”Seorang international commissaire bisa memimpin perlombaan di seluruh dunia, di mana pun, tetapi dengan penugasan dari UCI,” jelas Sondi. Sebagai international commissaire (semacam wasit internasional) pada Persatuan Balap Sepeda Internasional (UCI), ia mendalami berbagai aturan dan tata cara penyelenggaraan balap sepeda berkelas.
Berbekal kualifikasinya sebagai international commissaire, Sondi ditunjuk UCI sebagai Direktur Balapan (race director) Tour de Indonesia (TdI) 2018. Pada TdI tahun-tahun sebelumnya, race director juga selalu dipercayakan kepada orang Indonesia. Namun, kategorinya saat itu 2.2, bukan 2.1 seperti TdI 2018. Dengan kelas TdI yang lebih tinggi, diperlukan race director yang memiliki kualifikasi lebih tinggi pula.
Karena Sondi memegang posisi sebagai race director, posisi chief commissaire dilimpahkan UCI kepada international commissaire asal Thailand, Nuttapong Lohitnavy. Posisi commissaire 2 dan commissaire 3 diserahkan kepada commissaire asal Malaysia dan China. Sebab, Indonesia tidak memiliki international commissaire selain Sondi.
Hadirnya TdI 2018 dengan kategori 2.1, yaitu kategori tertinggi untuk balap sepeda jalan raya di Indonesia, menjadikan TdI memiliki gengsi sekaligus peringkat yang tinggi. Karena itu, tugas sebagai pemimpin TdI tidak mudah. Dia harus bisa menyelenggarakan seluruh aspek balap sepeda sesuai aturan UCI, memastikan balap sepeda berjalan lancar, dan semua peserta berkompetisi dengan adil. Dia harus memastikan keselamatan semua pebalap, sebelum, selama, dan setelah balapan. Selain itu, dia juga harus memastikan semua aturan dan etika lomba dihormati dan dipatuhi.
Meski status commissaire adalah relawan yang tidak dibayar dengan honor besar, mereka harus bertindak profesional sesuai pedoman yang telah ditentukan UCI. ”Kita tidak bisa hidup dari situ karena ini, kan, kerja relawan. Saya memang bukan mencari hidup dari situ. Jika ingin mencari uang di balap sepeda, kita menjadi EO balap sepeda,” tutur Sondi.
Bapak dua putra itu sebenarnya seorang arsitek. Bidang itu dia geluti sekitar 20 tahun. Dia bukanlah atlet balap sepeda, melainkan atlet selancar angin (wind surfing) dan layar. ”Pokoknya mainnya di laut. Baru setelah veteran, jadi hobi main sepeda. Itu dimulai tahun 1980-an waktu umur 25-an tahun. Setelah senang balap sepeda, saya jadi kecemplung,” ungkapnya.
Dia pun membuat beberapa kejuaraan balap sepeda MTB. Setelah itu, Sondi diajak bergabung dengan Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) sekitar 1998. Belakangan, ia diarahkan Budi Arianto, international commissaire pada UCI yang dimiliki Indonesia pada saat itu, untuk menjadi commissaire.
Sondi menuruti arahan Budi Arianto. Ia pun mulai mengambil lisensi national commissaire. ”Proses saya menjadi UCI commissaire dari national commissaire lebih cepat karena saya sudah sering menyelenggarakan balapan,” jelas Sondi.
Biaya untuk mendapatkan lisensi dia ambil dari kocek sendiri. Biaya itu meliputi ongkos penerbangan, penginapan, dan makan selama menempuh ujian UCI commissaire di Sydney, Australia.
Dibandingkan dengan masanya dulu, menurut Sondi, aturan untuk mendapatkan lisensi UCI international commissaire saat ini jauh lebih sulit. Ada beberapa tahap yang harus dijalani, yaitu memperoleh lisensi national commissaire terlebih dulu. Setelah itu, sang kandidat mesti bertugas di lapangan selama minimal dua tahun.
Setelah menjalani tugas dua tahun, kandidat boleh mengambil lisensi elite national commissaire dan kemudian bertugas minimal enam bulan. ”Setelah itu baru boleh mengambil lisensi UCI commissaire. Kalau lulus, dia harus praktik dulu dua kali. Kalau lulus, baru akan diberi sertifikat lisensi UCI international commissaire,” tutur Sondi.
”Zaman saya dulu tidak seperti sekarang, lebih gampang, karena bisa langsung dari national commissaire ke UCI international commissaire,” jelas Sondi yang mendapatkan lisensi UCI international commissaire pada 2005.
Sekarang pun, tambah Sondi, dalam aturan baru UCI, seseorang yang sudah memiliki lisensi national commissaire bisa langsung mengajukan diri untuk menjadi international commissaire. Namun, harus ada sponsor yang menyatakan bahwa orang itu memang punya pengalaman. ”Sebetulnya untuk menjadi UCI commissaire yang diuji adalah pengalamannya. Pengalamannya itu harus di dalam dan di luar negeri karena harus international event,” jelasnya.
Ilmu untuk menjadi international commissaire bisa dipelajari siapa pun karena tersedia di situs resmi UCI. Ilmu itu terkait berbagai regulasi balap sepeda, pengorganisasian, dan lain-lain. ”Ilmunya tinggal kita baca saja karena ’bukunya’ sudah ada di situs UCI. Ketika kita diuji, kita harus sudah hapal dan bisa memecahkan masalah dengan buku itu. Yang agak berat itu memecahkan masalah karena butuh pengalaman, tidak hanya teori,” tambah Sondi.
Target
Sebelum Sondi, Indonesia pernah punya dua international commissaire pada UCI, yaitu Husein Argasasmita dan Budi Arianto. ”Pak Budi adalah guru saya. Sekarang kedua UCI commissaire yang dimiliki Indonesia sudah meninggal, tinggal saya sendiri,” tuturnya.
Oleh karena itu, PB ISSI memilih TdI 2018 dengan kategori 2.1 sebagai upaya untuk mempercepat para commissaire balap sepeda Indonesia mengumpulkan poin lebih banyak sehingga bisa segera naik tingkat. ”Di Indonesia yang sudah naik itu dua orang, Pratomo dan Indra Gani yang lulus elite national commissaire. Tahun depan, mereka sudah bisa ikut UCI commissaire,” tambahnya.
Sondi menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki 70 national commissaire, dari sebelumnya hanya 15 national commissaire. Dia berharap negeri ini memiliki 10 elite national commissaire. Untuk UCI commissaire, dia berharap Indonesia memiliki tiga orang. ”Itu sudah bagus,” katanya.