Yosef Seran Klau, Penggerak Ketahanan Pangan di Tapal Batas RI-Timor Leste
Yosef Seran Klau adalah tokoh di balik keberhasilan Desa Fafoe mewujudkan ketahanan pangan. Desa terpencil di tapal batas RI-Timor Leste itu kini menjadi eksportir bawang merah ke Timor Leste.
Oleh
Kornelis Kewa Ama dan Fransiskus Pati Herin
·5 menit baca
Jalanan tanah dengan kubangan lumpur membelah kebun milik warga. Dalam kebun itu tumbuh pisang, jagung, bawang merah, dan aneka palawija. Jalanan itu pula yang menuntun langkah menuju rumah Yosef Seran Klau (55). Dia adalah tokoh yang membawa sebuah desa terpencil di tapal batas Indonesia dan Timor Leste berdaulat di bidang pangan.
Selama 15 tahun terakhir, Yosef menjadi Kepala Desa Fafoe di Kecamatan Malaka Tengah. Yosef berhasil membawa desa dalam Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, itu menjadi pengekspor bawang merah ke Timor Leste. Ekspor perdana dilepas pejabat dari Kementerian Pertanian tahun 2017 sebanyak 20 ton. Total ekspor bawang merah dari Kabupaten Malaka adalah 40 ton.
Ekspor itu dilakukan di Pos Lintas Batas Negara Motamasin, sekitar 25 kilometer dari Betun, ibu kota Kabupaten Malaka. Setelah ekspor, warga Timor Leste bisa masuk membeli bawang di sana. Bermodalkan paspor, mereka boleh masuk tanpa visa. Indonesia dan Timor Leste telah bersepakat memberlakukan bebas visa bagi warganya yang bepergian.
Ekspor itu membuat sebagian besar dari 2.200 warga Desa Fafoe kian bersemangat menanam bawang merah. Yosef menjembatani petani dengan pemerintah kabupaten sehingga petani mendapat bantuan lahan, bibit, dan pupuk. Semuanya gratis karena biaya ditanggung pemkab. Padahal, setiap 1 hektar lahan untuk bawang merah butuh modal hingga Rp 15 juta.
Kebun petani juga diawasi dosen pertanian dari perguruan tinggi. Secara berkala, mereka memberikan masukan kepada petani langsung di kebun tentang cara bercocok tanam yang baik. Satu hektar lahan dapat menghasilkan hingga 6 ton bawang merah.
”Bawang bisa bertahan lebih dari satu tahun,” ujar Yosef sambil menunjukkan segenggam bawang yang dipanen tahun 2019.
Saat ini, harga bawang di pasaran Kabupaten Malaka anjlok di bawah Rp 5.000 per kilogram. Hal ini membuat para petani terpukul. Pemerintah juga tidak bisa berbuat banyak. Pemerintah daerah tidak memiliki anggaran untuk membeli bawang hasil panen petani dengan harga terjangkau lalu menjualnya kembali ke daerah lain.
Dalam kondisi seperti itu, Yosef hadir dan terus memberi motivasi kepada petani agar tidak putus asa. Dia juga berkomunikasi dengan pembeli bawang dari Timor Leste agar ikut mempromosikan bawang merah dari Fafoe.
Membangun kedaulatan pangan memang bukan perkara mudah. Untuk menggerakkan warganya, Yosef harus memulai dan memberi contoh bagaimana menjadi petani dengan menggarap lahan tidur milik keluarga. Jika sudah ada contohnya, masyarakat akan mengikuti. ”Pemimpin di kampung itu tidak cukup hanya bicara,” ujarnya.
Lahan-lahan yang tidak sanggup dikerjakan sendiri, ia serahkan kepada warga yang mau menggarapnya. Warga yang dimaksud kebanyakan keluarga baru. Sebagian besar hasil kebun diambil mereka yang menggarap.
”Selama kebutuhan mereka belum mencukupi, mereka makan saja hasil kebun itu. Kalau ada hasil lebih, baru kasih ke saya,” ujarnya.
