Berkibar dengan Limbah Tenun
Ricardus Otniel Yunatan (53), biasa disapa Roy, begitu sibuk saat ditemui di Kupang, Kamis (8/2). Meski sudah memiliki karyawan, dia menyempatkan diri melayani konsumen. Bukan hanya itu, Roy akan meneliti setiap barang yang dibeli konsumen. Apabila ada yang rusak, dia segera menggantinya. Dia ikut mengemas barang yang akan dibawa ke luar NTT.
”Ini hal kecil, tetapi berpengaruh terhadap penilaian konsumen. Saya selalu mengajak karyawan menempatkan konsumen sebagai raja. Apa yang dibeli dari sini benar-benar memuaskan dari semua aspek,” kata Roy.
- English Version: Flying High with Loom Waste
Barang-barang di toko Sentra UKM ”C & A” itu merupakan hasil karya dari limbah tenun yang dikumpulkan dari para penjahit. Guntingan kain tenun berbagai ukuran dirajut menjadi dompet, ikat pinggang, topi, tas, keranjang belanja, dan kipas.
Limbah kain tenun itu diproses di kediaman Roy yang difungsikan sebagai rumah produksi. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari toko. Di sana, ia mempekerjakan 45 karyawan. Bekas-bekas guntingan kain itu dimodifikasi menjadi cendera mata yang dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 1 juta per buah.
Roy mengajari karyawannya untuk memodifikasi potongan kain tenun menjadi barang yang berguna. Sebelumnya, dia belajar secara otodidak untuk membuat cendera mata dari kain tenun. Salah satunya dengan melihat video dari media sosial.
Memulai usaha
Setelah meraih gelar sarjana arsitek dari Universitas Petra, Surabaya, tahun 1994, Roy pulang ke Kupang bersama keluarganya. Roy tidak suka menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ia ingin membuka usaha sendiri, tetapi saat itu tidak punya modal.
Tahun 1995, ia menjual kain selimut, pakaian jadi, dan barang-barang milik temannya. Dari situ, dia mendapatkan keuntungan Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per lembar kain. Hasil yang diperoleh tidak begitu besar. Penghasilan yang didapatkan untuk belanja sehari-hari, sedangkan sisanya ditabung.
Ayah tiga anak ini tetap memiliki semangat dan daya juang untuk bekerja demi meraih masa depan yang lebih baik. Tahun 2013, ia memutuskan berhenti berjualan barang dari orang lain.
Usahanya pun beralih dengan berjualan kain tenun. Ia mendatangkan kain tenun dari sejumlah daerah di NTT, kemudian menjual kain tenun itu di kediamannya. Salah satu ruang kamar di rumahnya disulap menjadi kios dan dinamai Pusat Oleh-oleh C & A. Sayangnya, dia merasa tempat ini kurang strategis. Barang-barang dagangan dari daerah pun terus menumpuk.
Seiring berjalannya waktu, tahun 2015 Roy membangun sentra UKM khas NTT. Tempat ini ditata secara lebih modern dan diberi nama Sentra UKM NTT ”C & A”. Nama itu diambil dari nama anak-anaknya, Claudia (C), Dede (&), dan Aldo (A).
Sentra UKM itu menempati wilayah yang luas. Selain toko oleh-oleh, juga dilengkapi dengan restoran yang menyajikan makanan khas NTT.
Dari UKM inilah, pemakaian limbah tenun mulai dikembangkan. Roy juga memanfaatkan bahan lokal lain, seperti daun lontar atau daun pohon gewang, dan bilah bambu untuk tas, topi tilangga, tali kapal, ikat pinggang, sandal, dan dompet.
Untuk kepuasan konsumen, Roy selalu mengutamakan kualitas produknya. Semua proses produksi selalu diawasi dengan teliti. Jika tidak sesuai selera pasar atau konsumen, bentuk dan model barangnya akan diganti. Tuntutan konsumen dari berbagai segmen yang selalu berubah membuat Roy harus berinovasi.
Menjadi motivator
Lambat laun, kegigihan Roy memperlihatkan hasil. Produk kerajinannya mulai dikenal masyarakat Kota Kupang. Pihak pemerintah daerah (pemda) dan sejumlah pengusaha meminta jasanya untuk berbicara pada berbagai acara. Ia memotivasi pedagang, pengusaha pemula, dan lulusan sarjana untuk mengambil jalur sebagai pengusaha yang sukses.
”Kunci utama semangat kerja. Jangan selalu SMS, yakni senang melihat orang susah, atau susah melihat orang senang. Jangan takut melangkah. Tempatkan diri sebagai seorang petarung di tanah gersang,” kata Roy.
Ia membangun jaringan kerja sama dengan berbagai pihak di seluruh wilayah di NTT untuk mengembangkan usaha. salah satunya dengan para penenun di NTT. Roy mengutamakan keunikan motif kain tenun. Bukan hanya itu, Roy juga memperhatikan cara menenun kain untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Apalagi, banyak konsumen yang mencari kain tenun yang khas.
Setiap bulan sekitar 700 potong barang masuk ke Sentra UKM dari sekitar 150 perajin yang membangun kerja sama dengan Roy. Di sini, standar mutu dan motif yang bervariasi menjadi patokan dari setiap jenis barang yang masuk. Hal ini juga untuk mendidik para perajin tentang bagaimana membangun kepercayaan konsumen melalui produk yang berkualitas dan memiliki daya tarik khusus.
Tenunan yang diantar ke Sentra UKM milik Roy tidak semua diterima. Ia selalu memberikan dorongan, motivasi, dan masukan agar penenun selalu menemukan sesuatu yang baru. Ia ingin para perajin terus berkreasi.
Barang yang diterima dari perajin harus memenuhi standar kualitas, label, pengepakan, batas kedaluwarsa, dan memiliki surat izin usaha. Jika kelengkapan ini belum dipenuhi, Roy membantu perajin untuk memproses atau bila perlu bersama-sama mengurus izin ke pemda.
Roy tidak hanya memajang barang-barang kerajinan di toko Sentra UKM, tetapi juga mengirimnya ke Surabaya, Jakarta, Denpasar, Malaysia, Singapura, Timor Leste, dan Australia. Setiap bulan sekitar 400 jenis barang dikirim ke luar NTT, mulai dari anting atau gelang seharga Rp 5.000 per potong sampai kain tenun ikat seharga Rp 3 juta per lembar.
Saat ini, Roy sedang membimbing sekelompok perajin dodol kusambi, dodol buah lontar, dan membuat ikan kering tanpa tulang. Pelatihan diawali penelitian lapangan terkait bahan baku, cara mendapatkan, minat konsumen, biaya produksi, dan pemasaran.