Wiwin Indarti Pengabdi Budaya Osing
Pada 2019 seni olah tembang cara Osing, mocoan Lontar Yusup, ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional. Salah satu sosok di balik upaya preservasi seni mocoan di Banyuwangi adalah Wiwin Indiarti (41). Di sela-sela kesibukannya sebagai dosen tetap di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas PGRI Banyuwangi, ia mengabdikan diri untuk kelestarian budaya Osing, suku asli Banyuwangi.
Setelah sempat meninggalkan kampung halaman selama 13 tahun untuk menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan beraktivitas di Kota Gudeg tersebut, Wiwin kembali ke Banyuwangi. Mata kuliah American Folklore yang ditempuhnya di bangku S-2 menggugah kembali kesadarannya tentang eksistensi budaya Osing saat ini dan permasalahan pokoknya.
“Persoalan kebudayaan yang paling nyata dan tidak tergarap ialah masalah pewarisan. Karena itu, saya mengerahkan apa yang saya mampu agar budaya yang selama ini hidup tidak hilang begitu saja. Setidaknya ada yang saya buat agar budaya yang luhur itu terjaga pewarisannya,” tuturnya kepada Kompas saat ditemui di pengujung 2019.
Sewaktu kecil Wiwin bersama keluarganya tinggal di Cungking, salah satu kampung yang sangat kental dengan budaya Osing. Salah satu tradisi yang tumbuh di sana ialah tradisi mocoan, sebuah tradisi pelantunan puisi lama dalam manuskrip. Di Banyuwangi, mocoan identik dengan Lontar Yusup yang ditulis dalam aksara Arab pegon, padahal Banyuwangi kaya dengan manuskrip.
Suatu ketika, Wiwin bertemu dengan Adi Purwadi atau yang biasa dikenal dengan Kang Pur, salah satu tokoh adat Osing di Desa Kemiren. Kang Pur juga merupakan tokoh mocoan di persatuan mocoan reboan.
“Dari Kang Pur, saya jadi tahu bahwa saat ini anggota persatuan mocoan reboan tinggal sembilan orang. Itu pun usianya sudah di atas 55 tahun. Di kampung tempat tinggal saya, Cungking, hanya tiga orang yang masih bisa mocoan, padahal dulu Cungking terkenal dengan tradisi tersebut,” ujar ibu dari dua anak tersebut.
Realitas tersebut mendorong Wiwin selaku akademisi untuk melaksanakan pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu dari tridarma perguruan tinggi terkait pewarisan tradisi mocoan Lontar Yusup. Bersamaan dengan itu, pembelajaran mocoan Lontar Yusup juga ia siapkan sebagai salah satu materi sekolah adat yang digagas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah Osing. Kegiatan PKM tersebut dimungkinkan salah satunya dengan dukungan pendanaan dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Semula, Wiwin hanya berniat menghadirkan transliterasi Lontar Yusup begitu saja untuk kepentingan pembacaan tembang. Namun, ia ingin pewarisan bukan hanya tradisi mocoan, melainkan juga makna serta nilai-nilai yang terkandung di dalam manuskrip tersebut. Akhirnya, ide menerjemahkan Lontar Yusup muncul.
Proses transliterasi tidaklah mudah. Langkah pertama yang harus ia lakukan ialah mencari Lontar Yusup yang dijadikan rujukan. Pasalnya, selama ini ada banyak sekali salinan Lontar Yusup. Tak jarang ada variasi antara satu buku dan buku yang lain walaupun disalin oleh orang yang sama.
“Dengan berbagai pertimbangan dan arahan dari sesepuh adat, akhirnya saya menggunakan Lontar Yusup koleksi Kang Pur. Lontar tersebut ditulis Carik Janah pada 1829 (tahun Jawa). Sejauh ini, lontar tersebut merupakan yang tertua yang pernah kami temui,” ungkap lulusan Program Magister Pengkajian Amerika UGM tersebut.
Selanjutnya, Wiwin dibantu Anasrullah, suaminya, mulai memindai satu per satu lembar lontar yang mulai dimakan usia tersebut. Hasil pindaian lantas dibersihkan dan dipotong per larik untuk kemudian ditransliterasi dari aksara Arab pegon ke aksara Latin.
Langkah selanjutnya, Wiwin menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Harapannya naskah Lontar Yusup tersebut tidak hanya ditembangkan, tetapi juga dimengerti artinya, terutama oleh anak-anak muda generasi milenial.
Butuh waktu empat bulan bagi Wiwin untuk mentransliterasi dan menerjemahkan keseluruhan Lontar Yusup yang total terdiri dari 12 pupuh, 593 bait, dan 4.366 larik.
Lontar Yusup yang semula ditulis dalam aksara pegon yang sulit dibaca dan diterima oleh masyarakat terlebih anak-anak muda kini lebih mudah diakses oleh siapa pun.
Tak berhenti pada preservasi Lontar Yusup sebagai naskah kuno semata, Wiwin juga mengurusi upaya pewarisan tradisi yang menyertainya sehingga tetap hidup di masyarakat. Ia sadar pelaku ritual mocoan lontar usianya sudah lanjut sehingga butuh regenerasi.
