Andi Malewa Membuka Harapan bagi Musisi Jalanan
”Misi utama Institut Musik Jalanan adalah melawan diskriminasi. Sebagai orang-orang yang tersingkir dari publik, kami berusaha memperjuangkan ruang untuk berekspresi dan mencari uang,” kata Andi Malewa.
Hidup di jalanan selama bertahun-tahun tak membuat Andi Malewa (38) kehilangan asa. Laki-laki asal Makassar ini justru semakin gencar memperjuangkan kaum terpinggirkan. Pernah merintis rumah baca bagi penghuni Terminal Depok, Jawa Barat, pada 2007, Andi menjadi penyambung suara bagi pengamen.
Andi memutuskan untuk secara resmi mendirikan Institut Musik Jalanan (IMJ) pada 2014. Waktu itu, Andi mendirikan IMJ bersama Frysto Gurning dan Iksan Skuter meskipun Iksan kemudian mundur untuk fokus berkarier di musik.
”Ide untuk mendirikan IMJ berawal ketika lahir peraturan daerah Kota Depok melarang untuk memberi uang dan memberikan ruang publik kepada pengamen pada 2012. Banyak penertiban yang dilakukan petugas. Saya pikir itu tidak fair karena pengamen tidak mendapat ruang publik untuk berekspresi,” kata Andi melalui panggilan video dari Depok, Selasa (31/3/2020).
IMJ merupakan sebuah wadah untuk menunjukkan sisi positif musisi jalanan kepada publik dan pemerintah. Sebagai musisi, mereka tidak ingin menjual derita untuk mendapatkan simpati, tetapi memukau publik dengan karya.
”Misi utama IMJ adalah memberontak terhadap diskriminasi. Sebagai orang-orang yang tersingkir dari publik, kami berusaha memperjuangkan ruang untuk berekspresi, apalagi kami tidak bisa masuk ke industri. Kami cuma minta ruang untuk menghasilkan uang,” tuturnya.
Pada 2015, IMJ melanjutkan kampanye kartu bebas mengamen bagi pengamen yang telah menerima pelatihan. Dua tahun kemudian, IMJ bersama Pemerintah Kota Depok meluncurkan Depok Supercard sehingga pengamen bisa tampil di tempat-tempat tertentu.
”Sekitar tahun 2015, saya beberapa kali berusaha untuk menerobos Paspampres agar bisa berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo. Akhirnya saya dipanggil ke Istana untuk membahas soal akses terhadap ruang publik, makanya kami bisa kerja sama dengan Kemendikbud,” ujarnya.
Misi utama IMJ adalah memberontak terhadap diskriminasi. Sebagai orang-orang yang tersingkir dari publik, kami berusaha memperjuangkan ruang untuk berekspresi.
IMJ beranggotakan delapan pengamen dari Jabodetabek pada tahun pertama. Jumlah anggota kini meningkat menjadi 400 orang, termasuk puluhan orang dari kaum difabel. Mereka berasal dari Jabodetabek, Semarang, dan Yogyakarta. Rentang usia anggota IMJ 18-70 tahun.
Hingga 2020, IMJ telah meluncurkan total empat album kolaborasi. Para anggota IMJ juga tampil di banyak tempat, seperti M Bloc Space, Thamrin 10, kawasan stasiun MRT Jakarta, serta mal besar, seperti Pejaten Village, Plaza Semanggi, dan Depok Town Square.
Alhasil, standar kehidupan anggotanya membaik. Setiap anggota IMJ rata-rata menghasilkan Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan atau bahkan lebih. Jumlah ini lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR) di DKI Jakarta. Mereka juga sudah mampu menghidupi keluarga, membeli kendaraan bermotor, bahkan membeli gitar seharga Rp 5 juta atau kibor seharga Rp 20 juta.
Seleksi dan audisi
Tidak sembarang pengamen yang bisa bergabung dalam IMJ. Mereka harus mencecap proses seleksi dan audisi seperti ketika ingin masuk ke sebuah manajemen konvensional. Pertama, seorang pengamen atau satu kelompok pengamen harus memenuhi beberapa berkas, misalnya surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), kartu identitas, dan surat keterangan bebas narkoba (SKBN).
Setelah itu, pengamen harus mengikuti proses wawancara. Keahlian bermusik juga akan diuji. Jika lolos, pengamen akan menjalani pelatihan dan pembelajaran untuk bekal ketika tampil nanti.
”Di IMJ, mereka diajarkan bagaimana attitude, mengubah penampilan, dan meningkatkan kualitas bermusik. Kami mengajar bagaimana kalau menyanyi suasana wedding, acara kantor, seminar. IMJ jadi kayak manajemen karena kami juga mengurus mereka main dimana,” ujar Andi.
