Terbaik Tak Harus Sempurna
Terik matahari di Pantai Boom Banyuwangi, Jawa Timur, membuat pasir terasa panas saat dilewati. Zul, panggilan akrab Achmad Zulkarnain, yang baru saja mengabadikan pelepasan tukik segera mencari tempat berteduh.
Tubuh Zul bergoyang ke kanan dan ke kiri seiring langkahnya bergerak maju. Dengan sekuat tenaga dan upaya, pria penyandang disabilitas yang terlahir tanpa tangan dan kaki yang utuh tersebut coba menghindari terik matahari dan pasir yang panas. Monopod dan kamera ia panggul di pundak kanannya agar tak mengganggu langkahnya. Meski fisiknya tak sempurna, ia tak kalah gesit dibandingkan dengan yang lain.
Ia pun sangat mahir memotret. Keterbatasan fisik Zul bukan halangan baginya untuk mengoperasikan kamera. Strap kamera selalu terkalung di lehernya. Sebuah monopod membantunya menopang kamera dan lensa tele 70-200 milimeter yang cukup berat.
Lengan kirinya menopang badan kamera sekaligus mengarahkan ke mana kamera akan membidik. Sementara lengan kanannya berada di atas lensa. Sebuah gumpalan daging menyerupai jari membantu Zul untuk memutar fokus ataupun zoom. Setelah yakin dengan hasil bidikannya, Zul mengeksekusi gambar dengan menekan rana dengan lengan kanannya.
Saat Kompas menemuinya di Pantai Boom, Sabtu (21/10), Zul menceritakan ketertarikannya dengan dunia fotografi sejak 2014. Saat itu Zul bekerja di sebuah warung internet yang juga menyediakan jasa pembuatan pas foto.
Di warung internet itu dia bertugas melayani pembuatan foto KTP. ”Saat itulah saya pertama kali belajar fotografi. Dari sana saya punya niat untuk memiliki kamera sendiri. Sayang, waktu itu masih tidak punya uang,” katanya.
Setelah tak lagi bekerja di warung internet, ketertarikan Zul pada fotografi tetap tumbuh. Zul yang kala itu bekerja di sebuah kantor advokat di Banyuwangi akhirnya memberanikan diri untuk membeli kamera digital single lens reflect (DSLR) seharga Rp 6 juta dengan cara dicicil selama 1,5 tahun.
Kendati kondisi fisiknya membuat gerak Zul terbatas dan tak selincah yang lain, hal itu tak menghalangi langkahnya untuk mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya. Zul pernah mengabadikan lanskap pegunungan dan kawah Gunung Ijen yang tingginya mencapai 2.443 meter di atas permukaan laut.
Memiliki kamera sendiri membuat Zul semakin mudah menggumuli hobinya itu setiap hari. Hingga akhirnya Zul bergabung bersama komunitas fotografi Anak Osing Singojuruh (AOS) Banyuwangi.
Zul cukup beruntung memiliki teman-teman di komunitas AOS. Komunitas itu yang kerap menemani Zul hunting foto. Tak jarang mereka bergantian menggendong atau memasukkan Zul ke dalam tas carrier saat pergi mendaki gunung.
Banyak waktu yang dihabiskan Zul dengan teman-teman komunitasnya. Tak hanya berkomunitas, AOS juga menjadi ladang pekerjaan bagi Zul dan rekan-rekan fotografer lain. Mereka menyediakan jasa foto untuk pre-wedding, pernikahan, dan dokumentasi kegiatan.
Untuk mobilitasnya, Zul biasa menggunakan kendaraan bermotor menyerupai gokar. Kendaraan tersebut ia rancang sendiri. Namun, untuk perakitannya, Zul dibantu oleh ayahnya. Dibutuhkan waktu sembilan bulan hingga akhirnya gokar tersebut dapat digunakan.
Tak cukup sampai di situ, Zul juga tertarik untuk terus menguji kemampuan fotografinya. Salah satu caranya ialah dengan mengikuti sejumlah lomba foto. Hingga suatu hari, Zul mengikuti lomba foto khusus difabel yang mempertemukannya dengan fotografer senior Darwis Triadi. Zul pun diberi kesempatan belajar di sekolah fotografi milik Darwis Triadi secara cuma-cuma.
Berkat pengalaman dan ilmu fotografi yang ia miliki, Zul kini kerap diundang oleh sejumlah komunitas untuk memberikan workshop fotografi. Tak hanya menyampaikan ilmu fotografi, Zul juga menyisipkan materi-materi motivasi.
Kebangkitan Zul menghadapi keterbatasan fisiknya merupakan materi motivasi yang biasa ia sampaikan.
”Memang banyak kesulitan yang saya hadapi karena fisik saya. Kamera yang berat, susahnya menekan tombol shutter menjadi tantangan bagi saya. Namun, perlahan itu bisa saya atasi karena saya mau berusaha untuk menyesuaikan,” ujarnya.
Pergulatan diri
Zul kini sudah bisa menerima keterbatasan dirinya. Dia kini percaya diri dengan kondisi fisik yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Saat masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatul Mubtadiin, Zul pernah diolok-olok teman sepermainannya. Hal itu membuat Zul terpukul dan enggan bersosialisasi dengan orang lain.
”Sehari-hari saya hanya di kamar. Sampai pada suatu titik, saya merenung tentang masa depan saya. Saya berpikir, apa dampaknya kalau saya terus-terusan malu dengan kondisi fisik saya dan apa dampaknya kalau saya memilih bangkit dan menerima kekurangan saya,” tuturnya.
Tak hanya dikucilkan, Zul bahkan pernah dibuang. Beberapa hari setelah lahir, Zul sempat dibuang oleh orangtuanya. Zul yang masih bayi sudah dimasukkan ke dalam tas keresek dan dibuang ke tempat sampah. Beruntung salah satu kerabat orangtua Zul mengetahui hal itu dan langsung mengambil dan merawat Zul.
Hingga kini Zul tidak pernah memaafkan peristiwa itu. Karena baginya peristiwa tersebut bukanlah sebuah kesalahan. ”Itu tindakan manusiawi saat seseorang berharap kesempurnaan, tetapi yang didapatkan justru sebuah ketidaksempurnaan,” kata Zul.
Ia mengakui, peristiwa tersebut kini menjadi bagian terpenting bagi dirinya. Pengalaman pernah dibuang selalu ia ceritakan untuk memotivasi orang lain. Melalui kisah itu, Zul ingin menyampaikan bahwa menerima kelebihan sama pentingnya dengan menerima kekurangan.
Berbagai perlakuan diskriminatif yang pernah ia alami kini justru membuat ia bangkit. Zul tidak ambil pusing dengan olok-olokan teman-temannya. Kini Zul bahkan terbiasa menertawakan kondisi fisiknya sendiri. Bagi Zul, keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk berkarya selama dirinya mau berusaha.
Salah satu pedoman hidup yang Zul pegang hingga saat ini adalah Surat Ar-Ra’d ayat ke-11 Al Quran yang berbunyi, ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”.