Prafulla Samantara, Pejuang Kehidupan dari Tanah Hindustan
Meskipun bukan bagian dari suku Dongria Kondh, India, Prafulla Samantara (67) tetap memperjuangkan tanah adat di Pegunungan Niyamgiri yang menjadi hak mereka. Tidak hanya adat, upaya tersebut juga berhasil melindungi kelestarian alam di Niyamgiri, penopang hidup berbagai satwa liar di sana. Samantara pun mendapat penghargaan internasional, menjadi tokoh perjuangan kaum minoritas adat dalam mempertahankan alam.
Pada Global Land Forum 2018 di Bandung, Selasa (25/9/2018), Samantara menjelaskan tentang pentingnya peran pemerintah dalam kebijakan pertanahan kepada 500 lebih peserta yang berasal dari sejumlah negara. Ia tegaskan bahwa pemerintah perlu hadir dalam proses penguasaan lahan untuk menghargai hak-hak warga negara, termasuk kaum adat.
”Permasalahan lahan di negeri kami dan di sini (Indonesia) tidak jauh berbeda. Globalisasi membawa perusahaan asing dengan modal besar menguasai lahan masyarakat adat,” tuturnya saat ditemui seusai menjadi pembicara kunci dalam topik ”Tantangan Pemberdayaan Masyarakat sebagai Sentral Tata Kelola Lahan” di Global Land Forum 2018.
Samantara menceritakan perjuangannya selama lebih kurang 12 tahun melawan perusahaan tambang yang mencoba mengeksploitasi Pegunungan Niyamgiri. Bukit ini berjarak sekitar 1.500 kilometer sebelah tenggara New Delhi, ibu kota India.
Pada 2003, ia melihat pemberitaan tentang sidang terbuka rencana penambangan bauksit di Pegunungan Niyamgiri. Penambangan ini dilakukan oleh salah satu perusahaan multinasional yang berbasis di Inggris.
Pertambangan ini berpotensi menghancurkan 672 hektar hutan Niyamgiri yang dianggap keramat oleh masyarakat Dongria Kondh. Hidup di pedalaman dan terisolasi membuat masyarakat ini kesulitan mempertahankan tanah.
Mereka memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dan akses teknologi informasi. Hal ini membuat sidang terbuka terkait rencana penambangan tidak bisa diakses oleh masyarakat Dongria Kondh, yang seharusnya memiliki hak atas tanah ulayat adat secara turun-temurun.
Sebagai aktivis sosial, Samantara tergerak melihat masyarakat adat penghuni Niyamgiri tak berdaya saat perusahaan melakukan aktivitas pertambangan terbuka di daerah ini. Demi membantu warga setempat, ia rela berjalan ratusan kilometer dari tempat tinggalnya untuk mencapai masyarakat adat yang hidup di beberapa sudut perbukitan. Ia bersedia membantu mereka meski tidak berasal dari komunitas tersebut.
Mereka telah kehilangan tanah, air, bahkan kehidupan. Mereka perlu diperkuat untuk mempertahankan tanah tersebut, harus mendapatkan dukungan
”Pada awalnya mereka bahkan tidak mengenal saya. Bahkan, rumah saya berjarak 400 kilometer dari pegunungan tersebut. Namun, mereka perlu dibimbing agar bisa keluar dari masalah ini. Mereka telah kehilangan tanah, air, bahkan kehidupan. Mereka perlu diperkuat untuk mempertahankan tanah tersebut, harus mendapatkan dukungan,” tuturnya.
Dengan memperkuat komunitas, warga bisa mempertahankan daerahnya. Untuk itu, perlu sosok pemimpin yang bisa membimbing saat memperjuangkan hak atas tanah. Pemimpin dalam pergerakan pun menjadi kunci dalam melobi pihak-pihak yang berkuasa agar mau mengakomodasi kepentingan masyarakat minoritas ini.
Samantara bercerita bagaimana ia menjadi dekat dengan masyarakat Dongria Kondh. Setelah diterima di dalam komunitas dan didengar, ia menguatkan mereka dengan cara mengumpulkan dan menggerakkan mereka dalam kampanye-kampanye penegakan hak sehingga didengar oleh pemerintah.
”Masyarakat punya ruang dalam demokrasi. Kekuatan akan timbul dengan mobilisasi massa untuk mendapatkan kebebasan. Dengan menyuarakan pendapat, mereka bisa diberi kesempatan untuk mempertahankan tanah yang menjadi hak suku penjaga Niyamgiri ini,” ujarnya.
