Yang Muda, yang Bertani
Penampilan Rici, Duta Petani Muda 2016, masih seperti mahasiswa yang sehari-hari lebih sering berkaus oblong. Namun, saat berada di ladang, sikapnya berubah menjadi seorang petani tulen. Ia tahu betul seluk-beluk pertanian dengan sistem hidroponik yang ia kembangkan.
Ditemui di rumah kaca miliknya di Desa Pasir Langu, Bandung Barat, beberapa waktu lalu, Rici berbagi pengetahuan mengurus paprika. Jarinya lincah saat mempraktikkan cara memetik paprika dan membungkusnya dalam kemasan yang menarik. Sesekali, ia menunjukkan tanaman yang terkena hama dan harus segera diganti.
Bersama dua karyawannya, Rici tak segan mengangkat sendiri karung plastik berisi hasil panen. ”Saya petani, sama dengan petani lain. Sudah biasa begini,” tuturnya sambil tersenyum.
Orang di desanya juga mengenal Rici sebagai petani dan pembina kelompok tani paprika. Padahal, ia bisa saja bekerja kantoran yang kesannya lebih mentereng. Peluang untuk itu terbuka lebar buatnya. Dengan bekal ijazah sarjana ekonomi dan master manajemen, juga kemenangannya di berbagai lomba inovasi, rasanya akan banyak perusahaan yang siap menampungnya sebagai karyawan.
Orangtua Rici juga pernah berpikir ia lebih pantas bekerja di kantor. Karena itu, kedua orangtuanya mengarahkan Rici bekerja di kantor yang sehari-hari berbaju bersih dan rapi. ”Aku menuruti orangtua dengan melamar ke sebuah bank di Bandung. Aku diterima bekerja, tetapi saat kuperlihatkan gaji yang aku terima, ibuku kaget. Mungkin ia tak mengira kalau gajinya ternyata kecil,” tutur suami drg Rizki Sundari itu.
Rici pada akhirnya mengalihkan lagi perhatiannya pada dunia pertanian. Akhirnya, ayah dan ibunya memberikan kebebasan penuh kepada Rici.
Nasib petani
Dunia pertanian memang tidak pernah jauh dari hidup Rici. Sejak SMP, ia biasa membantu orangtuanya berbisnis sayuran. Rici dilibatkan orangtua karena mereka tidak suka melihat ia lebih sering di rumah. ”Mereka takut saya hanya main game, akhirnya saya diminta ikut ngecek harga sayur dan lainnya.”
Dari situ, ia jadi tahu seluk-beluk dunia pertanian dan kehidupan petani yang sesungguhnya. Ia melihat petani sebagian besar miskin dan sering berutang kepada tengkulak atau rentenir untuk bisa membeli bibit paprika dan makan sekeluarga.
Ia juga melihat mayoritas petani berusia di atas 50 tahun dan berpendidikan sekolah dasar. Mereka sering kesulitan memasarkan hasil panen karena kondisi jalan rusak dan sempit. Kalaupun bisa dijual, harganya tidak wajar. Akibatnya, petani terus terbelit kemiskinan.
Ia tak perlu melihat ke tempat lain karena di desa leluhurnya, Pasir Langu, yang hanya berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Bandung, petani juga miskin. Padahal, sudah puluhan tahun Pasir Langu menjadi pemasok utama pasar paprika Tanah Air.
Pengalaman berinteraksi dengan petani, pedagang, dan pembeli sayur-mayur mendorong Rici untuk menekuni pekerjaan di sektor pertanian. Ia juga memikirkan cara melepaskan petani dari jerat rentenir dan tengkulak, antara lain dengan membuat inovasi, di antaranya ”farmtastic”. Inovasi berbasis internet itu bisa menghubungkan petani dan konsumen secara langsung sehingga kedua pihak bisa saling bernegosiasi.
Di sela-sela kuliah dan berbisnis sayur, Rici bersama temannya mengembangkan inovasi yang kemudian disertakan ke berbagai lomba di tingkat nasional dan internasional. Farmtastic mengantarkannya menjadi juara pada ajang Young South East Asian Leaders Initiative Pitch Generation: Power of Entrepreneurship. ”Apa yang saya lakukan sekarang sebenarnya merupakan penerapan dari inovasi-inovasi itu,” katanya.
Penggunaan aplikasi tersebut menaikkan pendapatan petani paprika sekitar 30 persen. Yang lebih melegakan, mereka tak perlu lagi berutang kepada rentenir. Namun, ia sadar untuk membuat semua petani melek internet tak gampang, mengingat kemampuan finansial dan pengetahuan mereka terbatas. Untuk mempercepat transfer teknologi, Rici yang semula hanya menjadi penyalur sayur-mayur, terutama paprika, pada 2014 terjun sekalian menjadi petani.
Merangkul milenial
Pengetahuan bertanam paprika ia dapat dari para petani senior ditambah kursus petani paprika di Bandung. Sebagai petani baru, ia tak langsung sukses. Anak muda yang gemar menonton bola ini pernah pula jatuh bangun mengurus lahannya. Ia pernah rugi hingga puluhan juta karena gagal panen. Tak putus asa, ia kembali menanam paprika sampai akhirnya berhasil.
Kini, ia membina petani paprika di desanya dan wilayah lain di Jawa Barat. Pemilik Paprici Barokah ini bersama ahli teknik informatika juga membuat aplikasi pemantau suhu ruangan, kelembaban, dan mendeteksi hama. ”Saya mencoba melibatkan mahasiswa, misalnya dari Telkom University Bandung, dan ternyata mereka tertarik,” katanya.
Pemuda yang kerap diundang untuk berbagi pengalaman di berbagai konferensi di dalam dan luar negeri itu memang sedang giat-giatnya merangkul milenial yang berminat masuk ke sektor pertanian. ”Kita dorong mereka membuka lapangan kerja sendiri, tidak malah mencari pekerjaan di perusahaan milik orang lain,” katanya.
”Jangan khawatir untuk bertani. Anak muda tidak perlu mencangkul untuk jadi petani karena sekarang sudah ada sistem pertanian modern seperti hidroponik,” ucapnya.