Memahami Orang Asmat
Mabuk, ricuh di tengah kampung, serta kekerasan dalam rumah tangga seolah menjadi lingkaran setan bagi banyak pria di Atsj, Kabupaten Asmat, Papua. Medardus Eko Budi Setiawan, OSC, pastor yang bertugas di Atsj, berhasil memutus mata rantai itu. Ia lalu diangkat menjadi bakapem atau kepala perang.
- English Version: Understanding Asmat People
Suatu pagi Januari lalu, Kompas bersama Eko, sapaan akrabnya, menumpang perahu motor dari Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, kembali ke Atsj. Atsj adalah distrik (setingkat kecamatan) tempat Eko bertugas yang ditempuh dalam waktu sekitar dua jam perjalanan.
Selama beberapa hari, Eko membantu pos komando komunikasi di Agats. Posko itu bertugas menghimpun informasi melalui radio terkait dengan penanganan kejadian luar biasa gizi buruk dan campak di daerah itu. Bencana kesehatan yang merenggut nyawa sekitar 70 anak selama empat bulan hingga Januari lalu itu menjadi perhatian nasional.
Kendala komunikasi di Asmat sangat terbantu oleh tim Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) setempat. Eko dengan call sign ”YDGXHE” menjadi salah satu pembina Orari Kabupaten Asmat yang terkoneksi dengan 289 pemegang radio. Mereka tersebar di wilayah kabupaten seluas 31.983 kilometer persegi itu.
Selama di Agats, Eko memastikan komunikasi dengan para sukarelawan di 24 kampung yang ada di 23 distrik terpantau. Di posko itu, mereka berganti tugas setiap enam jam sekali. Jika ada permintaan evakuasi pasien dan makanan atau obat-obatan, segera mereka laporkan ke posko utama untuk ditindaklanjuti. Posko komunikasi dibuka 24 jam.
Dalam perjalanan ke Atsj itu, Eko masih memantau perbincangan di radio. Sekadar bercanda atau memberikan salam adalah cara dia menyemangati anggota tim komunikasi. ”Mereka butuh komunikasi meski sekadar menyapa. Kalau kita dekat dengan mereka, mereka akan terbuka dan mau diajak bekerja sama,” kata Eko.
Selama perjalanan itu pula, Eko menyapa warga saat berpapasan di atas perahu motor yang melaju dari arah berlawanan atau perahu yang disalip. Ia biasanya terlebih dahulu menyapa. Begitu juga warga yang membuang jaring atau yang tinggal di bifak (pondok) di pinggir-pinggir sungai. Ia lebih sering menggunakan bahasa lokal meski belum fasih.
Raut wajah pria asal Yogyakarta yang bertugas di Asmat sejak 2013 itu tak asing di mata warga. Mereka tak segan berteriak keras dari kejauhan. Rambut lurus sebahu menjadi salah satu cirinya.
Mengubah pemabuk
Saat pertama kali melayani umat Katolik sebagai yang mayoritas di Atsj, Eko menjumpai banyak pria yang sering mengonsumsi minuman keras. Di bawah pengaruh alkohol, mereka kerap memukul istri dan anak di rumah hingga melakukan keributan di tengah kampung.
Eko kemudian mendatangi mereka, mengajak mereka ke pastoran (tempat tinggal pastor) untuk sekadar bercengkerama. Kebetulan di pastoran ada dapur umum. Teh, kopi, dan makanan ringan tersedia untuk siapa saja.
Dengan kedekatan itu, mereka tidak menolak saat Eko mengemukakan keinginannya untuk menghimpun mereka dalam satu kelompok. Kelompok itu awalnya hanya untuk pelayanan di gereja.
Namun, atas kesadaran sendiri, mereka yang dulu sering membuat keonaran itu menawarkan diri sebagai penjaga keamanan di kampung. Tak ada lagi yang mabuk-mabukan. Pembuat sopi (minuman keras) kini menjadi penjala ikan. ”Sekarang, aparat keamanan tidak terlalu dipusingkan lagi,” ujar Viktor Acunem yang sebelumnya dikenal sebagai pembuat sopi.
