Ananda Dwi Septian, Anak Muda yang Berjuang Jadi Petani di Purwakarta
Ketika anak muda enggan menjadi petani, Ananda Dwi Septian justru berjuang keras untuk menjadi petani. Ia juga mengajak anak-anak muda lain di kampungnya untuk jadi petani.
Oleh
Melati Mewangi
·5 menit baca
Di usianya yang masih muda Ananda Dwi Septian (25) menantang diri untuk menjadi petani. Lewat komunitas Petani Muda Mandiri yang ia dirikan, semangat bertani itu disebarkan kepada pemuda-pemudi desa. Baginya, pertanian bukan sekadar mencangkul, melainkan sebagai profesi yang menjanjikan.
Sabtu (14/12/2019) siang, Ananda Dwi Septian (25), akrab disapa Boti, sibuk memilah kacang panjang untuk dijual di stan acara Hadjat Tani di Dapur Hidup Nusantara, Kecamatan Wanayasa, Jawa Barat. Mendungnya langit siang itu tak menyurutkan semangat Boti untuk menyambut setiap pengunjung yang mampir ke stannya. Senyum ramah selalu tergambar.
Boti menggeluti pertanian hortikultura sejak 2017. Meski tergolong pemula, ia yakin betul bahwa dunia pertanian adalah jalan hidup yang sesuai dengan dirinya. Dari hasil bertani, ia mampu mengumpulkan uang minimal Rp 7 juta sebulan. “Bekerja dengan perasaan bahagia membawa nikmat tersendiri. Saya bangga menjadi petani muda dan mandiri,” ucapnya sambil tersenyum.
Boti pun bernostalgia. Sebelum menjadi petani, ia adalah buruh pabrik otomotif. Selama masa kerja 1,5 tahun, ia merasa penghasilan yang didapat minim. Uangnya habis untuk bayar sewa indekos dan makan. Tak diperpanjang kontrak kerjanya, ia pun menganggur selama dua tahun.
Selama itu pula, ia terus melamar kerja di berbagai tempat. Namun tak membuahkan hasil. Kegalauannya pun tak berujung, hingga akhirnya dia bertemu dengan Haris Budiman, Ketua Himpunan Pemuda Tani Purwakarta. Melalui Haris, secercah harapan itu muncul dalam diri Boti. Ia mendapatkan modal ilmu pertanian dari hulu hingga hilir.
Ia pun menjatuhkan pilihan menjadi petani. Namun, kedua orangtuanya semula menentang pilihan itu. Meski begitu, mereka memberikan lahan seluas 5.000 meter persegi untuk diolah Boti. Sementara, segala kebutuhan bertani, mulai dari beli bibit, pupuk, instalasi bambu, peralatan bertani, dan upah pekerja, berasal dari tabungan Boti sebesar Rp 3,5 juta.
Saya bilang kepada mereka, panen pertama saya pasti sudah balik modal. Saya deg-degan sekaligus optimistis menanti panen itu
Boti berusaha untuk meyakinkan kedua orangtuanya. “Saya bilang kepada mereka, panen pertama saya pasti sudah balik modal. Saya deg-degan sekaligus optimistis menanti panen itu. Alhamdulillah, segalanya dipermudah,” ucap dia.
Regenerasi
Pengalaman pahitnya menganggur menjadi alasan dia untuk memberdayakan pemuda-pemudi di desanya, Margaluyu, Kecamatan Kiarapedes, Purwakarta. Ia mengajak puluhan teman sebayanya untuk terjun menjadi petani.
Minimnya regenerasi petani dari kalangan anak muda membuat Boti resah, bagaimana jumlah produksi pangan di masa depan jika tidak ada petani muda yang terjun. Apa yang dikhawatirkan Boti sejalan dengan data hasil survei pertanian antarsensus tahun 2018 oleh BPS, mayoritas petani utama berada pada usia 45-54 tahun, yakni sebanyak 7,8 juta orang atau 44 persen. Selanjutnya diikuti usia 35-44 tahun (6,6 juta), usia 25-34 tahun ( 2,9 juta), dan usia di bawah 25 tahun (273.000).