Wiwin pun menggagas lahirnya Persatuan Mocoan Lontar Yusup Millenial, komunitas yang secara rutin berlatih membaca naskah dari Lontar Yusup, tak sekadar membaca artinya dalam aksara Latin atau bahasa Indonesia, tetapi juga menembangkan (membaca dengan nada-nada) langsung dari teks aksara pegon.
Setelah mengupayakan pelestarian naskah dan pewarisan tradisi mocoan, Wiwin kini juga berharap nilai-nilai dalam Lontar Yusup Banyuwangi dapat dijadikan pedoman hidup oleh banyak pembacanya karena Nabi Yusuf dikisahkan tidak hanya sebagai pribadi yang rupawan parasnya, tetapi juga luhur budinya. Penggambaran Nabi Yusuf secara manusiawi lengkap dengan perjuangannya melawan nafsu keduniawian menjadikan kisah ini sangat menggugah.
“Salah satu kisah menyebutkan Nabi Yusuf berjumpa dengan pertapa yang sudah menunggunya selama seribu tahun di dasar sumur. Pertapa tersebut berkata bahwa musabab perjumpaan mereka adalah ketentuan Tuhan, tetapi melalui laku jahat saudara-saudaranya yang mendorong Nabi Yusuf ke dalam sumur. Kisah ini mengandung pesan agar manusia tidak membenci pihak lain yang telah berbuat buruk kepadanya. Memaafkan adalah lebih utama.” ungkap Wiwin.
Upaya Wiwin dalam transliterasi dan penerjemahan Lontar Yusup sebagai khazanah naskah kuno membuatnya dipercaya menjadi academic expert assistant program digitalisasi naskah kuno Dreamsea yang diadakan pada medio Maret 2019 di Banyuwangi. Buku transliterasi dan terjemahan Lontar Yusup Banyuwangi karya Wiwin juga mendapat penghargaan Insentif Buku Perguruan Tinggi 2019 dari Kemenristek-DIKTI.
Di tahun yang sama, Wiwin bersama dengan Anasrullah dan Suhalik juga mendapatkan penghargaan dari Perpustakaan Nasional RI sebagai salah satu pemenang Program Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian Naskah Kuno Nusantara Berbasis Kompetisi atas karya alih bahasa Babad Tawangalun-Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang.’
Olah rasa makanan ritual
Pengabdian Wiwin terhadap budaya Osing tidak hanya ia lakukan pada Mocoan Lontar Yusup dan khazanah naskah kuno Banyuwangi. Baru-baru ini, Wiwin menerbitkan buku Olah Rasa Ujung Timur Jawa dan menggelar pelatihan memasak makanan ritual khas Osing. Makanan yang dikupas ialah masakan-masakan yang biasa digunakan untuk upacara-upacara ritual masyarakat Osing.
Dalam buku dan pelatihannya, Wiwin tak sekadar membahas makanan tradisional.
Wiwin mengatakan, makanan ritual bukan masakan sembarangan. Masakan tersebut dibuat dengan tata aturan dan keyakinan tersendiri. Wiwin berharap buku dan pelatihan yang ia lakukan membuat masakan ritual tersebut terjaga kelestariannya.
“Apa yang saya lakukan terhadap khazanah naskah kuno, sastra lisan, dan makanan ritual Osing ialah usaha minimal untuk menjaganya dari kepunahan. Saya hanya mendokumentasikan, minimal orang ingat agar orang tahu masa lalu dan akar budayanya,” ujar Wiwin.
Wiwin Indiarti
Lahir: Banyuwangi, 5 Agustus 1978
Pendidikan: S-1 Sastra Inggris UGM lulus 2002
S-2 Pengkajian Amerika lulus 2005
Suami : SM Anasrullah
Anak : 2
Bibliografi :
· Pinokio: Kisah Sebuah Boneka Karya Carlo Collodi – Terjemahan
· Eksekusi: Pencerahan Menjelang Pilar Kematian karya Ernest J Gaines
· Gayatri Spivak: Etika, Subalternitas dan Kritik Penalaran Poskolonial karya Stephen Morton– Terjemahan
· Banyuwangi in Figures 2013 –Terjemahan
· Lontar Yusup Banyuwangi: Teks Pegon – Transliterasi –Terjemahan
· Olah Rasa Ujung Timur Jawa: Makanan Ritual dalam Kebudayaan Osing
· Babad Tawangalun: Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang
Pengalaman Kerja:
· 2005-sekarang penerjemah paruh waktu (Anggota Tetap Himpunan Penerjemah Indonesia – HPI)
· 2011-sekarang dosen di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas PGRI Banyuwangi
· Maret-Juli 2018 Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas PGRI Banyuwangi
· Agustus 2018-Januari 2019 Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas PGRI Banyuwangi
· Februari-Agustus Kepala Badan Penjaminan Mutu Universitas PGRI Banyuwangi
· September 2019-sekarang Sekretaris Badan Penjaminan Mutu Universitas PGRI Banyuwangi