Kisah ”Paktori” Sampah
Nunung, Tati, dan Eli duduk lesehan di ruang tamu yang juga dijadikan Sekretariat Yayasan Greenna. Ketiganya asyik melipat plastik bungkus mi instan, kopi, dan makanan ringan, lalu merangkainya satu demi satu. Sembari bekerja, mereka asyik mengobrol. ”Gimana tuh Bu Nunung, pengalaman waktu naik pesawat ke Bengkulu,” pancing bu Tati.
”Saya teh gemeteran. Baca (Surah) Yasin melulu. Orang mah pertama kali naik pesawat ke bandara aja bingung, lari-lari,” jawab Bu Nunung.
”Naik pesawat karena apa, Bu?” potong Bu Eli.
”Karena sampah. Semua karena sampah, ha-ha-ha,” kata Bu Nunung.
Semuanya tertawa, memeriahkan pagi di Kampung Cisalopa, Desa Pasir Buncir, Caringin, Kabupaten Bogor, Kamis (18/1). Nina (34) ikut tertawa. Sambil mencatat administrasi dan berbagai keperluan serta rencana ke depan, dia ikut bergabung.
Kampung Cisalopa berjarak sekitar 30 kilometer dari Kabupaten dan Kota Bogor. Kampung yang sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani dan buruh itu berlokasi sekitar 1 kilometer dari jalan raya Bogor-Sukabumi. Arus lalu lintas yang melintasi kampung ini selalu ramai dengan truk penuh muatan, seperti galon dan dus.
Nina, perempuan yang pernah masuk dalam 100 Perempuan Inspiratif dari majalah Kartini pada 2011 ini adalah pendiri Yayasan Greenna. Greena adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang pengolahan sampah, mulai bank sampah, daur ulang sampah, hingga berbagai pemanfaatan sampah lainnya.
Ibu-ibu tadi adalah bagian dari 15 anggota yang aktif dalam kegiatan yayasan. Mereka mengumpulkan sampah dan merangkai sampah menjadi barang berdaya guna, seperti tempat pensil, dompet, dan tas ramah lingkungan. Setiap bulan mereka mendapatkan hasil dari kerajinan tersebut.
”Desember lalu dapat pesanan 350 buah. Ibu-ibu ini dapat hasil berbeda-beda. Ada yang Rp 200.000, ada juga yang Rp 2 juta,” kata Nina. Itu adalah pesanan terbanyak kedua mereka. Sebelumnya, mereka pernah mendapat pesanan 500 buah. ”Saya cuma memfasilitasi mereka. Bahkan, mereka mulai berkreasi dan hasil kerajinannya bagus,” ucap Nina.
Membeli sampah
Nina, bungsu dari tujuh bersaudara, mulai menggagas kegiatan pengolahan sampah sejak 2009. Saat itu, dia baru pulang ke rumah setelah beberapa tahun menjadi relawan penyelamat hewan yang bermarkas di Gunung Halimun-Salak. Nina juga sudah lama tergabung dalam organisasi lingkungan.
Setelah berada di rumahnya, Nina tergugah melihat lingkungan sekitarnya. ”Dulu lihat ibu (almarhum) sendiri buang sampah di belakang rumah, terus sampahnya dibakar. Lihat tetangga juga sama. Kenapa saya jauh-jauh ngurusi banyak hal kalau di sekitar saya masih kayak gini?” terang Nina.
Dia pun mulai bergerak memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Melalui pengajian yang rutin diadakan di kampung, Nina berusaha menggaet minat ibu-ibu untuk turut serta. Di pengajian, dia meminta waktu barang beberapa menit untuk memberikan sosialisasi dan pemahaman tentang sampah.
Awalnya, Nina bergerak melalui Komunitas Green Earth yang melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah. Dia rutin mengunjungi berbagai sekolah dan mengajarkan berbagai bentuk pemanfaatan sampah. Komunitas ini lalu bertransformasi menjadi Yayasan Greenna, seiring kegiatannya yang cukup luas.
