyakit terputus.
Berbeda dengan Puskesmas Rimba Melintang. Tim Nanang aktif mendatangi lokasi hotspot. Kalau ditemukan orang dengan HIV/AIDS, pendampingan langsung diberikan. Kalau pasien tidak datang, setelah pengobatan pertama, petugas akan datang ke rumah yang bersangkutan.
”Kami tidak menunggu. Kami memasang jaringan, terutama anggota keluarga atau kerabat pasien, untuk menjadi kader. Kader sangat membantu kami memonitor perkembangan pasien, mengingatkan untuk minum obat dan kegiatan lainnya,” kata Nanang.
Dahulu, ujar Nanang, pasien HIV/AIDS dari kelompok pekerja seks sangat sulit dimonitor. Setelah menjalani pengobatan sekali atau dua kali, mereka tiba-tiba menghilang. Pindah ke lokasi baru. ”Sekarang, pasien PSK kami dampingi. Kami dekati maminya. Kalau dia pindah, kami beri surat rujukan ke puskesmas di lokasi barunya nanti,” ujar Nanang.
Untuk mendekatkan sesama penderita, Nanang bersama timnya membentuk berbagai kelompok. Bersama seorang kader senior, Warsinah (50) di Kepenghuluan (Desa) Mukti Jaya, mereka berhasil mengumpulkan 20 orang yang terdiri dari orang dengan HIV/AIDS, penyakit menular seksual lain, dan anggota keluarga dalam satu wadah. Sebagian anggota kelompok tertular HIV/AIDS dari suami.
Kegiatan kelompok utamanya saling berbagi dan mengingatkan pasien agar tidak putus asa dan mau terus berobat. Selain itu, kelompok ini belajar membuat berbagai barang kerajinan yang dapat dijual, seperti tas, dompet, bros, dan pernak-pernik lain. Setelah tiga tahun, pekerjaan kelompok itu sudah dikenal luas di Rokan Hilir.
”Penghasilan anggota memang tidak tetap. Namun, kalau lagi banyak pesanan, anggota dapat membawa Rp 3 juta sampai Rp 4 juta sebulan,” kata Warsinah.
Nanang juga memelopori pembentukan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Organisasi ini khusus untuk pasien dari kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender). Anggota LGBT memang cenderung tertutup. Mereka hanya mendengar saran atau petuah dari senior yang dipercaya dalam kelompok.
Gara-gara skripsi
Mengapa tertarik dengan program HIV/AIDS?
Ternyata hal itu terkait dengan skripsi Nanang saat menyelesaikan sarjana di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan pada 2006 di Jambi. Penelitiannya menguji efektivitas program pemerintah berkaitan dengan HIV/AIDS di sebuah lokalisasi.
”Ada yang tidak sinkron. Data di Komisi Penanggulangan AIDS menyebutkan angka keberhasilan. Di lapangan kondisinya berbeda. Banyak PSK dengan HIV yang saya teliti belum pernah diberi penyuluhan ataupun pengobatan,” kata Nanang.
Pada 2013, Nanang akhirnya berkecimpung secara khusus dengan HIV/AIDS setelah ditunjuk menjadi koordinator bagian infeksi menular seksual. Lembaga itu kemudian berkembang menjadi klinik khusus pemeriksaan HIV/AIDS.
Kalau ditanya apa beda Puskesmas Rimba Melintang dengan yang lain dalam menangani HIV/AIDS? Jawabannya, dokternya siaga, petugas kesehatannya sigap, terampil dan aktif, serta didukung perangkat dan bahan uji HIV lebih lengkap.
Namun, berhentinya penyebaran HIV bukan ditentukan oleh kerja keras petugas kesehatan seperti Nanang saja. Derasnya perputaran uang di lokalisasi, kafe, warung truk yang tidak terkendali, menyebar ke mana-mana akan tetap menjadi sumber penyebaran HIV/AIDS baru di masa depan.