Sinden Sunda yang Bahagia
Mata Rita Tila (33) berkaca-kaca saat menceritakan bagaimana dirinya mengenal nada. Semua dimulai dari sebuah dapur sederhana dan berlanjut di sekitar terminal bus. Dari situ, Rita ”mentas” dan menjelma menjadi sinden Sunda yang melanglang buana.
”Hidup kami dulu tidak mudah. Namun, banyak pelajaran yang didapatkan,” kata penyanyi dan sinden Sunda ini pada satu pagi di Bandung, akhir Januari.
- English Version: Joyful Sundanese "Sinden"
Rita mengatakan sejak kecil terbiasa bangun pagi untuk membantu kakek, almarhum Oting, dan neneknya membuat gorengan di dapur sederhana di belakang rumah di Sukabumi. Di antara asap kayu bakar itulah, dia kerap mendengar suara merdu keluar dari mulut kakeknya. ”Biasanya beliau bernyanyi menghibur nenek,” kenang Rita.
Rita, yang saat itu masih duduk di bangku SD, masih ingat suara kakeknya sangat tinggi. Sang kakek adalah seniman beluk, kesenian tarik suara khas Sunda yang awalnya kerap disuarakan petani di ladang. Rita kecil diam-diam menyimak suara sang kakek. Ia coba menirukan dan membuat kakeknya jatuh hati.
Selain olah vokal, Rita belajar menari mengikuti irama lagu Sunda yang banyak diperdengarkan di radio kala itu. Ia melatih kemampuannya di sela-sela kegiatan menjajakan gorengan buatan neneknya di Terminal Nagrak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia melatih rasa percaya dirinya dengan tampil di hadapan banyak orang.
Mendengar suara Rita yang merdu, banyak pelanggan terpukau. Belakangan, mereka meminta Rita menyanyi dan menari.
Ibu Rita, Iis Rohayati, juga punya peran besar di balik kemampuan Rita. Iis adalah sinden tenar di Jabar. Julukannya ”Si Jangkrik” karena piawai menyinden sembari memainkan jurus pencak silat. Berikutnya, ia belajar dari sang ibu dan akhirnya bisa tampil satu panggung. Tak jarang ia ikut menyanyi hingga berganti hari.
”Subuh selesai manggung, ibu biasanya minta air panas ke rumah yang dekat pementasan. Airnya untuk saya mandi sebelum pergi sekolah. Nah, di sekolah ini perjuangannya lebih berat. Mengantuknya luar biasa,” katanya tertawa.
Melanglang buana
Perlahan nama Rita dikenal sebagai sinden dan penari cilik. Dari awalnya tampil gratis, Rita dibayar Rp 1.500 untuk sekali pentas. Jumlah itu dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan uang bayaran bulanan untuk sekolah tingkat SD ketika itu.
Selepas Rita lulus SMP, tawaran menarik datang dari pamannya. Dia ditawari melanjutkan sekolah di SMKN 10 Bandung. Dari situ kemampuan berkeseniannya terus diasah. Ia kemudian masuk jurusan musik Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung (kini Institut Seni Budaya Indonesia), dilanjutkan di Universitas Pendidikan Indonesia.
Pengalamannya semakin luas. Selain banyak menjuarai kejuaraan menyanyi tradisi dan pop Sunda, dia bertemu banyak musisi Sunda senior. ”Saya punya banyak panutan. Ada penembang Euis Komariah dan Neneng Dinar, pesinden Nunung Nurmalasari dan Idjah Hadijah, hingga juru kawih Ida Rosida,” katanya.
Ia juga bergabung bersama kelompok musik Samba Sunda pimpinan Ismet Ruhimat. Ia tertarik bergabung karena saat itu tak banyak kelompok yang berani memadukan musik tradisi dan modern jadi satu karya indah. ”Penampilan bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga ke banyak negara,” kata Rita yang pernah menyanyikan lagu berbahasa Sunda di Belanda dan Jerman.
