Tatang Memberi Bekal Hidup untuk Anak-anak Difabel
Tatang percaya, pendidikan seharusnya bisa diakses siapa saja meski di tengah keterbatasan. Keyakinan tersebut mendorong laki-laki yang penglihatannya kabur itu membangun SLB ABCD untuk difabel tak mampu.
Oleh
Cornelius Helmy
·5 menit baca
Mata Tatang hanya mampu menangkap cahaya, tetapi pendengarannya amat tajam. Indera pendengaran itu yang menuntun Tatang meniti tangga menuju lantai tiga SLB ABCD Caringin, Kota Bandung, Jawa Barat. Di sana, sejuta mimpi untuk anak difabel telah menunggunya.
Sampai di lantai tiga, Tatang fasih menunjukkan satu per satu ruangan yang ada, yakni satu ruang tidur untuk dua orang, aula untuk pertemuan, hingga sedikit ruang terbuka untuk olahraga. Dibangun setahun lalu, bangunan SLB itu ditargetkan rampung pertengahan tahun ini.
”Dananya ratusan juta. Ada rekan yang kebetulan membuka iuran bersama di internet untuk merenovasi SLB ini. Sebagian donatur juga ikut serta. Mereka mau membantu SLB ini menjadi lebih baik,” kata laki-laki berusia 50 tahun ini.
Beroperasi sejak 2003, SLB ABCD dengan bangunan anyar itu menjadi buah kesetiaan Tatang dalam menyediakan akses pendidikan bagi para difabel netra (A), runggu (B), wicara (C), dan daksa (D). Jenjangnya dari TK hingga SMA.
Saat pertama kali memulai, SLB ABCD jauh dari ideal. Bangunannya memanfaatkan rumah tinggal Tatang sendiri seluas 218 meter persegi. Beberapa ruangan berukuran 3 meter x 3 meter jelas bukan jadi tempat ideal untuk belajar mengajar. Namun, bagi Tatang, ruang belajar yang sederhana tidak boleh menghambat murid-muridnya untuk maju. Ia berusaha memberikan pendidikan yang memiliki standar.
”Kami menggabungkan kurikulum pemerintah dan kreativitas sendiri,” kata Tatang.
Blusukan
Tatang menyebut sumber inspirasi adalah orangtuanya. Mereka punya tujuh anak dan empat orang di antaranya difabel netra. Ada yang sejak lahir, ada juga yang menjadi difabel saat dewasa, termasuk Tatang.
Akan tetapi, mereka tidak pernah malu dan menyerah. Ayahnya hanya petani, tapi sadar bahwa pendidikan adalah yang utama. Karena itu, semua anaknya disekolahkan. Tatang, misalnya, sekolah hingga lulus S-1 Jurusan Antropologi Univeritas Padjadjaran, Bandung. Sementara itu, kakaknya, almarhum Ade Daud, lulus Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Ironisnya, tidak semua anak difabel merasakan seperti saya. Banyak yang sama sekali tidak pernah mengeyam sekolah.
”Ironisnya, tidak semua anak difabel merasakan seperti saya. Banyak yang sama sekali tidak pernah mengeyam sekolah,” ujar Tatang.
Kenyataan itu mengusik pikiran Tatang. Ia menjawabnya dengan merancang SLB bersama kakaknya, Ade Daud, yang dibantu istrinya. Misi mereka ketika itu adalah menarik sebanyak mungkin anak-anak difabel untuk sekolah.
Mereka memilih metode jemput bola. Jika sekadar menunggu siswa datang, mereka tidak yakin akan berhasil. Tatang dan Ade pun blusukan ke jalan-jalan dan tempat pembuangan sampah di sekitar Bandung hingga ke ujung Garut. Mereka menemui para orangtua yang memiliki anak difabel yang tidak sekolah.
Namun, metode jemput bola itu ternyata tak semudah yang dikira. Tatang dan kakaknya lebih sering ditolak para orangtua ketimbang diterima. Alasan mereka beragam, mulai dari malu jika orang lain tahu anak mereka difabel hingga alasan mistis.
