Iksaka Banu dan Sastra Penambal Lubang Sejarah
Iksaka Banu mengambil sikap membela manusia terpinggirkan, apapun warna kulitnya. Pembelaan itu ia tuangkan dalam karya-karya sastra berdimensi sejarah.
Sejarah masa kolonialisme Belanda di Indonesia dituturkan apik ke dalam cerita lewat buah pikir Iksaka Banu. Melalui cerita pendek dan novel, sejarah tak lagi sekadar hitam dan putih; si baik dan si jahat. Buat dia, sejarah itu adalah kisah manusia, apapun kebangsaan dan etnisnya.
Rumah Iksaka Banu (55) pada Kamis (16/01/2020) siang itu terasa hening. Kawan lamanya penulis Kurnia Effendi tengah duduk di hadapan laptopnya di ruang kerja Banu. Inilah hari-hari mendebarkan bagi keduanya. Novel Pangeran dari Timur yang mereka kerjakan bersama sejak 1999 sebentar lagi terbit.
“Rencananya Februari ini,” kata Banu, yang kaus hitam polosnya dimasukkan rapi di celana jin biru. Novel yang menceritakan sosok pelukis kenamaan Raden Saleh itu bakal cukup tebal, enam ratusan halaman. Peluncurannya direncanakan di beberapa kota, termasuk Jakarta.
Kisah mengenai Raden Saleh memikat Banu dan Kurnia. Pada suatu masa di tahun 1999 itu, mereka hendak mengikuti sayembara menulis naskah film yang diadakan sebuah majalah. Besarnya nilai hadiahnya di masa itu menjadi daya tarik.
Pada saat mencari inspirasi naskah, ada pameran buku di Utan Kayu. Di pameran itulah Banu menemukan katalog pameran lukisan Raden Saleh tahun 1983. “Seperti ada kilatan petir: ini dia,” seru Banu.
Bagi Banu, katalog itu ibarat rujukan tentang Raden Saleh yang paling komprehensif dan dapat dipercaya. Beberapa rujukan lain yang ia dapat cenderung bernuansa mitos. Misalnya, ada mitos yang berkembang bahwa lukisan bergambar makanan karya Raden Saleh bisa mengelabui lalat.
Belakangan mereka mendapati bahwa tulisan di katalog itu dirujuk dari makalah karya Harsja W Bachtiar berjudul Raden Saleh, Anak Belanda. Penemuan makalah itu melecut mereka mengikuti sayembara tersebut.
Karena sulitnya mengumpulkan data tambahan, rencana ikut sayembara naskah film itu gagal memenuhi tenggat. Namun, tekad sudah terpancang: Banu dan Kurnia hendak menulis novel biografis Raden Saleh, dari tinjauan sejarah. Jadi, data-data yang bernuansa mitos harus dilupakan.
Pengumpulan data berjalan lambat. Mereka mendatangi Arsip Nasional Republik Indonesia dan menemukan sumber berformat mikrofilm, namun dalam bahasa Belanda. Banu tak paham. Karena keterbatasan data, mereka harus bersiasat.
Novel impian mereka itu direncakan berjalan dalam dua plot. Plot pertama adalah kisah biografi Raden Saleh yang patuh dengan fakta sejarah, diimbuhi sejumput fiksi. Sedangkan plot kedua adalah drama fiksi berisi orang-orang yang berusaha “menghidupkan kembali” Raden Saleh, berpuluh tahun setelah kematian Sang Maestro itu.
Banu, yang menggemari kisah sejarah sejak kecil, bertanggung jawab atas jalannya plot pertama. Sementara Kurnia, yang disebut Banu piawai dalam menulis roman, mengurusi plot kedua.
Induk cerita
Data-data yang diperoleh, antara lain peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masa hidup Raden Saleh (1811-1880), amat banyak. Peristiwa itu dirasakan Banu punya daya tarik tersendiri, namun tak banyak tercatat. Dia terpantik menulis cerita-cerita dari data tersebut.
Misalnya, pada tahun 1832, ketika Raden Saleh sekolah di Belanda, terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Wanayasa—kini masuk wilayah Kabupaten Purwakarta. Peristiwa itu menjadi latar cerita Teh dan Pengkhianat. Di tahun kelahiran Raden Saleh, terjadi penyerangan Inggris terhadap Kraton Yogyakarta. Peristiwa itu ditulis Banu dalam cerpen Belati.
Dari data itu, lahir tak kurang dari 26 cerita pendek (cerpen), yang terkumpul dalam dua buku: Semua untuk Hindia (terbit 2014), dan Teh dan Pengkhianat (2019). Keduanya meraih penghargaan Kusala Sastra Katulistiwa untuk kategori prosa di masing-masing tahun terbitnya buku itu. Dia juga menghasilkan novel berjudul Sang Raja (2017) yang berlatar era kemerdekaan.
“Saya seperti hutang budi kepada Raden Saleh karena lahir banyak sekali cerpen berlatar tahun 1811 sampai seterusnya,” kata penyuka film-film Quentin Tarantino, dan komik tulisan Frank Miller ini. Rancangan naskah novel tentang Raden Saleh ini ibarat induk bagi karya-karya dia.
