Septina dan Ratapan untuk Orang-orang Papua
Ratapan orang-orang Papua berisi jeritan hati tentang kesedihan dan kegundahan akibat perubahan sosial. Septina mendokumentasikan ratapan sebagai upaya membangkitkan harapan hidup suku-suku pedalaman di tanah Papua.
Yamaindo urberghedi Aghroriwo
Uraghawindo urberghedi Aghroriwo
Koybindo urberghedi kaimbrotawo
Maghaindo urberghedi kaimbrotawo
Naya yaghari giriyoghorio urberghedi a
Vaghai giriyogho urberghedi
Naya ridha giriyoghorio urberghedi
Koima ridha giriyogho oo
Nyanyian di atas didokumentasikan Septina Rosalina Layan dari Selus Ribamogoin yang berasal dari Kampung Mondou Linggua, Distrik Mambioman Bapai, Kabupaten Mappi, Papua. Nyanyian yang disebut Nama-Eb ini menjadi penting karena hanya dikumandangkan untuk melepas kepergian seseorang yang memiliki pertalian darah dan kedekatan hati.
Secara populer nyanyian sejenis Nama-Eb disebut sebagai ratapan atau lament. Di Papua, ratapan menjadi jiwa para anggota suku untuk mengarungi kehidupan yang keras. Ratapan dari Selus Ribamogoin berisi tentang kesedihan yang dilantunkan moyang perempuan, istri dari moyang lelaki yang telah pergi. Ketika seekor burung sila bersuara, bersiul seperti menangis, moyang perempuan melantunkan nyanyian sambil meratapi kepergian moyang lelaki.
“Ratapan ini dinyanyikan spontan dan berkisah tentang perjalanan hidup moyang lelaki,” tutur Septina, pertengahan Januari 2020 di Jakarta.
Perempuan kelahiran Kepulauan Tanimbar, Maluku, ini menjadi pemeran penting dalam pementasan repertoar Planet Sebuah Lament, karya sutradara Garin Nugroho, 17-18 Januari 2020 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Septina akan turut serta menuju Australia, Belanda, dan Jerman bersama puluhan orang Papua dan Timor. Pentas ini, kata Garin, memang didedikasikan untuk orang-orang Melanesia, yang selama ini terpinggirkan dalam berbagai isu pembangunan.
Darah Maluku
Septina tidak memiliki darah Papua. Ia orang Maluku, tetapi lahir dan tumbuh besar di Merauke. Kedua orangtuanya, Leo Antonius Layan dan Wilhelmina Fanulene, sejak 1960 telah mengabdi sebagai guru di pedalaman Papua selatan.
“Karena itu, saya merasa sebagai orang Papua,” katanya. Sejak kecil pula ia telah mendengar nyanyian ratapan, terutama yang dinyanyikan budayawan John Mode, seorang Papua yang berasal dari Sentani. Nyanyian-nyanyian ratapan yang terkumpul dalam Balada Cenderawasih itu sangat memengaruhi kepekaan musik Septina.
Ia merasa nyanyian adalah jiwa hidup suku-suku di Papua. “Tanpa nyanyian orang-orang Papua seperti kehilangan harapan. Seluruh aktivitas mereka, terutama yang di pedalaman diekspresikan dengan nyanyian,” ujar bungsu dari tujuah bersaudara ini. Ratapan tak hanya berfungsi sebagai nyanyian kesedihan, tetapi juga ekspresi mendalam tentang ajaran moral, serta perubahan sosial yang menggerus orang-orang Papua. “Dan ini semuanya dilisankan oleh orang-orang tua di berbagai suku,” kata Septina.
Kekayaan itulah yang mendorong Septina belajar musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Setelah sebelumnya memperoleh gelar sarjana muda ahli pendidikan di UPP Universitas Cenderawasih, Merauke, ia kemudian memperoleh gelar sarjana di ISI Yogyakarta dalam bidang komposisi musik. Ilmu musik yang ia peroleh di kampus, pertama-tama, ia gunakan untuk mendokumentasikan lament dari pedalaman Papua selatan.
