Kesetiaan Purwaning Setyo Hastuti Untuk Anak Berkebutuhan Khusus di NTT
Di tengah kesibukan menjalankan tugasnya, Purwaning Setyo Hastuti (54) meluangkan waktu untuk mendampingi anak-anak autis di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Ilmu yang didapatkan Purwaning saat kuliah di jurusan pendidikan luar biasa menjadi bekal utama pendampingan. Dia saangat bangga bila anak asuhnya bisa memanggil nama orang tua, bahkan saat dewasa bisa mendapat pekerjaan.
Pur, demikian panggilan akrab Purwaning Setyo Hastuti, mengatakan, ribuan anak autis tersebar di 22 kabupaten/kota di NTT. Mereka belum didata secara rinci. Tahun 2013, Forum Masyarakat NTT Peduli Anak Autis sempat menghimpun data anak-anak autis dari 22 kabupaten. Saat itu tercatat sekitar 2.210 anak.
“Saat itu masih ada orangtua tidak berani memperkenalkan anak autis kepada masyarakat karena malu. Anak-anak ini dikurung di dalam rumah saja. Tetapi berkat sosialisasi melalui surat imbauan kepada bupati/wali kota, camat, dan kepala desa pada tahun 2010-2013, anak autis mulai diperkenalkan orangtua kepada publik,” kenang Pur, di Kupang, Minggu (9/2/2020).
Saat itu, ada anggapan di kalangan masyarakat, kelainan anak ini karena dianggap sebagai kutukan leluhur, kesalahan adat, atau perbuatan orangtua. Pemahaman ini sering merugikan anak autis karena pihak orangtua cenderung berusaha menyembuhkan secara adat dan pengobatan tradisional pula.
Sejak tahun 2000, Pur mengajar di Yayasan Asuhan Kasih Kupang. Sebelumnya, tahun 1998-2000, Pur menjadi terapis autis di Surabaya, Jawa Timur. Dia pindah ke Kupang karena mengikuti sang suami warga asli Soe, Timor Tengah Selatan.
Yayasan Asuhan Kasih Kupang menampung semua anak berkebutuhan khusus (ABK) antara lain, tuna rungu, tuna wicara, tuna netra, tuna grahita, dan autis. Pur sendiri berlatang belakang pendidikan autis, lebih fokus menangani anak autis di yayasan itu.
Pur diberi honor oleh yayasan senilai Rp 40.000 per bulan. Tetapi bukan soal uang perolehan, melainkan ketulusan menolong lima anak autis di yayasan saat itu. Tahun 2000 sebagian besar masyarakat belum mengenal istilah autis, termasuk orangtua sendiri. Mereka lebih suka menyebut anak itu mendapat gangguan kekuatan supranatural.
Tahun 2005, ia mengikuti tes CPNS, lulus, ditempatkan di Sekolah Luar Biasa Pembina Penfui, Kota Kupang. Hanya Pur satu-satunya guru dengan latar belakang pendidikan ABK saat itu, menangani 280 ABK dengan latar belakang keterbatasan beragam. Ia dibantu 35 guru lain dengan latar belakang pendidikan FKIP dan PGSD.
Butuh waktu membangun pemahaman tepat di kalangan masyarakat. Tahun 2013 diselenggarakan pertemuan orangtua anak autis di Kupang. Sosialisasi tentang anak berkebutuhan khusus kategori autis pun dilakukan Pur. Perlahan tapi pasti. Melalui media massa, media social, dan informasi lisan antara orangtua ABK.
Orangtua yang anaknya menderita autis, akhirnya mencari jalan melakukan terapi perilaku. Tetapi tenaga terapis terbatas. Di Kota Kupang hanya ada satu orang, yakni Pur, di 21 kabupaten/kota saat itu belum ada. Istilah autis pun belum popular di kalangan masyarakat saat itu.
Akhir 2013, Pur dipindahkan dari tenaga fungsional ke tenaga struktural, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT. Padahal, Pur saat itu satu-satunya guru berlatar belakang pendidikan luar biasa jurusan anak autis, di NTT.
Pur kecewa tetapi tidak bisa berbuat banyak. Dalam birokrasi dan dunia kerja keputusan pimpinan harus dihormati. Pur pun menerima pengalihan status itu.
“Sedih sekali saat itu, ketika meninggalkan anak anak autis sendirian. Mereka seperti anak ayam kehilangan induk karena tahun itu belum ada guru dengan spesifikasi lulusan pendidikan luar biasa, jurusan autis,” kata Pur.