Bagaimana Banu menjalin fakta sejarah dengan fiksi imajinatif? “Saya memilih tidak mengutak-atik fakta sejarah, tapi menanamkan tokoh-tokoh fiktif ke dalam bentangan sejarah tadi. Dari mulut mereka, peristiwa sejarah ini diceritakan kembali sekaligus juga menyelesaikan problematika di antara mereka,” kata dia seraya menganalogikan metode yang ia pakai itu dengan film November 1828 karya Teguh Karya.
Membela manusianya
Balutan fiksi dalam untaian peristiwa sejarah justru memberi perspektif baru bagi pembacanya. Banu tak selalu menempatkan orang Belanda sebagai antagonis, dan tokoh bumiputera sebagai protagonis. Mengutip pandangan Ariel Heryanto yang mengulas buku Semua untuk Hindia, moralitas seseorang tidak ditentukan berdasarkan warna kulit/kebangsaannya. Prinsip itulah yang tergambar dalam cerita-cerita Banu.
Cerpen berjudul Stambul Dua Pedang, misalnya, punya tokoh protagonis berkebangsaan Belanda, sementara tokoh bumiputera digambarkan culas. Kolonialisme Belanda lantas tak serta-merta bermakna “penjajahan”. Ada banyak tokoh Belanda yang merupakan orang-orang termarjinalkan.
“Kita sepertinya lupa bahwa yang disebut Belanda itu tak cuma tentara dan pemerintahnya. Ada juga orang-orang marjinal; pedagang kue, kusir kereta. Ini yang lebih dekat dengan kita, kan,” ujarnya. Di lain sisi, banyak juga bumiputera yang mengabdi pada tentara Belanda. Banu mengambil sikap membela manusia terpinggirkan, apapun warna kulitnya.
Nuansa lain itulah yang tak dirasakan Banu ketika mempelajari sejarah di bangku sekolah. Pengajaran sejarah semestinya tak berhenti pada penghafalan nama tokoh dan tahun, maupun siapa pemenang dan pecundang. Menurut Banu, sejarah adalah cerita tentang manusia.
Kenangan mesin tik
Banu akrab dengan dunia penulisan sejak kecil. Ayahnya mengasuh kolom konsultasi pedagogis di Majalah Pertiwi dan Koran Buana Minggu. Pamannya adalah wartawan Harian Merdeka dan Pedoman. “Di malam-malam tenggat mereka, saya sering dengar suara mesin ketik. Itu membuat saya ingin mencoba menulis,” katanya.
Sang Paman, diam-diam mengirim cerita karangan bocah SD itu ke Harian Kompas di rubrik anak pada tahun 1974. Cerita berjudul Dikejar Setan itu lantas memacunya menulis. Hingga tahun 1976, ada sekitar 12 cerpen karangannya dimuat di majalah dan koran.
Beranjak remaja, dia tertarik menggambar. Ayahnya menghadiahi satu set cat poster bermerek Sakura, yang waktu itu tergolong tak umum. Banu yang terpesona dengan seri komik Tintin keranjingan menggambar komik. Karyanya “Samba Si Kelinci Perkasa” dimuat secara berseri di Majalah Ananda. Kebisaan ini ia dalami dengan mengambil jurusan desain grafis di Institut Teknologi Bandung.
Bakat menulis dan kebisaan menggambar dicurahkan di industri periklanan yang ia geluti selepas kuliah. Ketika sedang sibuk-sibuknya bekerja, sang ibu terkena kanker. Banu memilih rehat untuk mendampingi ibunya, yang ia bilang sempat terabaikan selama bekerja.
Saat menunggui ibunya itulah, Banu punya banyak waktu luang. Komputer jinjing milik kakaknya ia pinjam. Dia mulai lagi menulis cerita, namun belum berwarna sejarah, melainkan surealis. Cerpen-cerpen itu dia kirim ke Majalah Matra, dan dimuat. Kelak, kumpulan cerita di era ini dirangkum dalam buku Ratu Sekop dan Cerita-cerita Lainnya.
Saat ini, Banu seperti menjalani dua bidang bersamaan: menulis dan periklanan. Dia tengah mengerjakan dua proyek novel berbarengan. Salah satu di antaranya bertema perbudakan di Batavia. “Semoga yang ini, (pengerjaannya) tak selama novel Raden Saleh,” ujarnya.
Iksaka Banu
Lahir: Yogyakarta, 7 Oktober 1964
Istri: Ananta Primitia Heska
Anak: Demetrius Dyota Tigmakara (anak)
Daftar buku:
- Semua untuk Hindia (2014)
- Sang Raja (2017)
- Ratu Sekop dan Cerita-cerita Lainnya (2017)
- The dan Pengkhianat (2019)
- Pangeran dari Timur (2020) bersama Kurnia Effendi
Penghargaan:
- 20 Cerpen Terbaik Indonesia, versi Pena Kencana, 2008
- 20 Cerpen Terbaik Indonesia. versi Pena Kencana, 2009
- Kusala Sastra Khatulistiwa, kategori prosa, 2014
- Kusala Sastra Khatulistiwa, kategori prosa, 2019
- Penghargaan Sastra Badan Bahasa, kategori prosa, 2019