Saat bertemu orangtua seorang anak difabel di Garut, ia tidak mengizinkan anaknya ikut Tatang untuk sekolah. Menurut dia, anaknya yang difabel rungu itu membawa hoki. Karena itu, ia tidak bisa dibawa pergi jauh karena akan membuat usaha orangtuanya merugi.
Dari hasil blusukan itu, Tatang dan Ade hanya bisa menjaring lima murid di tahap awal. Semuanya berasal dari keluarga tidak mampu. Untuk membiayai pendidikan mereka, Tatang dan Ade mesti mengeluarkan uang pribadi dan donasi.
Mereka adalah murid-murid pertama Tatang. Di sekolah, Tatang melatih mereka komunikasi tubuh dengan alat-alat di sekitarnya. Mereka diajarkan menggeser bangku dan menggiring bola untuk melatih otot dan refleks siswa.
”Latihannya relatif mudah, bisa di mana saja. Namun, manfaatnya besar bila mereka bisa melakukannya dengan baik. Selain melatih fisik, juga efektif mengolah emosi,” tuturnya.
Aceng (22), warga Babakan Ciparay, Kota Bandung, pernah merasakan hal itu. Impiannya membuncah saat Tatang mendatangi rumahnya dan mengajaknya sekolah. Dulu, Aceng pernah sekolah di sekolah umum, lantas berhenti. ”Saat itu, orangtua tidak punya biaya untuk membiayai sekolah saya,” kata Aceng yang menempuh pendidikan selama empat tahun di SLB ABCD.
Keputusan untuk belajar di sana tepat. Tak hanya pendidikan formal, Aceng juga belajar hidup dalam keterbatasan. Mulai dari orientasi wilayah, memupuk percaya diri, hingga belajar teknik dasar memijat.
”Khusus pijat, sekarang saya bekerja sebagai pemijat di Wyataguna Bandung. Saya punya mimpi punya rumah pijat sendiri. Ke depan, saya ingin menampung bakat tunanetra dalam memijat bukan rumah pijat sendiri,” katanya.
Tidak hanya Aceng yang menyukai pendekatan kreatif itu. Satu per satu orangtua siswa datang ingin menyekolahkan anaknya ke SLB ABCD. Siswa belajar sambil bermain. Kemudahan biaya sekolah juga jadi penariknya.
Zaenal Mutaqin (39), orangtua Iman Nurhakim (8), siswa kelas 1 SLB ABCD, mengatakan, tempat itu adalah sekolah terbaik untuk anaknya. Sekolah ini punya metode belajar kreatif dan biayanya murah. ”Saya mau membayar uang sekolah meski tak banyak untuk bantu biaya operasional pendidikan. Ada banyak anak difabel berpotensi, tapi terbentur biaya,” katanya.
Mendengar ucapan Zaenal, Tatang jelas bahagia. Perjuangannya tidak berjalan sendirian lagi. Beberapa orang mulai ikut terlibat.
Sejak beberapa tahun terakhir, Tatang tak perlu lagi mencari siswa baru. Tahun ini, ada 45 siswa di SLB ABCD atau sembilan kali lipat lebih besar ketimbang pertama kali memulai.
Gurunya pun bukan hanya Tatang dan almarhum Ade. Dia kini dibantu pengajar lain yang saat ini berjumlah 13 orang. Sebagian besar lulusan strata 1. Sebanyak lima orang berstatus pegawai negeri, delapan lainnya adalah honorer, termasuk Tatang.
”Tahun lalu, kami mendapat dukungan lewat Een Sukaesih Award Jabar. Harapannya, semangat kami seperti almarhum Ibu Een, guru asal Sumedang yang terus mengajar di antara keterbatasan fisik demi masa depan siswanya lebih baik,” katanya.
Tatang berharap, ke depan, semakin banyak orang yang mau melakukan hal yang sama. Dia yakin pendidikan seharusnya bisa diakses siapa saja meski di tengah keterbatasan.
Tatang
Lahir: 20 Juli 1969
Istri: Siti Aminah (35)
Pendidikan: S-1 Jurusan Antroplogi Universitas Padjadjaran, Bandung (lulus 1998)