Hati Pur sudah menyatu dengan anak-anak autis di SLB Pembina Penfui Kupang. Setiap hari ia selalu menyempatkan waktu istirahat siang untuk melihat anak-anak di SLB Pembina, berjarak sekitar 15 kilometer dari kantornya.
Kedatangan Pur di sekolah itu selalu diterima dengan antusias oleh kepala sekolah dan para guru. Ia mengamati perkembangan tingkah laku setiap ABK, terutama anak autis yang ia tinggalkan.
Hati Pur seperti tersayat mana kala ia menyaksikan kemunduran berbicara dan bersosialisasi dari anak-anak autis, yang sebelumnya sempat mengalami kemajuan. Sejumlah masukan diberikan kepada para guru dan orangtua anak autis yang berjaga di sekolah itu. Beberapa orangtua malah membawa anak autis ke rumah Pur untuk mendapatkan terapi pada sore atau malam hari.
“Keinginan saya saat mendampingi anak-anak autis cuma satu, yakni anak-anak ini bisa berbicara, lebih tenang, dan bersosialisasi dengan teman-teman. Jika tidak ada kemajuan, untuk apa mereka di sini. Awal datang ke SLB atau tempat terapi, mereka tidak bisa bicara sama sekali, dan tidak bisa tenang,” kata Pur.
“Keinginan saya saat mendampingi anak-anak autis cuma satu, yakni anak-anak ini bisa berbicara, lebih tenang, dan bersosialisasi dengan teman-teman," kata Pur.
Mengajar kemandirian
Tahun 2016 Pemprov membangun Pusat Layanan Autis (PLA) di Kupang. Lembaga yang melayani anak-anak autis satu-satunya di NTT. Pada awal pendaftaran, tahun 2017, tercatat 200-an anak autis. Sayangnya, jumlah tenaga terapis autis masih terbatas, sebanyak lima orang.
Seiring berjalannya waktu, anak-anak itu menghilang satu per satu bersama orangtuanya. Mereka datang saat anak-anak itu sudah berusia di atas 10 tahun. Kebanyakan mereka dari 21 kabupaten di NTT seperti Sikka, Ngada, Ende, Nagekeo, dan Manggarai. Di Kupang, mereka harus kos atau sewa rumah.
Ia mengatakan, banyak orangtua anak autis menilai, terapi itu hanya satu atau dua hari kemudian anak bisa bicara, bersosialisasi, dan mandiri. Ternyata, proses perubahan itu butuh waktu, tergantung kondisi anak. Ketaksabaran orangtua dan biaya hidup di Kota Kupang yang mahal, membuat banyak orangtua pulang bersama anak autis. Kini, sisa 54 anak autis yang sedang menjalani terapi di PLA Kupang. Sebagian besar dari mereka tinggal di Kupang sehingga setiap hari rutin mengantar ke PLA untuk terapi. Satu hari pertemuan berlangsung satu jam dengan didampingi lima tenaga terapis.
Selama 20 tahun mendampingi anak autis, kegembiraan paling utama dirasakan Pur, yakni saat anak-anak itu bisa mengucapkan kata mama, atau bapak, dan nama-nama anggota keluarga lain. Kemudian mereka bisa memberikan salam kepada Pur saat datang atau pergi.
Membantu anak autis mengucapkan kata atau kalimat, Pur melakukan dua jenis terapi, yakni bicara verbal yang langsung didengar dan ditirukan anak, kemudian dilanjutkan dengan pijat ringan syaraf di bagian tubuh tertentu terutama kepala. Anak-anak ini harus selalu diajak bicara, kapan saja untuk memacu motorik halus mereka.
“Sejak di Yayasan Asuhan Kasih Kupang sampai dengan PLA, Kupang, ratusan anak autis sudah terbantu. Saya begitu bangga ketika mereka bisa berbicara, bersosialisasi, dan mandiri secara terbatas seperti berurusan di dalam kamar mandi, toilet, dan mengenakan pakaian. Semakin bangga saat melihat tiga di antara mereka menjadi PNS di sekolah SLB di Kota Kupang,” kata Pur.
Purwaning Setyo Hastuti
Lahir : Mojokerto, 11 Juni 1965
Pendidikan : S1 Pendidikan Luar Biasa Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (2000)
Suami : Sefnat Asbanu
Anak : 2
Pekerjaan: -Koordinator Pusat Layanan Austis Provinsi NTT
- Kepala Seksi Sejarah dan Nilai Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT