Romo Andang L Binawan SJ bertahun-tahun menggerakkan akar rumput lintas agama untuk mengurangi sampah. Ia menekankan bahwa boros sampah sebagai ”dosa ekologis” manusia.
Oleh
Stefanus Ato/Irma Tambunan
·4 menit baca
Kemunduran hasil pertemuan perubahan iklim dunia tak menyurutkan semangat Romo Andang Listya Binawan SJ (56). Sehari-harinya ia tetap setia mengawal kepedulian sampah dari akar rumput. Dari situlah gerakan yang dibangun mampu meleburkan sekat-sekat perbedaan.
Sejak 17 tahun lalu, Romo Andang Listya Binawan SJ meletakkan kepedulian terhadap persoalan lingkungan. Mimpinya sederhana, setiap orang dapat melihat sampah bukan untuk dibuang, melainkan untuk dimanfaatkan. Saat sampah terus menumpuk di Bumi, kehidupan manusia dibayangi kerapuhan.
Kesadaran untuk bertanggung jawab merawat bumi selayaknya menjadi napas setiap orang. Kepedulian akan lingkungan agar diimani. Masalahnya, bagaimana hal itu dapat mudah dijalankan?
Ia pun mencari cara paling sederhana. Berbicara masalah lingkungan di Jakarta yang harus menjadi fokus adalah sampah. Kala itu kebanyakan orang masih tak peduli soal sampah.
Dalam Konferensi Wali Gereja Indonesia tahun 2003, para uskup berpandangan bahwa masalah sampah bukan hanya masalah sosial. Sampah juga berkaitan dengan masalah iman sehingga membutuhkan perhatian gereja.
Baru pada 2005, saat digelar Sidang Agung Gereja Katolik Seluruh Indonesia, dibahas perihal terjadinya berbagai macam kerusakan. Langkah aksi nyata dibutuhkan. Tebersit dalam pikiran Romo Andang untuk membuat aksi nyata gerakan hemat sampah.
Pada awalnya gerakan itu tak mendapatkan respons memadai. Andang pun mencari jalan. Agar gerakan hemat sampah bisa tersangkut pada kesadaran, harus pula dibangun konsep teologisnya. Dalam konteks lingkungan, ia menyebut boros sampah sebagai ”dosa ekologis” manusia. Karena itu, dibangun pula pertobatan ekologis.
Banyak umat menanyakan pertobatan ekologis yang dimaksud. Sederhana saja, katanya, budaya konsumtif harus diperangi. Sebab, budaya itu telah berdampak merusak lingkungan.
Melatih umat
Ia pun turun sendiri di lingkungan gereja, rumah tangga, wilayah, hingga tingkat keuskupan. Salah satunya, umat dilatih memilah sampah. Pernah satu ketika akan digelar perayaan di gereja. Saat panitia mempersiapkan konsumsi untuk 10.000 anggota jemaat, Andang meminta mereka membawa botol minuman sendiri. ”Kalau nanti air minumnya habis, kami sediakan isi ulang dalam galon,” katanya.
Untuk makanan, banyaknya jumlah konsumsi menyita perhatiannya. Bisa dibayangkan bagaimana sampah yang menggunung di gereja setelah seluruh umat pulang.
Karena itu, ia pun menyiapkan empat tempat sampah pada tiap-tiap sudut gereja. Masing-masing untuk sampah kertas, sendok plastik, kemasan plastik, dan wadah mika. Seluruh umat diinstruksikan memasukkan sampah sesuai tempatnya.
Imbauan itu rupanya membuahkan hasil. Tak sampai 1 jam setelah acara berakhir, sampah tuntas terpilah tanpa kerja keras. ”Dari situlah kami semakin yakin, ketika semua ikut bergerak, satu tujuan tercapai,” katanya.
Dalam ibadah-ibadah rumah tangga, ia rutin mengingatkan umat membawa minuman sendiri. Begitu pula saat berbelanja ke pasar agar membawa kantong belanja sendiri.
Belakangan, gerakan mengelola sampah dibangun. Bank-bank sampah dikelola pada sejumlah gereja di Jakarta. Bahkan sampah dari permukiman sekitar ditampung dalam bak sampah gereja.
Sejumlah umat pun dilatih membangun konsep-konsep pengelolaan kampung ramah lingkungan. Ada umat yang sudah berhasil menyulap kampungnya hingga meraih penghargaan Kampung Proklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada pula yang dilatih membuat biopori dan mengembangkan hidroponik.
Salah satu pertobatan ekologis yang juga digagasnya, mendorong umat yang kerap bepergian dengan bahan bakar untuk berdonasi bagi lingkungan. Hasilnya, terkumpul lebih dari Rp 200 juta dana yang kemudian dipakai menanam pohon di wilayah Pamulang dan Karawaci.
Salah satu kolaborasi yang dilakukan ialah mengandeng anak muda terlibat mengelola sampah melalui Gerakan Orang Muda Peduli Sampah dan Lingkungan Hidup (Gropesh). Gerakan yang dimulai sejak 2007 ini dikemas dengan berbagai cara, seperti pelatihan membuat kompos, bipori, hingga kerajinan tangan dari barang bekas.
”Tetapi itu sifatnya sekunder. Sebab, yang saya harapkan itu bukan hasil ekonomisnya, melainkan perubahan pola pikir, sikap, dan akhirnya perubahan perilaku,” ujarnya.
Karena getol dengan urusan mengolah sampah, lelaki kelahiran Yogyakarta itu kerap dipanggil ”Romo Sampah”. Sebutan itu tak ia permasalahkan sebab dengan label itu, apa yang dikampanyekan selama ini mulai tersemat dalam kesadaran warga.
Andang L Binawan SJ
Lahir: Yogyakarta, 17 Mei 1963
Pendidikan:
S- 2 bidang hukum gereja di Catholic University of America, Washington DC, AS (1994-1996)
S-2 bidang etika terapan di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia (1997-1998)
S-3 Church-State Relation, Fakultas Hukum Gereja Katholieke, Universiteit Leuven, Belgia (1999-2002)
Aktivitas: Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Dryarkara, Jakarta