Fantasi Darmawan di Balik Topeng
Darmawan (62) merupakan salah satu dari 15 penari topeng yang masih ada di Natuna.
Darmawan (62) menari untuk mencari yang kurang dalam hidup. Lewat tari topeng, dia menemukan kehidupan fantasi yang lebih kaya ketimbang rutinitas sehari-hari sebagai pemanjat pohon cengkeh di Natuna.
Ia jatuh cinta pada topeng sejak pertama kali diajari ayahnya menari sekitar 50 tahun lalu. Itu jadi hal terpenting yang pernah berlangsung dalam hidupnya. ”Kegaiban” topeng mengubah mimpi jadi hidup dan hidup jadi mimpi. Membuatnya bisa mendobrak sekat ruang dan waktu untuk jadi apa pun yang ia mau.
”Itu yang buat saya bisa terus menari seperti tak lekang di panas dan tak lapuk di hujan,” kata Darmawan, Minggu (9/2/2020).
Ia adalah generasi ketiga penari topeng di Desa Tanjung, Bunguran Timur Laut, Natuna, Kepulauan Riau. Sanggar Buana Sakti yang dia pimpin kini jadi satu-satunya kelompok tari topeng yang tersisa. Regenerasi mandek karena belum ada yang bersedia menggantikan Darmawan jadi pemimpin sanggar.
Pengetahuan dan keterampilan tari topeng, kata Darmawan, awalnya diajarkan bangsawan Natuna yang bernama Datuk Kaya Wan Muhammad Benteng kepada kakeknya. Warisan itu kemudian diteruskan dan sampai kepada dia. Namun, sampai sekarang, dia belum juga menemukan orang yang cocok jadi penerus.
”Memang tak sembarang orang bisa jadi pemimpin kelompok. Yang dipilih harus bisa nujum untuk manggil ’nama’ dari dalam hutan,” ujarnya.
Kemampuan magis itu diperlukan untuk menyembuhkan penari yang terkadang kerasukan saat tampil. Roh atau jiwa yang merasuki penari itu dikenal warga sebagai orang bunian. Di tanah Melayu, orang bunian dipercaya adalah roh penjaga hutan yang biasanya tinggal di pegunungan.
Saat ini, tari topeng kian jarang ditampilkan. Penari topeng hanya punya kesempatan tampil di acara-acara resmi yang diadakan pemerintah. Padahal, menurut cerita turun-temurun, tari topeng konon adalah ritual penyembuhan. Tari itu dipercaya memiliki daya magis untuk melenyapkan sakit.
Syahdan, dahulu kala hidup seorang putri raja yang kecantikannya tiada tara. Namun, gadis jelita itu hidup diliputi kesedihan. Sang raja tak pernah mengizinkan putri itu keluar dari istana tanpa pengawalan ketat para prajurit.
Suatu ketika, sang putri jatuh sakit dan tak ada seorang tabib pun yang mampu menyembuhkannya. Ahli nujum istana memberi tahu raja bahwa sang putri hanya bisa disembuhkan oleh sebuah tarian. Maka, dipanggillah seluruh penari dari seantero negeri untuk menampilkan tarian bagi kesembuhan tuan putri.
”Tetap tak ada pengaruh. Sakit putri raja tak juga sembuh,” ucap Darmawan.
Ternyata, masih ada satu kelompok tari yang belum diundang. Mereka adalah 41 penari yang tinggal di dalam hutan. Para penari itu bersedia datang asal diperbolehkan memakai topeng saat tampil di istana. Meskipun berat hati karena merasa kurang dihargai, raja terpaksa setuju demi kesembuhan sang putri.
Tari topeng mengandung dua pesan. Pertama, kerinduan manusia terhadap kebebasan untuk memilih lakon hidup yang diinginkan. Kedua, pesan bagi penguasa untuk selalu rendah hati agar mendengarkan dan menghargai kehidupan rakyat yang paling terpinggirkan sekalipun.
