Maulani Rotinsulu, 40 Tahun Berjuang untuk Perempuan Disabilitas
Hampir 40 tahun, Maulani Maulani Agustiah Rotinsulu mendedikasikan hidupnya untuk melawan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap perempuan disabilitas. Ia ingin disabilitas memiliki posisi setara.
Oleh
Sonya Helen Sinombor
·4 menit baca
Berjuang melawan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas, terutama perempuan, adalah jalan hidup yang dipilih Maulani Agustiah Rotinsulu (57). Perempuan yang dibesarkan di Papua ini, tak pernah lelah bersuara lantang, mengangkat berbagai persoalan yang dialami penyandang disabilitas di Tanah Air.
Hampir 40 tahun, Maulani mendedikasikan hidupnya untuk isu disabillitas. Sebagai Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Maulani yang juga penyandang disabilitas fisik, konsisten bersuara dan bergerak demi mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan disabilitas.
“Isu disabilitas adalah bagian dari kehidupan saya dan masyarakat disabilitas umumnya. Persepsi tentang disabilitas mesti utuh. Penting bagi saya untuk menciptakan lebih banyak perempuan yang peduli dan dapat menyuarakan kepentingan perempuan disabilitas,” ujar Maulani di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Semakin masuk ke dalam dan melihat situasi riil penyandang disabilitas, ia semakin merasa masih banyak yang belum terselesaikan. “Yang dilakukan HWDI baru sebagian kecil dari yang harus diperjuangkan,” ungkap Maulani yang juga salah satu pendiri HWDI.
HWDI merupakan organisasi yang pengurus dan anggotanya terdiri dari perempuan dengan berbagai jenis disabilitas. HWDI didirikan pada 9 September 1997 di Jakarta. Sebelumnya bernama Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI). Saat ini, HWDI memiliki jaringan di 34 provinsi dan 95 kabupaten/kota.
Bersama HWDI, Maulani saat ini fokus pada program pendidikan seksualitas dan kesehatan resproduksi (kespro) perempuan disabilitas. Program ini memberi perhatian utama pada keselamatan/keamanan dan perlindungan perempuan disabilitas. Kedua isu itu sangat penting, karena pengetahuan seksualitas dan kespro menjadi landasan utama untuk menghindarkan perempuan disabilitas dari berbagai kekerasan.
Selama ini pemahaman seksualitas dan kespro tidak pernah sampai kepada perempuan disabilitas dengan baik. Pasalnya, cara menyampaikannya tidak sesuai dengan penerimaan dari berbagai disabilitas. Berdasarkan kajian HWDI tahun 2015, pengetahuan remaja perempuan disabilitas, terutama di panti-panti sosial dan sekolah luar biasa tentang seksualitas dan kespro, sangat minim.
“Ternyata penyampaian tentang seksualitas dan kespro tidak disesuaikan dengan penangkapan mereka. Misalnya, disabilitas netra lebih utamakan potensi pendengaran dan perabaan, disabilitas rungu-wicara utamakan potensi penglihatan, dan disabilitas intelektual membutuhkan yang lebih dari biasanya. Jadi berbeda-beda penangkapannya, tidak bisa disamaratakan cara pengajarannya,” ujar Maulani yang menjadi penyandang disabilitas fisik sejak umur 7 tahun setelah mengalami kecelakaan mobil di Jayapura, Papua.
Untuk memastikan perempuan disabilitas netra memahami soal ketubuhannya, seksual dan kespro, selama ini HWDI melakukan penyuluhan kepada para perempuan disabilitas netra dengan menggunakan boneka sebagai replikasi perempuan anak, remaja, dan dewasa. Boneka-boneka itu menggambarkan perkembangan tubuh seorang perempuan sesuai fase pertumbuhan.
Misalnya, boneka usia remaja sedang mengalami menstruasi harus menggunakan pembalut. Ada pula boneka yang mewakili perempuan hamil, dan bagaimana proses kelahiran seorang anak. Boneka ini dapat disentuh para disabilitas netra.
Kajian seperti itu penting, sebab selama ini penyandang disabilitas suaranya cuma melengkapi, seolah-olah mereka sudah diperhitungkan. Padahal, kuncinya adalah bagaimana caranya mengajarkan dan memberi pemahaman terhadap ragam disabilitas.
Tahun 2016, HWDI melakukan kajian tentang kebijakan seksualitas dan kespro perempuan disabilitas yang tercantum dalam laporan berjudul “Sexuality & Reproductive Health of Persons With Disabilities”. Kajian hasil kerja sama dengan Asian Disability Forum (ADF) itu diserahkan kepada pemerintah. Kajian digunakan untuk mendorong kementerian seperti Kementerian Kesehatan agar membuat buku panduan yang memastikan penyandang disabilitas dilibatkan dalam penyusunan berbagai kebijakan.
“Jadi kebijakan pemerintah tidak berdasarkan asumsi,” kata Maulani yang sejak 2017 terpilih sebagai Secretary General ASEAN Disability Forum (ADF).
Melawan stigma
Selama puluhan tahun menjadi aktivis dalam isu disabilitas, Maulani mengaku berjuang untuk melawan stigma bagi penyandang disabilitas dan perempuan disabilitas. Ia tidak hanya berhadapan dengan pemerintah tapi juga dengan masyarakat.
Selain melakukan kampanye yang memastikan kebijakan pemerintah sensitif terhadap disabilitas, HWDI bersama organisasi penyandang disabilitas lainnya tak pernah berhenti membuat pernyataan di publik terkait situasi penyandang disabilitas.
“Saya tidak akan berhenti berjuang menyuarakan isu disabilitas, karena implementasi dari kebijakan-kebijakan yang ada masih belum sesuai dengan peraturan tentang perlindungan penyandang disabilitas, terutama soal kepatuhan terhadap Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD),” ujar Maulani yang bermimpi satu saat di Indonesia tercipta kesetaraan bagi penyandang disabilitas.
Maulani Agustiah Rotinsulu
Lahir di Jakarta, 13 Agustus 1962
Suami: Jeffry Ferdinand Roebert
Anak: Matthew Marcel Roebert dan Hans Paulus Roebert
Pendidikan:
SD Kebonbaru 2 Jakarta (lulus 1976)
SMPN 84 Jakarta Utara (1978)
SMA Fons Vitae II Marsudirini, Jakarta (1981)
Diploma III Bahasa Inggris, Universitas Jayakarta, Jakarta (1985)
Penghargaan:
UN-ESCAP, Champion on the Rights of Persons with Disabilities (2012)
Penghargaan dari Kementerian Sosial terkait perlindungan hak-hak penyandang disabilitas (2017).