Totalitas Si Pengetuk Ingatan
Lapangan kecil di depan RW 005 Lio Genteng, Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat, jadi panggung dadakan sosok bertopeng putih panji Cirebonan pada akhir Januari 2018. Hujan mengganggu tubuh tanpa baju itu. Selendang putih yang diikat di pinggang dan menjuntai panjang mulai kotor bercampur tanah basah.
Akan tetapi, semuanya tak mengganggu Gatot, sosok di balik topeng itu. Dia tetap menari. Gerakannya halus dan sederhana. Namun, butuh kekuatan kaki dan pinggang yang kokoh untuk menghasilkannya. Sepotong puisi karya Asmara Hadi berjudul ”Di Bawah Bulan” (1937) dibacanya di antara gerimis.
”Ku Merenung Bulan Melayang
Purnama Benderang di Langit Malam
Wajah Kekasih Timbul Tenggelam
Di Muka Lautan Masa yang Silam”
Seperti puisi, tarian topeng panji itu sengaja dibuat Gatot menyambut fenomena gerhana bulan super darah biru. Tak ada teropong bintang, penontonnya adalah warga sekitar Lio Genteng. Duduk di lantai semen beralas terpal, untuk pertama kalinya mereka merayakan purnama bersama-sama.
”Dulu, pertunjukan seni dan aktivitas masyarakat di bawah sinar bulan biasa dilakukan. Kini, saat semuanya rentan dilupakan, kami ingin memperkenalkannya lagi. Banyak hal baik yang bisa diambil, salah satunya melatih kepekaan manusia dalam peristiwa sehari-hari,” katanya.
Gatot tidak sendirian. Beberapa seniman terlibat dalam acara itu. Ada yang menyanyi, membaca puisi, hingga melakukan pentas teatrikal. Semuanya tanpa skenario.
Salah seorang penampil adalah Vera Delyana (12) yang merupakan salah satu siswa SR Iboe Inggit Garnasih, komunitas yang didirikan Gatot bersama rekannya, Sandi Syarief (26), di Lio Genteng, setahun lalu. Vera membaca puisi tanpa judul yang dibuatnya satu jam sebelum tampil. Di depan panggung, Vera terlihat sedikit grogi. Namun, suaranya tetap lantang. Hanya riuh tepuk tangan penonton yang mengalahkan suaranya.
Kelas belajar
SR Iboe Inggit Garnasih bukan lembaga pendidikan formal. Guru tetapnya hanya Gatot dan Sandi. Ruangannya menumpang di Aula RW 005. Mayoritas biaya operasional disisihkan Gatot dari honor sebagai penari. Dia pantang membuat proposal bantuan untuk cintanya di Lio Genteng.
Dengan kemampuan yang terbatas, SR menjadi ruang kreativitas sekitar 50 anak di tengah kepadatan Kota Bandung. Ruang berekspresi itu menjauhkan anak-anak dari pengaruh buruk yang mungkin timbul di tempat tinggal mereka yang berada di sekitar pasar dan terminal.
”Semua muncul dari kemandirian. Tidak ada paksaan untuk datang,” katanya.
Materi yang disampaikan dibuat Gatot sesederhana mungkin. Ia membagi kelas sesuai dengan kemampuan dan minat anak-anak yang belajar. Ada empat kelas yang mengambil nama dari tokoh-tokoh nasional.
Ada kelas Asmara Hadi. Di sini, mereka belajar beragam jenis kesenian, mulai dari tari, baca puisi, hingga teater. Gatot mengajar di kelas ini.
”Mereka sudah beberapa kali ikut tampil saat saya menari di berbagai acara. Mulai dari peringatan hari lahir Inggit Garnasih hingga Pancasila,”katanya.
Selain itu, ada kelas Setiabudi yang mengajarkan sejarah. Siswa di kelas ini diberi materi pengetahuan tentang pahlawan nasional. Mereka diajak berwisata sejarah, seperti kunjungan ke situs eks Penjara Banceuy dan Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung. Keduanya jadi secuil situs perjuangan presiden pertama RI, Soekarno.
Lalu, ada kelas Maulwi Saelan dengan materi olahraga. Sesuai dengan sosok Maulwi sebagai penjaga gawang tim sepak bola Indonesia, anak-anak di kelas ini bermain futsal. Mereka membentuk tim Maulwi Saelan FC yang berhasil merebut juara dalam acara peringatan 17 Agustus di tingkat kecamatan.
Di kelas Lasminingrat, anak-anak belajar literasi. Materi yang dipelajari adalah bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Semangat Lasminingrat sebagai sosok perempuan yang doyan belajar menjadi panutan anak-anak di kelas itu.
”Belajarnya dari lagu berbahasa Belanda. Salah satunya lagu satir tentang Nusantara berjudul ’Arm Den Haag’,” kata Gatot.
Bukan hanya anak-anak yang merasakan manfaat menimba ilmu di SR, melainkan orangtua pun ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan komunitas. Para orangtua dengan swadaya membangun perpustakaan sederhana untuk menampung buku sumbangan bagi SR dari berbagai pihak.
”Pada akhir 2017, warga juga ikut membersihkan selokan dari beragam kotoran rumah tangga. Selokan itu digunakan untuk Festival Kolotok (perahu mainan berbahan bakar minyak kelapa) dalam rangka memperingati Deklarasi Djuanda,” kata Gatot.
Ilmu untuk perempuan
Nama Gatot sudah dikenal jauh sebelum SR berdiri. Bersama komunitas Kelompok Anak Rakyat, lulusan jurusan tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung ini kerap menunjukkan sikap kritis lewat tarian. Tempatnya di pinggir jalan, di sudut gang, hingga sungai Bandung yang kotor dan dangkal.
Dia menari saat ada wartawan yang mendapat tindakan kekerasan. Dia juga berkreasi saat tidak banyak orang tahu hari lahir Soekarno dan Hatta. Terakhir, dia juga menari saat merayakan kelahiran Inggit Garnasih, mantan istri Presiden Soekarno.
Gatot tak ingin berjalan sendirian dalam melakukan kegiatan yang melibatkan masyarakat. Misalnya saja, Februari ini dia menggelar ”Bulan Cinta Inggit Garnasih” dengan banyak macam kegiatan. Tahun ini genap menginjak tahun keempat.
Rangkaian acara dibuka dengan penampilan tarian 17 penari. Beberapa acara yang digelar seperti diskusi tentang Inggit, acara menulis surat cinta untuk Inggit, pawai obor, dan pertandingan futsal.
Salah satu yang menarik adalah workshop tata rias di Aula RW 005, Minggu (18/2) siang. Temanya adalah riasan undangan pernikahan. Gatot mengundang temannya, Ii Gundari, untuk memberikan materi tata rias. Sebanyak 20 ibu dan remaja perempuan hadir dalam acara itu.
Beragam teknik disampaikan Gundari. Mulai dari bedak dasar hingga goresan pensil rias. Ia membawa lengkap peralatannya. Meski tidak dibayar, ia tetap total menularkan keahliannya.
Gatot mengatakan, workshop ini nantinya akan terus berkembang. Harapannya, ibu-ibu dan remaja perempuan punya keahlian saat merias. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebagai alternatif pekerjaan sampingan.
”Kami juga sedang menyiapkan kursus menjahit hingga pembuatan bedak dingin. Aktivitas itu juga yang dilakukan Inggit Garnasih saat membantu mengumpulkan modal bagi Soekarno saat berjuang. Harapannya, bisa memberikan banyak pilihan kreativitas bagi warga,” katanya.