Kertaning Tyas menerobos kisi-kisi birokrasi untuk memperjuangkan mereka yang terlupakan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Ia kemudian menginisiasi pendirian posyandu khusus bagi penyandang disabilitas di beberapa desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Semua ia lakukan untuk mengangkat derajat penyandang disabilitas dan orang dengan gangguan jiwa agar memiliki hak kesehatan sama dengan orang biasa.
Seperti pos pelayanan terpadu (posyandu) lain, fungsi posyandu disabilitas juga mengontrol kesehatan penyandang disabilitas. Bedanya, di posyandu ini terdapat pemeriksaan fisioterapi serta pelatihan keterampilan.
Jika dibutuhkan pemeriksaan kesehatan lanjutan, petugas posyandu akan memberi rujukan. Hal itu bisa dilakukan karena posyandu bekerja sama dengan Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wediodiningrat, Lawang, serta puskesmas.
Posyandu disabilitas dibuat sebagai hasil kerja sama banyak pihak, di antaranya Pemerintah Desa Bedali, RSJ Radjiman Wediodiningrat, PMI Kabupaten Malang, LSM Lingkar Sosial, Baitul Maal Hidayatullah (BMH), dan beberapa lembaga lain. Kegiatan juga didukung program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari perusahaan yang berlokasi di sekitar desa tersebut. Hari itu, misalnya, pengusaha batik membantu memberikan pelatihan dasar membatik.
Posyandu disabilitas Desa Bedali dirintis sejak November 2019. Saat itu, Kertaning Tyas (biasa disapa Ken) dengan tim LSM-nya mengajak pemerintah desa dan Pemerintah Kabupaten Malang untuk bersama-sama memberikan layanan kesehatan kepada warga penyandang disabilitas. Kertaning Tyas, pendiri Lingkar Sosial, memegang prinsip bahwa siapa pun, tak terkecuali penyandang disabilitas, berhak mendapat layanan (termasuk kesehatan) setara dengan warga negara lain.
”Kami melibatkan pemerintah desa demi menjaga keberlangsungannya. Posyandu disabilitas ini adalah awal dari kepedulian masyarakat kepada (kaum) disabilitas,” kata Ken.
Keberadaan posyandu desa, menurut Ken, tidak sekadar ada. Keputusan sudah disepakati bersama oleh warga Desa Bedali di musyawarah desa (musdes) dan dibuatkan peraturan desa tentang disabilitas. Saat ini, desa pun sedang berproses membuat peraturan desa tentang disabilitas. ”Harapannya, nanti (penyandang) disabilitas bisa ikut dalam proses pembangunan desa, mulai dari perencanaan hingga evaluasi,” katanya.
Musyawarah desa
Lahirnya posyandu disabilitas di Desa Bedali tidak tiba-tiba. Posyandu disepakati bersama oleh warga Desa Bedali dalam musdes. Ken berperan besar dalam mendorong pemerintah desa dan masyarakat menyepakatinya dalam musdes.
Keberhasilan mendorong posyandu disabilitas sebagai program desa dalam musdes didasari oleh survei yang dibuat Ken sebelumnya. Ia mendata, dari lima dusun di Desa Bedali terdapat 25 warga penyandang disabilitas dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Selama ini, mereka disembunyikan di rumah oleh keluarganya. Data awal itu diyakini akan bertambah karena diduga banyak warga disabilitas dan ODGJ belum terdata.
Berangkat dari data itu, Ken masuk ke pemerintah desa. Pemerintah desa sadar bahwa selama ini belum menjangkau warga disabilitas dan ODGJ. Berbekal tekad kuat, desa akhirnya menggelar musdes pada 16 November 2019 yang menyepakati dibuatnya posyandu disabilitas. Desember 2019, posyandu disabilitas Desa Bedali untuk pertama kalinya diselenggarakan.
Selain di Bedali, sebelumnya Ken juga menginisiasi berdirinya posyandu disabilitas di Pakisaji, Kabupaten Malang, pada November 2019. Saat ini, Ken juga berproses mendampingi berdirinya posyandu disabilitas di Kepanjen.
”Di desa kami ada SLB, SD inklusi, ada posyandu anak, remaja, dan lansia. Kenapa tidak kami buat sekalian posyandu disabilitas. Kami bercita-cita desa kami menjadi desa inklusi,” kata Sekretaris Desa Bedali Joko Santoso.
Joko mengatakan, pemerintah desa membangun posyandu disabilitas tersebut guna memberikan layanan menyeluruh kepada masyarakat. Program posyandu disabilitas, menurut dia, sudah masuk dalam rencana kerja pemerintah (RKP) desa tahun 2020. Artinya, ke depan posyandu tersebut akan menerima dana desa untuk operasionalisasinya.
Sebagai anggota komite di SD inklusi Bedali, Joko merasakan bahwa siswa inklusi (penyandang disabilitas, misalnya) selama ini sulit menjangkau layanan kesehatan. Padahal, dari 16.700 warga Desa Bedali, sebagian di antaranya, menurut Joko, merupakan penyandang disabilitas dan ODGJ.
Kepedulian Ken pada disabilitas tidak lahir begitu saja. Di masa mudanya, Ken merantau ke Sumatera dan menemui kenyataan banyak orang hidup dalam ketertinggalan, terutama penyandang disabilitas. Untuk membantu mereka dengan uang, Ken tidak mampu. Rasa bersalah itu terus dibawa Ken saat kembali pulang ke Malang pada tahun 2014.
Tahun itu juga, Ken mendirikan LSM Lingkar Sosial guna membantu penyandang disabilitas dan orang yang menderita secara sosial. ”Semula, sebagaimana LSM kebanyakan, upaya kami menangani disabilitas adalah berbentuk program. Belakangan saya sadar bahwa program seperti itu tidak akan bertahan lama karena sifatnya insidental. Itu sebabnya, kini saya berusaha menggandeng pemerintah agar terlibat supaya program bisa didukung dan terus berjalan,” kata pria yang pada tahun 2016 bersama berbagai institusi membentuk Forum Malang Inklusi serta Forum Jatim Inklusi pada awal tahun 2019.
Ken sadar, berjuang sendirian tidak akan bertahan lama. Itu sebabnya, ia menggandeng pemerintah. Dengan dukungan dana desa serta menjadikan balai desa sebagai lokasi posyandu, diharapkan posyandu disabilitas akan terus berjalan. Tidak menjadi program yang setelah diluncurkan kemudian berhenti di tengah jalan.
Kertaning Tyas
Lahir: Magetan, 13 September 1975
Pendidikan:
- SDN Sugihwaras 2 Maospati, Magetan
- SMPN 1 Maospati
- SMA Pangudi Luhur Sukaraja, Palembang
Aktivitas: Inisiator posyandu disabilitas
Istri: Widi Sugiarti
Anak: 2 orang
Organisasi: Lingkar Sosial Indonesia
Penghargaan: Hasta Komunika Award pada tahun 2016 dari lembaga riset di Malang (penghargaan untuk kaum muda inspiratif penggerak masyarakat)