Ia masuk ke jantung Suku Yaghai Mappi untuk kemudian menggarap pertunjukan berjudul Ihin Sakil Somalae (Ratapan Cenderawasih—2014). Dokumentasi yang dilakukan Septina tak sebatas audio. Ia juga membuat notasi nyanyian-nyanyian ratapan.
Bahkan, untuk kepentingan pentas berikutnya berjudul Sagu Vs Sawit (2017), yang memperoleh dana hibah seni dari Yayasan Kelola, Septina menciptakan beberapa ratapan dalam bahasa suku-suku di Papua. Pentas ini, katanya, berupa rekaman sosial yang terjadi di pedalaman Papua, di mana pohon sagu telah tergantikan pohon sawit. Kenyataan ini tak sekadar perubahan lanskap, tetapi juga mematikan kebudayaan sagu yang diwarisi orang-orang Papua secara turun-temurun.
Sejak melakukan penelitian, setidaknya Septina telah merekam dan membuat notasi lebih dari 30 ratapan. Pekerjaan itu bukan soal mudah. Tak gampang meyakinkan para tetua suku-suku di Papua, bahwa pendokumentasian secara audio dan tertulis itu penting untuk pewarisan tradisi lisan Papua. Akhirnya di Kampung Agham yang dihuni Suku Yaghai Mappi, ia berhasil membentuk kelompok paduan suara (choir) yang secara khusus menyanyikan ratapan.
“Kemudian menyusul beberapa kampung lain. Mungkin ada di lima kampung. Kini para guru membentuk choir sendiri,” katanya.
Pembentukan kelompok-kelompok paduan suara itu, kata Septina, dilandasi keinginan untuk mewariskan ratapan kepada generasi muda. “Karena tidak banyak generasi muda tertarik menyanyikan lament,” ujarnya. Menurut dia, setiap suku di Papua memiliki lament sesuai dengan kepentingannya masing-masing. “Kalau ada 400 suku di Papua, jumlah lament sudah pasti lebih dari itu,” kata Septina yang kini menempuh pendidikan S-2 di ISI Yogyakarta.
Lament, menurut penelitiannya, tak hanya berfungsi sebagai ratapan, tetapi lebih-lebih adalah ekspresi kegembiraan terhadap berkah alam yang melimpah. Dalam Nama-Eb, seorang pelantun lament tak cuma mengisahkan biografi orang yang meninggal, tetapi juga sebuah lantunan “doa” untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta. “Lament juga jadi bahasa sandi saat situasi perang,” tutur Septina.
Dalam Oghob-Eb, orang-orang suku Yaghai Mappi melakukan kontemplasi dan refleksi terhadap lingkungan hidup mereka yang terus berubah. Biasanya, lantunan spontan itu berkisah tentang kehancuran lingkungan alam dan kebudayaan akibat perubahan yang tak bisa mereka kendalikan. “Jadi, lament itu menjadi jiwa untuk bertahan hidup. Ia memberi semangat dan instrospeksi diri sebagai manusia,” kata Septina.
Kehidupan suku-suku di Papua sangat keras. Dulu semasa perang antarsuku, para anggota suku berkomunikasi dengan lament untuk menginstruksikan strategi perang. “Kampung yang bersebelahan bisa berbeda bahasa. Mereka punya sandi-sandi bahasa untuk instruksi perang. Biasanya dinyanyikan dengan lament,” kata Septina.
Ia merasa usahanya belum cukup untuk mendokumentasikan ratusan ratapan asli Papua, yang tersebar di antara suku-suku pedalaman. Septina ingin terus meneliti dan kemudian mengenalkan lament Melanesia kepada dunia....
Septina Rosalina Layan
Lahir: Merauke, 15 September 1989
Pendidikan: S-2 Pengkajian Musik ISI Yogyakarta
Karya: - Ihin Sakil Somalae (2014)
- Sagu Vs Sawit (2017)
- Voice of Papua (2017)
- Reincarnation of South Papua (2018)
Suami: Dedy Ohoiwutun