Sosok-sosok ”Kompas” yang Menarik Perhatian Pembaca Sepanjang 2019
Departemen Sosial Media Kompas membuat lima daftar Instagram Post Sosok 2019 Kompas. Mereka terpilih dari 300 figur yang dimuat di rubrik Sosok Kompas sepanjang 2019.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Sejumlah figur yang dimuat dalam rubrik Sosok harian Kompas mencuri banyak perhatian pembaca. Salah satunya dr Lo Siauw Ging (84) asal di Kota Solo, Jawa Tengah, yang tidak pernah memberikan tarif berobat untuk pasien-pasiennya. Buat pasien miskin, Lo bahkan tidak mau menerima bayaran. Artikel tentang dokter baik hati ini dimuat Kompas, 19 Maret 2019.
Departemen Sosial Media Kompas membuat lima daftar Instagram Post Sosok 2019 Kompas. Mereka terpilih dari sekitar 300 figur yang dimuat di rubrik Sosok harian Kompas sepanjang tahun 2019. Kelima figur inspiratif yang terpilih adalah Lo Siauw Ging, Sutrasno, Bastian Tuhuteru, Kiagus Wirawan Rusdi, dan Roslinda. Profesi mereka mulai dokter, tentara, polisi, seniman, dan siswi SMP yang berjuang untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak. Mereka semuanya berjuang bagi kemanusiaan lewat kontribusi nyata di bidang kesehatan, lingkungan, pendidikan, budaya, dan perlawanan kekerasan pada anak. Dari kelima figur itu, Lo Siauw Ging mendapat respons paling besar.
Lo Siauw Ging, yang saat itu berusia 84 tahun dan duduk di kursi roda, masih telaten melayani pasien yang datang ke RS Kasih Ibu dan tempat praktiknya di rumahnya di Jalan Jagalan No 27, Solo, setiap Senin-Sabtu pukul 16.00-20.00. Setiap hari, ia melayani 20-30 pasien. Ketika masih muda dulu, pasiennya bisa mencapai 100 orang sehari.
Lo tidak pernah menetapkan tarif kepada pasiennya. Pasien dari kalangan masyarakat miskin tak dimintai bayaran sama sekali. Tidak hanya menggratiskan mereka, bahkan Lo juga menebus tagihan obat pasien tidak mampu. Tagihan obat yang harus dibayar dr Lo bervariasi, mulai dari ratusan ribu rupiah hingga Rp 10 juta per bulan. Ia membayar tagihan dari uangnya sendiri dan juga donator. ”Prinsipnya, bagi saya orang yang tidak mampu juga berhak untuk berobat,” katanya.
Namun, pasien Lo bukan hanya dari kalangan masyarakat miskin, sebagian malah merupakan masyarakat umum yang berpunya. Kepada pasien yang mampu itu pun, Lo juga tidak mematok tarif tertentu alias sukarela. Semua diserahkan kepada kerelaan setiap pasien dan keluarganya.
Serda Sutrasno
Sementara itu, sosok Sutrasno (44), tentara yang masih aktif sebagai anggota TNI dengan pangkat sersan dua, menginspirasi para petani sawit lain di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, untuk menanam nanas guna mengatasi kebakaran lahan gambut yang menyebabkan kabut asap.
Sejak 2016, kebakaran pun tak pernah lagi melanda kebun sawit milik Sutrasno dan petani sawit lain. Belakangan ia mengetahui ternyata tanaman nanas mampu menjaga kelembaban lahan gambut.
Bripka Bastian Tuhuteru
Sosok Bripka Bastian Tuhuteru (32) juga menarik perhatian pembaca karena di sela-sela tugasnya sebagai anggota Polri, ia mengabdikan diri bagi anak-anak di pedalaman Pulau Buru, Maluku. Ia memperkenalkan huruf dan angka bagi anak-anak sehingga dapat menulis dan membaca.
Ia termotivasi membantu anak-anak di Dusun Walapau sejak 2016 lantaran ia menemui banyak anak di kampung itu tidak sekolah lantaran tak ada gedung sekolah. Setiap hari mereka mengikuti orangtua ke hutan, meramu, dan berburu. Melihat orang baru mereka tidak mau mendekat.
Kiagus Wirawan Rusdi
Di Palembang, ada sosok Kiagus Wirawan Rusdi yang memilih setia untuk menjadi dalang wayang kulit Palembang di usia yang terbilang muda. Tidak banyak orang yang tahu bahwa Palembang memiliki kesenian wayang kulit. Maklum, pementasan wayang kulit Palembang semakin jarang sejak awal 2000-an. Kini, keberadaan wayang itu semakin terancam. Hanya ada seorang dalang bernama Kiagus Wirawan yang gigih mempertahankannya.
Roslinda
Di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, seorang dara bernama Roslinda menjadi sosok inspiratif karena di usianya yang baru 14 tahun, ia telah terlibat jauh dalam urusan perlindungan hak-hak anak di kampungnya. Ia mengoordinasi anak-anak untuk menghadapi kekerasan yang sering mendera mereka.
Kegigihan Roslinda memperjuangkan hak-hak anak membawanya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia tampil sebagai pembicara kunci pada Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan di New York, Amerika Serikat. Di depan para pejabat dari sejumlah negara, ia mengetuk hati semua pihak agar mendengar suara anak di seluruh dunia. Ia ingin melihat dunia ini bebas dari kekerasan terhadap anak.