Wajib bertani
Saat ini, ia memiliki lebih dari 10 hektar lahan untuk tanaman palawija dan 3 hektar tanaman pisang. Ia juga beternak 700-an ayam, 200-an itik, 21 babi, dan 20 sapi. Ia juga meminta warganya agar ikut beternak seperti dirinya. Beternak memiliki prospek yang menjanjikan. Pasalnya, kebutuhan hewan ternak untuk urusan adat di daerah itu sangat tinggi.
Tak hanya memberi contoh, Yosef juga mewajibkan semua staf di desa itu bertani. Staf desa harus memberi contoh kepada masyarakat. ”Kalau ada staf yang tidak mau, segera saya ganti orang lain. Saya merasa, dia bukan pemimpin karena tidak bisa memberi contoh,” katanya.
Yosef memahami karakter kebanyakan petani di desanya itu. Mereka gengsi menjual hasil kebun di pasar. Petani biasanya menjual kepada agen yang datang langsung ke kebun. Padahal, harga jual di pasar beberapa kali lipat dari harga jual di kebun. Jarak kebun dan pasar di ibu kota kabupaten tidak lebih dari 20 kilometer. Ia mengajak masyarakat berjualan di pasar. ”Saya ajak istri kami jualan di pasar, setelah itu masyarakat ikut,” ujarnya.
Petarung
Yosep memiliki jiwa petarung dalam urusan dagang. Sejak masih menjadi mahasiswa, ia sudah berjualan di pasar. Setiap pagi sebelum ke kampus, ia membeli ikan dari nelayan lalu menjual di pasar. Terkadang pada saat liburan, ia menjual ikan hingga ke luar kota. Hasil jualan ia gunakan membeli ternak untuk dipelihara lalu dijual lagi. Semangat juang itu ia tularkan kepada warganya.
Saat ini, setiap pagi, jalanan dari Fafoe ke Betun ramai oleh lalu lalang mobil bak terbuka yang mengangkut hasil kebun. Warga Fafoe mengisi deretan penjual sayur, bawang merah, jagung, dan berbagi hasil tanaman hortikultura di pasar.
Hasil penjualan mereka pakai untuk membiayai pendidikan anak-anak. Berkat pertanian, lebih dari 100 orang di desa itu berhasil menyelesaikan studi di perguruan tinggi. ”Kalau mereka gengsi jual sayur, anak-anak mereka tidak bisa kuliah,” ujarnya.
Sebagai kepala desa, Yosef juga bertanggung jawab terhadap pendidikan di kampung itu. Ia memelopori berdirinya bangunan sekolah jarak jauh untuk siswa SMA Negeri 1 Malaka Tengah di Fafoe. Saat itu, banyak siswa tidak bisa pergi ke sekolah lantaran jalur putus akibat luapan Sungai Benenain. Sekolah jarak jauh di Fafoe jadi solusi. Sekolah tersebut beroperasi dari 2010 hingga 2014.
”Saya orang kampung. Saya merasakan betapa beratnya perjuangan orang kampung meraih cita-cita,” katanya.
Dua angkatan lulus dari sekolah itu. Setelah tanggul Sungai Benenain dibangun, sungai tak lagi meluap. Warga bisa sekolah di tempat lain yang lebih baik. Sekolah jarak jauh itu pun ditutup. Jejak sekolah masih berdiri di atas lahan Yosef. Di pekarangan bekas gedung sekolah itu ia jadikan tempat beternak babi, ayam, dan itik.
Yosef melihat, anggaran dana desa ditambah alokasi dana desa yang jumlahnya mencapai Rp 1 miliar per desa membuat banyak orang berebutan jadi kepala desa. Tak jarang, kepala desa terlibat dalam korupsi. ”Kalau kami dulu, motivasi jadi kepala desa itu melayani. Tak ada gaji dan lebih banyak berkorban,” kata Yosep yang akan segera pensiun sebagai kepala desa.
Yosef berjanji terus membantu desa itu kendati tidak lagi menjabat kepala desa. Ia ingin, kedaulatan pangan dan kemandirian ekonomi terus menjadi napas hidup di Desa Fafoe.
Yosef Seran Klau
Lahir: Fafoe, 15 Juli 1965
Istri: Adolia Meak (53)
Anak: Jefri (31), Johan (29), Albert (27), Faster (23), dan Delsi (15).
Pendidikan terakhir: S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang (1985-1992).