Dari situ, penerima Ashoka Youth Change Maker pada 2009 ini lalu mendirikan bank sampah sekaligus pengolahannya. Setiap Senin dan Kamis dilakukan pembelian sampah dari masyarakat. Sampah yang bisa diolah lalu dibersihkan dan disiapkan untuk dibentuk menjadi berbagai macam barang yang berdaya guna.
Untuk sampah botol, tutup botol, dan plastik lain dibawa ke paktori. Apa itu paktori? Itu sebutan ibu-ibu dan warga Cisalopa untuk kata factory (pabrik). Karena sebagian orang Sunda melafalkan huruf ”f” menjadi ”p”, maka kata factory dilafalkan menjadi paktori.
”Maksudnya factory. Biasa mah, urang Sunda, menyebutnya paktori. Itu semacam pabrik pengolahan plastik. Ada mesin pencacah dan pembersih,” kata Nina.
Lokasi ”paktori” itu sekitar 1 kilometer dari Sekretariat Greenna. Untuk mencapainya, kita harus berjalan kaki sekitar 300 meter karena kendaraan roda empat tidak bisa mencapainya. Di ”paktori” itu sampah plastik menggunung. Setelah dicacah dan mencapai berat 1 ton, baru dibawa ke pengepul.
Neneng adalah penanggung jawab ”paktori”. Menurut dia, penjualan sampah yang telah diolah biasanya dilakukan sekali dalam dua bulan. Hal itu untuk menunggu sampai jumlah sampah yang dihasilkan minimal mencapai 1 ton. Dari situ, dana penjualan akan dimasukkan ke dalam kas yayasan.
”Lumayan, ada penghasilan setiap bulan. Dulu cuma ibu rumah tangga. Sekarang juga beberapa kali bawa materi gitu. Ke UI, ke Medan, saya mah pernah,” cerita Neneng. Maksudnya, Neneng sering diminta untuk memberikan materi tentang pengolahan sampah.
Berkembang
Nina, yang selalu mau belajar banyak hal ini, ingin gerakan yang ia inisiasi bisa berkembang jauh. Sejak beberapa tahun lalu, dia dan sejumlah ibu-ibu aktif memberikan berbagai penyuluhan tentang pengolahan sampah di kampung-kampung.
Sepanjang tahun lalu, dia mengadakan penyuluhan di 12 desa di kawasan Cisarua, Bogor. Sosialisasi tentang sampah, juga pelatihan kerajinan, menjadi andalan untuk disebarluaskan di sejumlah tempat tersebut.
”Kalau saya bagaimana menyadarkan dulu, lalu mencari agen yang bisa membantu. Dari situ dilakukan pemetaan, permasalahan, dan potensi yang dilakukan. Pokoknya, semua pintu masuknya adalah dari sampah,” kata Nina.
Mulai Agustus 2017, dengan memanfaatkan dana CSR perusahaan, dia mendampingi sebuah wilayah di Kabupaten Bekasi yang berbatasan dengan wilayah Jakarta Utara. Di lokasi tersebut dia berusaha meyakinkan masyarakat untuk membersihkan lingkungan dan mendapat manfaat dari sampah.
Meski demikian, itu baru langkah awal. Nina ingin menyebarluaskan semangat pengelolaan dan pemanfaatan sampah. Dia ingin agar tumbuh Greenna-Greenna lain di banyak tempat.
Namun, dia juga sadar masih banyak hal yang harus dipelajari dan diperbaiki untuk bisa berkembang dan memberikan inspirasi kepada banyak orang. Salah satunya, terus melakukan kaderisasi serta menciptakan agen-agen yang memiliki visi dan pemahaman sama. Terpenting adalah memiliki semangat dan militansi yang tinggi.
”Intinya bagaimana agar pengelolaan sampah dan lingkungan bisa semakin baik. Pokoknya, pintu masuknya adalah sampah,” terang perempuan yang tidak ingin riwayat pendidikannya dicantumkan ini. Menurut dia, semua orang bisa mengolah dan mengelola sampah tanpa harus terpaku pada lembar ijazah.