Rita juga sempat menjadi dosen luar biasa di Amerika Serikat pada 2008. Ia datang atas undangan pakar etnomusikologi dunia Andrew Weintraub. Rita berkeliling ke beberapa kampus di Pittsburgh, Ohio, Washington DC, hingga Atlanta.
”Salah satu momen yang tak pernah dilupakan saat diminta memberikan nama untuk gamelan Sunda di Emory University Atlanta. Namanya Nyi Mas Mandalasari. Harapannya menjadi gamelan yang terus memberikan beragam ilmu bagi semua orang,” katanya.
Akan tetapi, bukan pengakuan dari luar negeri yang membuat Rita meneguhkan kesetiaannya pada seni vokal tradisi, melainkan pertunjukan ”Sinden Republik” di Jakarta tahun 2016. Saat itu, ia tampil bersama pesinden lainnya, seperti Waljinah dan Soimah. Rita adalah satu-satunya sinden Sunda yang tampil di sana. ”Melihat apresiasi banyak orang yang datang, saya yakin seni tradisi masih dinanti dan tidak akan mati,” kata Rita.
Rita membuktikannya dengan terus berkarya, mendirikan rumah produksi RT Pro dan kelompok musik Kacapi Inovatif. Ia juga terus berkreasi. Garapan teranyarnya adalah lagu ”Sabeulah Panon”. Musik dan aransemen lagunya penuh warna tradisi dan kekinian. Video klipnya penuh variasi gambar, tata lampu, dan busana elegan. Rita ingin musik Sunda tak dipandang sabeulah panon alias sebelah mata.
Saat ini, ”Sabeulah Panon” melengkapi ratusan lagu dalam 24 album miliknya. Genrenya beragam, mulai dari jaipong, kacapian, kliningan, hingga pop Sunda. Ia kerap dijuluki ”Sinden Gandrung Gumiwang” karena teknik menyanyi yang mendekati sempurna.
Di luar album, banyak lagu tunggal juga ia telurkan. Bentuknya bervariasi, baik solo maupun duet, dengan musisi dan kelompok musik lainnya. ”Sulit menolak yang minta duet. Banyak yang sengaja digratiskan. Ketimbang memikirkan biaya, saya ingin lebih banyak melihat eksistensi musisi Sunda,” kata Rita yang pernah berduet dengan beberapa musisi di Norwegia.
Ia juga tak ingin menjadi kacang lupa kulitnya. Rita meluangkan waktu untuk mengajar di ISBI Bandung untuk mata kuliah vokal tradisi dan vokal Barat. Dia memilih tidak dibayar dengan alasan merasa belum memiliki kemampuan yang mumpuni. Semuanya dijalani sembari menyelesaikan studi pascasarjana di tempat yang sama. Ada sekitar 200 mahasiswa yang menjadi muridnya. ”Saya ingin berbagi ilmu,” katanya.
Hari semakin siang saat telepon genggam Rita berdering. Jeong Tae-seong (52), mahasiswa S-2 dari Universitas Pendidikan Indonesia asal Korea Selatan, yang ditunggu pun datang. Tae-seong menjadikan Rita sebagai aktor utama untuk tesisnya bertema perkembangan musik tradisi Sunda.
Kepada Tae-seong, Rita tak sekadar menuturkan teori bernyanyi, tapi juga mempraktikkannya. Suaranya tinggi dibalut beragam teknik vokal, seperti dongkari untuk memecah suara dan vibra yang kaya resonansi.
Tae-seong pun terkesima. ”Kalau dia lahir di Jepang atau Amerika, pasti sudah dikenal dunia. Rita punya segalanya, mulai dari vokal hingga cara berkomunikasi dengan penikmat suaranya,” katanya.
Mendengar itu, wajah Rita kembali haru. Ia teringat pada masa lalu saat pertama memulai mengenal nada. Mimpinya jauh dari ambisi ketenaran. Dia hanya ingin menyanyi dengan bahagia.