Viktor dan lebih dari 100 orang di kampung itu bahkan sudah memiliki tabungan di koperasi. Uang yang selama ini digunakan untuk membeli sopi disisihkan untuk masa depan anak mereka.
Eko memperkenalkan koperasi setelah melihat pengelolaan keuangan keluarga yang buruk. Kantor koperasi itu berada di Agats sehingga Eko yang membantu kelancaran saat ada permintaan menabung dan pengajuan pinjaman. Kini, banyak yang ingin bergabung.
Awalnya, ide itu ditentang warga lantaran mereka trauma dengan koperasi atau lembaga keuangan sebelumnya yang melenyapkan uang mereka. Sebagai kemudahan, pendaftaran masuk koperasi digratiskan. Mereka diminta menabung hingga Rp 2 juta, kemudian diangkat sebagai anggota penuh.
”Saya tidak bilang anggota penuh karena itu membingungkan. Saya bilang mereka naik pangkat. Itu mereka setuju,” ujar Eko.
Selain koperasi, Eko kini sedang membangun sebuah rumah mebel. Rumah itu akan menjadi ruang bagi keterampilan ukir masyarakat Asmat yang terwarisi secara turun-temurun. Pasar bagi hasil produksi kerajinan juga disiapkan.
Setelah rampung nanti, ia akan mendatangkan tenaga ahli dari Pulau Jawa untuk membimbing perajin. Ia menargetkan karya mereka akan menjadi produk ekspor.
Lewat budaya
Menurut Eko, mengubah cara pandang warga harus melalui budaya mereka. Banyak ajaran budaya setempat yang menjadi ”senjata” untuk melunakkan hati mereka yang keras. Perilaku mabuk-mabukan, misalnya, bukan merupakan budaya mereka. Pengaruh itu kebanyakan dibawa orang luar. Dengan mengingatkan bahwa perilaku kekerasan akan membuat murka leluhur, mereka akan mengikutinya.
Dalam setiap kegiatan, Eko selalu memberikan ruang bagi pemuka adat dan pemuda. Sebaliknya, dia juga terlibat dalam kegiatan budaya mereka. Bahkan, ketika memimpin perayaan misa pada hari raya besar, Eko mengenakan perlengkapan adat setempat seperti hiasan kepala yang terbuat dari bulu-bulu burung. Bunyi lonceng diganti dengan suara pukulan tifa, alat musik tradisional.
Untuk memanggungkan budaya Atsj, pada November 2017, Eko menggelar Pemilihan Putri Atsj yang dihadiri oleh seorang finalis Puteri Indonesia. Kegiatan semacam itu akan terus berlanjut setiap tahun. ”Tujuannya untuk membangkitkan kepercayaan diri anak-anak di sini bahwa mereka juga tidak kalah dari anak-anak di kota,” kata Eko.
Eko sebelum menjadi pastor adalah spesialis ICU dewasa di rumah sakit. Tahun 2002 adalah titik balik Eko. Ia memilih studi filsafat agar bisa menjadi pastor. Kemampuan merawat dan pengetahuan akan kesehatan melengkapi keberadaan Eko di kampung yang tak memiliki dokter itu.
”Kami tidak mau Pastor Eko pindah. Kami rasa nyaman saat dia di sini,” kata Paulus Amenpen (52), perwira perang Atsj.
Dedikasi Eko membuat tokoh adat setempat memberi dia gelar bakapem atau panglima perang karena dirinya dianggap dapat menjaga keseimbangan dan harmoni di Atsj. ”Siapa bilang orang Papua sulit diarahkan? Semua tergantung pada pendekatan kita. Pintu masuknya harus lewat budaya mereka,” ujar Eko.