IMJ juga menyediakan ”kelas” dari sejumlah musisi Tanah Air, seperti Glenn Fredly, Barry Likumahuwa, Padi, dan Slank. Organisasi yang berkantor di Jalan Arif Rahman Hakim, Depok, ini juga menyediakan fasilitas dan bantuan untuk mengamen dan bermusik, termasuk mempromosikan karya anggotanya.
Di IMJ, mereka diajarkan bagaimana attitude, mengubah penampilan, dan meningkatkan kualitas bermusik.
”Kami menekankan progresivitas, anggota baru harus menghafal lagu-lagu dan memperbaruinya setiap minggu. Sementara anggota lama harus punya lagu sendiri dengan tema bebas, terserah genre pop, folk, ballad, rock, reggae, atau ngapak. IMJ ingin agar pengamen naik kelas,” katanya.
Anggota IMJ tidak wajib membayar iuran. Namun, setiap kali mereka tampil di ruang publik, seperti mal, IMJ mengambil 30 persen yang diterima oleh pengamen dari kotak apresiasi untuk kegiatan operasional. Menurut rencana, IMJ juga akan membuka cabang baru di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa Timur.
Mulai tahun 2019, IMJ berkolaborasi dengan GoPay dari PT Aplikasi Karya Anak Bangsa. Pengamen bisa mengamen secara daring di media sosial di mana penonton dapat memberikan apresiasi berupa uang melalui QR Code. Ini merupakan sistem yang baru dilakukan di China, Inggris, dan Indonesia.
Fasilitas itu menguntungkan para pengamen mengingat warga diimbau untuk melakukan pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. ”Pada kondisi sulit seperti sekarang, ngamen dan sawer online menjadi hal yang paling masuk akal untuk dilakukan,” ucapnya.
Anak jalanan
Bukan kebetulan semata Andi lebih aktif terlibat dalam memimpin IMJ ketimbang dua pendiri lainnya. Andi juga pernah mencicipi rasanya hidup luntang-lantung di Pulau Jawa dan bergaul dengan kaum terpinggirkan di jalanan.
”Kondisi keluarga saya tidak mampu, ayah seorang seniman dan ibu hanya ibu rumah tangga. Saya akhirnya merantau dari Makassar ke Bandung pada 2000 setelah lulus SMA. Waktu itu, saya ingin mencari kampus untuk kuliah sambil bekerja sambilan. Tetapi, ternyata itu tidak mudah,” ujar Andi.
Tak lama, Andi memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mencari sekolah. Ia pun menumpang tinggal di rumah saudara di Cimanggis. Ia bekerja sebagai buruh pabrik di departemen televisi untuk pabrik yang waktu itu bernama PT National Gobel selama 2001-2003. Kecewa karena tak kunjung diangkat sebagai karyawan, Andi keluar dari pabrik itu.
Kondisi keluarga saya tidak mampu, ayah seorang seniman dan ibu hanya ibu rumah tangga. Saya akhirnya merantau dari Makassar ke Bandung pada 2000 setelah lulus SMA.
Ia kemudian bekerja di sebuah peternakan unggas Pondok Rajeg, Bogor, Jawa Barat. Malang tak dapat ditolak, 2.500 itik yang dipeliharanya harus dimusnahkan karena virus H5N1.
”Saya putus asa. Saya akhirnya kembali ke Jakarta pada 2004. Di Tanah Abang, saya mengawasi 12 toko sambil cari uang untuk membiayai sekolah tiga adik saya di Makassar. Di situ saya bertemu banyak preman,” katanya.
Andi memutuskan kembali ke Depok dan bekerja sebagai pengamen di terminal. Di situ, dia bertemu seseorang yang menawarkan untuk menanggung biaya kuliah Andi. Andi setuju dan berhasil lulus sebagai salah satu lulusan terbaik di Fakultas Teknik Universitas Pancasila, Jakarta, pada 2011.
”Saya terinspirasi dengan orang yang membiayai kuliah saya, padahal bukan saudara. Jadi, saya juga harus kerja untuk sesama, mulai dari membuat rumah baca di terminal hingga mendirikan institut musik. Saya percaya, sesuatu yang baik itu pasti akan menemukan jalannya, sesulit apa pun, kita coba saja,” ucapnya.
Andi Malewa
Lahir: Makassar, 6 Januari 1982
Istri: Shinta Anggraini
Anak: Andi Adeeva Malewa dan Andi Annasya Ramadhani Malewa
Pendidikan: S-1 dari Universitas Pancasila, Jakarta
Pencapaian:
- Cahaya Dari Timur Award, Pemberdayaan Musik Masyarakat bersama Institut Musik Jalanan, 2014
- Nomine Kick Andy Heroes, 2016
- Anugerah Pelopor Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jawa Barat, 2017