Orang-orang dari dalam hutan itu membuka gerakan dengan tari tangan. Namun, tuan putri masih juga belum bangkit dari sakitnya. Baru pada gerakan kedua, tari piring, sang putri bisa tersadar dan sembuh dari penyakit. Gerakan ketiga, tari kain, mereka persembahkan sebagai penutup sekaligus ucapan syukur.
Namun, ada harga yang harus dibayar. Salah satu dari 41 penari itu tak bisa melepaskan topeng dari wajahnya. Tuan putri yang jatuh iba lalu menemani penari yang malang itu kembali ke hutan. Di sana, jauh dari gemerlap istana, gadis jelita itu akhirnya menemukan kebebasan yang telah lama didambakan.
”Nama penari yang topengnya tak bisa lepas itulah yang harus ’dipanggil’ setiap kami akan menari topeng. Tak sembarang orang boleh tahu dan sebut nama itu,” ucapnya.
Tari topeng, lanjut Darmawan, mengandung dua pesan. Yang pertama soal kerinduan manusia terhadap kebebasan untuk memilih lakon hidup yang diinginkan. Kedua adalah pesan bagi penguasa untuk selalu rendah hati agar mendengarkan dan menghargai kehidupan rakyat yang paling terpinggirkan sekalipun.
Kesusahan hidup
Sekarang, penari topeng di Desa Tanjung tinggal 15 orang dan rata-rata sudah berusia lanjut. Menurut Darmawan, nasib tari topeng sedang berada pada kondisi hidup segan mati tak mau. Orang muda tak tertarik melanjutkan karena penghasilan menari tak cukup buat gantungan hidup.
Dalam setahun, kelompok tari topeng tersebut paling banyak hanya tampil tiga sampai empat kali. Mereka tidak mendapat imbalan apa pun ketika menari. Sudah jadi tradisi di Natuna, orang yang mengundang biasanya hanya wajib menyediakan sarana transportasi dan makanan secukupnya.
Kebiasaan itu akhirnya membuat mereka dilanda kesulitan. Alat musik gong, limbong (semacam bonang pada gamelan), dan gendang panjang yang dibutuhkan saat tampil harus dipinjam dari kelompok lain. Busana tari juga banyak yang rusak dimakan usia. ”Di sini (menari) memang bukan untuk cari makan. Kalau mau dapat uang, ya, bekerja di ladang atau di laut,” ujarnya.
Waktu kecil, Darmawan bermimpi untuk jadi bangsawan kaya. Namun, apa daya, nasib mengikat dia jadi pemanjat pohon cengkeh. Dari setiap kilogram cengkeh yang dipetik, ia mendapat upah Rp 7.000. Dalam sehari, ia hanya bisa memetik sekitar 10 kilogram. Memang tak banyak, tetapi cukup untuk hidup berdua dengan istrinya.
Pekerjaan serupa dilakoni sebagian besar penari topeng lainnya di Sanggar Buana Sakti. Namun, Kesusahan hidup dan kesamaan nasib itu justru membuat jalinan persaudaraan mereka kian erat. Menari jadi jalan keluar bagi mereka untuk lepas dari kepenatan hidup sehari-hari.
”Semua kawan penari saya anggap saudara, bahkan kalau mereka punya anak, rasanya jadi seperti anak sendiri. Saya ikut sedih kalau anak mereka sakit dan ikut senang kalau sembuh,” ucapnya.
Dalam tari topeng, minimal ada tiga peran yang bisa dimainkan, yaitu sebagai raja, tuan putri, atau pemuda dari hutan. ”Waktu muda, saya milih jadi pemuda dari hutan karena pengin dapat istri cantik. Kalau sekarang, senangnya jadi raja karena pengin hidup kaya,” katanya terbahak.
Bagi Darmawan, menari jadi cara protes terhadap tidak memadainya hidup. Dia menari karena ingin melakoni banyak hidup, padahal manusia hanya punya satu kesempatan. Tari topeng memberi penghiburan untuk Darmawan dalam menghadapi kesusahan hidup selama di dunia.
Darmawan
Lahir: Natuna, Kepulauan Riau, 17 Agustus 1957
Istri: Sadiah (63)
Anak: Sadarwati (39)
Pendidikan: Paket C