Semula tak mudah untuk mengenalkan pertanian kepada kaum muda. Profesi petani dianggap sebelah mata karena penghasilan sedikit, gengsi dalam pergaulan, dan harus berkotor-kotor di lapangan. Saat itu hanya tiga orang pemuda yang tertarik bergabung.
Boti tak banyak bicara. Ia hanya ingin membuktikan bahwa menjadi petani juga baik dan menguntungkan. “Mengubah pola pikir tentang stigma negatif terhadap petani itu butuh proses yang panjang. Tak bisa hanya dengan teori, mereka harus ditunjukkan dengan hasil nyata,” ucapnya.
Setelah panen pertama, lahannya menjadi magnet bagi kaum muda di desa itu. Mereka mampir ke saung di tepi lahan untuk menyaksikan proses bertani yang Boti lakukan. Sebagian dari mereka lalu ikut mencoba terjun langsung ke tanah.
Proses pertanian dari hulu hingga hilir ada semua di lahan pertanian Boti, mulai pengolahan lahan, pembibitan, pembuatan pupuk alami, dan pengemasan. Hasil panen sayur dijualnya ke Pasar Induk Cikopo secara langsung tanpa perantara tengkulak.
Menurut dia, permasalahan yang terus berulang adalah harga panen ditentukan tengkulak. Saat panen raya tiba, harga sayur dibeli dengan harga rendah karena produksi melimpah. Sementara permintaan cenderung stabil. Padahal modal yang dikeluarkan sama besarnya.
Ia mencontohkan, hasil panen cabai merah setiap 4 hari sekali sebanyak 4 kuintal. Jika harga cabai yang dijual petani sendiri ke pasar Rp 14.000 per kilogram. Lain halnya dengan harga yang dibeli tengkulak dari petani, hanya kisaran Rp 12.500- Rp 13.500 per kilogram. Oleh sebab itu, lewat komunitasnya, ia ingin memotong sistem rantai distribusi karena dapat merugikan petani.
Dibandingkan hanya dijual murah, ia memilih berinovasi dengan mengolah sayur tersebut menjadi olahan pangan, yakni manisan tomat dan kerupuk kangkung. “Diversifikasi produk semakin meningkatkan nilai jual, sehingga petani tidak terlalu rugi,” kata dia.
Seiring berjalannya waktu, jaringan pemasaran hasil panen mulai terbentuk. Berbagai tawaran untuk memasok toko retail dan pabrik pun bermunculan. Akan tetapi, dirinya tak sanggup memenuhi permintaan tersebut karena kapasitas produksinya masih terbatas.
Atas dasar tersebut, ia kembali mengajak kawan sebayanya untuk terjun menjadi petani. Saat ini telah ada 20 orang petani muda yang tergabung. Semakin banyak kaum muda yang menjadi petani justru kian membuatnya bersemangat bukan merasa tersaingi. Ia percaya bahwa rezeki tidak akan tertukar, semua baik adanya.
Tak hanya menarik kaum muda, tapi juga petani tua lain yang ingin beralih menjadi petani sayur. Kepercayaan orangtua Boti juga bertambah, mereka mempersilakan Boti untuk bertani di lahan kosong seluas 6 hektare milik keduanya.
Mereka mempraktikkan dan menuai keuntungannya sendiri. Yang terpenting adalah mau mencoba
Boti bermimpi untuk mengembangkan pertanian hortikultura di desanya. Ia ingin mengajak warga untuk menanam sayuran di polybag atau pot di halaman rumah untuk kebutuhan makan keluarga. Cara tersebut diyakininya dapat menarik minat para kaum muda dan masyarakat untuk terjun menjadi petani.
“Mereka mempraktikkan dan menuai keuntungannya sendiri. Yang terpenting adalah mau mencoba,” ujar Boti semringah.
Perjalanannya untuk mengenalkan dunia pertanian kepada kaum muda masih panjang. Ia optimistis upayanya akan berbuah manis di masa depan.
Ananda Dwi Septian
Lahir: Purwakarta, 10 September 1994
Pendidikan:
•SMP Negeri 1 Kiarapedes (2007-2010)
•SMK Prabusakti I Purwakarta, Jurusan Otomotif (2010-2013)