Tradisi bersedekah sulit lepas dari hidup Rasyid (52). Berawal dari kebiasaan menyeduhkan kopi gratis, usahanya tumbuh kian pesat. Dari gudang kopinya tak terhitung lagi jumlah orang berhasil menamatkan studi tentang kopi.
“Saya sudah tidak ingat berapa banyak mahasiswa magister yang sukses selesai tesisnya dari hasil penelitian di sini,” ujar Rasyid, saat menerima kunjungan Kompas ke gudang kopinya, Rabu (20/12), di Kampung Mongal, Kecamatan Bebesen, Takengon, Aceh.
Ruangan itu sebenarnya bukanlah gudang, melainkan ruang kerja Rasyid. Namun, tampak seperti gudang karena menyatu dengan setumpukan biji kopi, mesin sangrai besar buatan Jerman, serta mesin-mesin giling dan peralatan seduh. Ada pula tumpukkan berkas dan ratusan dokumen penghargaan.
Di tempat itulah, mahasiswa, peneliti, hingga calon wirausahawan dari berbagai daerah hingga luar negeri belajar tentang kopi. Mahasiswa Jurusan Kopi dari sebuah universitas di Korea Selatan misalnya, bisa berbulan-bulan menjalani tugas penelitian untuk studinya di tempat itu. Mereka pun kerap menyebut tempat itu sebagai laboratorium kopi.
Mereka sudah sukses jadi doktor, sedangkan saya masih begini-beginilah
Rasyid membebaskan eksperimen kopi berlangsung di sana. Para peneliti itu mempelajari keragaman mengolah kopi, mulai dari buah merah hingga menjadi minuman di atas meja. Banyak yang telah berhasil meraih gelar sarjana hingga doktor dengan penelitian di gudang Rasyid. “Mereka sudah sukses jadi doktor, sedangkan saya masih begini-beginilah,” ucapnya ringan sembari tertawa.
Oro Kopi adalah usaha bubuk dan biji kopi miliknya. Tempat itu telah dikenal selalu terbuka buat siapa saja. Seringkali orang datang hanya untuk numpang minum kopi. Padahal, seduhan kopi yang tersaji di sana masuk kategori spesialti, yang harga bijinya jika dijual rata-rata Rp 300.000 per kilogram. Harga kopi winey dan luwak bahkan mencapai Rp 500.000 per kilogram.
Untuk menikmati kopi spesialti gratis itu, orang cukup datang. Sekitar 30 meter dari laboratorium, ada sebuah bangunan lain untuk para tamu berkumpul, berdiskusi, ikut cupping, atau sekadar mencicipi minuman. Siapapun yang datang, para pekerjanya akan langsung menghidangkan minuman kopi. Jika si pengunjung tertarik untuk menyeduh sendiri pun bisa langsung masuk ke dalam dapur yang merangkap tempat gerai beragam jenis kopi disusun dalam toples-toples besar dari kaca. “Bisa menyeduh langsung sesuai selera. Yang penting sudah tahu cara menyeduh yang benar,” katanya.
Bersahabat
Gudang Produksi Oro Kopi bisa dikatakan paling bersahabat dan terbuka bagi siapa saja. Setiap orang yang masuk ke dalam kompleks usaha kopinya pun bebas melihat proses pengolahan kopi, mulai dari penjemuran, penyortiran, penyangraian, penggilingan, hingga pengemasan.
Di ruang penyortiran, hampir seratusan perempuan bekerja menjadi tenaga kerja. Proses sortir sangat detil memisahkan biji kopi terbaik, baik, hingga kurang baik. Proses ini tak sembarangan orang bisa mengetahuinya di tempat-tempat usaha pengolahan kopi pada umumnya. Kebanyakan pengusaha kopi cenderung menutup atau merahasiakan. Namun, bagi Rasyid, tidak ada yang perlu ditutupi.
Keterbukaan itu tak lepas dari jiwa guru sang pemilik usaha.
Rasyid adalah anak petani kopi. Hidupnya tak jauh dari kebun. Namun, setelah dewasa ia menjadi seorang guru di salah satu sekolah menengah pertama di Takengon. Dalam jiwanya selalu tertanam niat bersedekah dengan cara mencurahkan seluruh ilmu pengetahuan yang dimiliki bagi anak-anak didiknya.
Ia bergelut pada usaha perdagangan kopi tahun 1997. Berkaca pada pengalaman getir hidup ayahnya yang selalu pas-pasan, Rasyid sadar bahwa menjadi petani saja tak akan membawa perubahan. Sedikit demi sedikit ia belajar mengolah buah dan biji kopi. Ia bertekad bisa menghasilkan biji kopi menjadi kualitas premium hingga spesialti.
Setiap orang yang datang disuguhinya minum kopi. Selain ingin bersedekah, Rasyid pun penasaran mengetahui komentar orang yang meminum seduhan kopi olahannya.
“Awalnya orang-orang minum kopi di sini. Gratis. Ternyata mereka suka dengan aroma dan rasanya, mereka pun membeli produknya. Dari sanalah usaha ini berjalan,” ucap Rasyid.
Peminat kopinya semakin banyak. Pasarnya pun cepat meluas hingga ke luar negeri. Tempat usaha Oro Kopi kini menjadi salah satu yang terbesar di Takengon. Pasokan biji kopinya pun lengkap tersedia dalam puluhan toples besar dari kaca. Pada sepanjang etalase, biji kopi tampak begitu beragam mulai dari jenis varietasnya, cara pengolahannya, hingga cara sangrainya, dari jenis kopi premium, arabika spesialti, varietas ateng, robusta, peaberry, luwak, hingga winey.
Ia menyediakan bubuk kopi yang juga beragam cita rasanya. Salah satunya bubuk kopi yang dihasilkan dari penanaman di ketinggian 1.551 meter di atas permukaan laut. Perpaduan aroma rasa manis, asam, serta rasa buahnya begitu lembut dan seksi.
Pengunjung kerap menanyakan soal keragaman kopi di sana. Lalu mereka ingin belajar cara mengolahnya. Rasyid dengan murah hati menjelaskan dan mengajak berdiskusi. Ia bahkan menyediakan ruangan khusus presentasi dan audiensi bagi para peneliti kopi. Rasyid menyiapkannya di lantai 2. Ruangan itu berkapasitas 50 orang. Semuanya dapat digunakan gratis.
Kesuksesan tak membuatnya lupa pernah hidup sebagai anak petani kopi miskin. Kisah pahit di masa kecil jadi kenangan. Itu bahkan mengetuk pintu hatinya untuk selalu bersedekah. Rasyid meyakini, segala yang dihasilkan dalam bisnisnya takkan dibawa mati. Namun, yang ia sedekah bagi orang lain sejatinya menjadi sumber damai di masa depan. Karena agama mengajarkan sedekah sebagai amal untuk hari depan.
Rasyid
Lahir : Takengon, 15 Maret 1966
Istri : Rahmah (49)
Anak :
- Riski Badaruzzaman (24)
- Purnama Fitri (20)
- Faridah Hanum (13)
Pendidikan terakhir : S1 IKIP Padang Jurusan Geografi Lulus 1991