Dukungan internasional
Kampanye penolakan pertambangan di Niyamgiri tidak cukup dengan pergerakan di dalam negeri saja. Samantara sadar, mereka tengah melawan perusahaan besar yang berbasis di luar negeri. Oleh karena itu, ia meminta dukungan dari masyarakat internasional untuk merespons dampak kerusakan di Pegunungan Niyamgiri.
Kampanye tersebut memengaruhi para investor, di antaranya dari Norwegia Pension Fund dan Church of England. Mendengar isu tersebut, kedua investor ini melakukan penyelidikan dengan mendatangi lokasi pertambangan dan mendengar informasi langsung dari masyarakat Dongria Kondh.
Penyelidikan kedua investor yang dilakukan terpisah itu berujung kepada keputusan serupa, yakni penarikan investasi untuk proyek pertambangan tersebut. Keputusan itu memberikan dampak moral terhadap kekuatan gerakan-gerakan yang memprotes aktivitas pertambangan.
Kami tahu, yang dilawan adalah perusahaan luar negeri dengan kapasitas modal yang besar. Oleh karena itu, kami membentuk opini di luar negeri
”Kami tahu, yang dilawan adalah perusahaan luar negeri dengan kapasitas modal yang besar. Oleh karena itu, kami membentuk opini di luar negeri. Kami mengangkat permasalahan ini menjadi isu internasional dan dikaitkan dengan isu-isu perempuan. Kami diundang ke London, Inggris, negara basis perusahaan ini,” ujar Samantara.
Tidak hanya dari luar negeri, dukungan India terhadap pergerakan Samantara dan suku Dongria Kondh pun membawakan hasil. Pada April 2013, Mahkamah Agung India mengeluarkan keputusan untuk memberikan hak pilih kepada masyarakat Dongria Kondh atas pertambangan di Pegunungan Niyamgiri. Semua suku yang berada di Niyamgiri memberikan keputusan bulat, menolak aktivitas tambang di pegunungan itu.
Hasil itu mendapatkan apresiasi internasional. Pada April 2017, Samantara mewakili Asia mendapatkan Goldman Prize, sebuah penghargaan bergengsi kelas dunia. Penganugerahan ini diberikan kepada pejuang lingkungan tingkat akar rumput dari enam benua, yaitu Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Selatan, serta Negara-negara Kepulauan.
Sejumlah warga Indonesia juga pernah menerima Goldman Prize, antara lain Yosepha Alomang (2001) dan Aleta Baun (2013). Keduanya adalah perempuan yang memperjuangkan hak masyarakat adat yang dilanggar perusahaan pertambangan. Yosepha bergerak di Papua, sedangkan Aleta di Nusa Tenggara Timur.
Dihubungi secara terpisah, Koordinator International Land Coalition (ILC) Regional Asia Saurlin Siagian mengatakan, prestasi ini membuat Samantara menjadi narasumber utama dalam Global Land Forum. Kemenangan Samantara dalam memperjuangkan masyarakat adat dan hutan di Pegunungan Niyamgiri menjadi inspirasi dunia.
”Perjuangan dengan prinsip tanpa kekerasan ini berhasil dimenangkan saat pemerintah mereka sedang menggencarkan pertumbuhan ekonomi India dengan membuka investasi asing seluas-luasnya. Beliau memang layak mendapatkan Goldman Prize,” ujarnya.
Kita tak bisa membiarkan hal ini. Orang-orang lokal yang berjuang harus diperkuat agar bisa hidup terjamin di tanah sendiri
India telah menghadapi globalisasi yang berujung kepada terbukanya investasi asing. Samantara melihat hal itu adalah sebuah eksploitasi jika tak ada pemberdayaan dari masyarakat lokal. ”Kita tak bisa membiarkan hal ini. Orang-orang lokal yang berjuang harus diperkuat agar bisa hidup terjamin di tanah sendiri,” ujarnya.
Tak hanya kekuatan demi manusia, tetapi juga alam yang mereka jaga, seperti Pegunungan Niyamgiri yang menjadi salah satu habitat alami harimau bengal serta sumber air untuk seluruh makhluk hidup. Samantara melindungi kehidupan Niyamgiri.
Seperti India, Indonesia juga perlu tokoh-tokoh akar rumput yang berjuang untuk melindungi kehidupan.
Prafulla Samantara
Lahir: Nimundia, India, 1 Mei 1951
Jabatan: President of Lok Shakti Abhiyan
Penghargaan: Goldman Prize 2017