Sebagai seniman dari Bali, I Wayan Suja tak mau diam saja melihat sampah plastik yang semakin menggunung. Dia mewujudkan aksi nyata pelestarian lingkungan.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·5 menit baca
Meski dengan suara cadel, I Made Caesar Dwi Mahesa Kesava (10) berusaha keras menjelaskan tentang pentingnya lubang biopori. Ia kemudian menunjukkan 15 lubang biopori yang dibuat ayahnya, dari pekarangan rumah sampai ke pura keluarga. ”Nah, masukkan sampah ke dalam lubang,” katanya. Caesar kemudian memasukkan sisa-sisa canangsari (persembahan) ke dalam lubang biopori.
Ayahnya, I Wayan Suja (45), kemudian mengunggah gambar Caesar lewat akun Facebook miliknya. Bagi Suja, yang penting bukan berapa orang yang kemudian me-like unggahan itu. Akan tetapi, ia sedang melakukan edukasi sejak dini tentang pentingnya mengelola sampah dari hulu.
Setiap pekan secara khusus ia mengajak Caesar untuk turut serta dalam gerakan memungut sampah plastik di pasar-pasar sekitar lingkungannya. Suja sendiri terlibat secara aktif dalam gerakan clean up bersama Trash Hero, sebuah komunitas peduli lingkungan yang berbasis di Swiss.
”Pada saat bersih-bersih, selalu mencoba berintegrasi dengan para pedagang agar mulai memisahkan antara sampah organik dan plastik,” kata Suja, Jumat (3/4/2020), dari Batubulan, Gianyar, Bali. Sejak menyelesaikan studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Suja kembali ke Banjar Tubuh, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati. Ia hidup kembali secara kolektif di tengah-tengah warga banjar.
"Pada saat bersih-bersih, selalu mencoba berintegrasi dengan para pedagang agar mulai memisahkan antara sampah organik dan plastik.”
Gerakan peduli lingkungan yang kini dijalankan Suja bermula pada 2005 ketika ia mulai menggambar selubung plastik dalam karya-karya seni lukisnya. Pada awalnya, ia tertarik mengeksplorasi plastik karena bentuknya yang artistik.
Sebagai orang Bali, ia merasa identitas masyarakat lokal makin hari makin terkungkung di dalam cangkang plastik mahabesar. Di sini, ia mulai berpikir plastik adalah salah satu produk teknologi modern, yang awalnya secara kuat mem-branding eksistensi manusia.
”Kita bangga kalau nenteng plastik dari mal dengan merek tertentu,” ujarnya. Sialnya, makin hari plastik makin menjadi masalah bagi manusia dan terutama lingkungannya.
Secara kultural, identitas lokal manusia Bali, sebagaimana dilukiskan oleh Suja dalam karya-karyanya, terselubung di dalam kemasan plastik. Lama-kelamaan, kata Suja, seluruh jagat kultural kita akhirnya tenggelam dalam balutan plastik. Diam-diam dalam perenungannya, Suja menilai dirinya sebagai oportunis. ”Seperti membicarakan kemiskinan dari mobil mewah,” katanya.
Dengan kata lain, ia melihat karya lukisan plastiknya tidak seksi lagi dan tidak menantang secara artistik. Ia ingin melakukan gerakan secara lebih konkret. Jadilah gerakan bersih-bersih mulai dari lingkungan keluarga. Selain membuat biopori di rumah, Suja juga menginisiasi pembuatan biopori di lingkungan banjarnya. Aktivisme itu kemudian meluas dengan benar-benar menjadi pegiat lingkungan.
Pada saat isu korona meluas, ia menyiapkan ember dan sabun untuk mencuci tangan di warung sembako milik istrinya. Ia juga mengajak aparat desanya melakukan penyemprotan disinfektan di lingkungan hidup mereka.
”Kami buat disinfektan dari pemutih pakaian, karbol, dan cairan pembersih lantai. Sekarang kami sudah lakukan tiga kali penyemprotan, dan ini akan terus dilakukan bersama aparat desa,” ujarnya.
Seni dan lingkungan
Seni bagi Suja tak sebatas kanvas. Seni pada dasarnya selalu berangkat dari lingkungan, terutama lingkungan kultural. Oleh sebab itu, sudah pada galibnya jika di kemudian hari dalam pencariannya, seorang seniman kembali kepada fitrah dasar dari kesenian itu sendiri. Seni harus bermanfaat pada lingkungan.
Gambar-gambar yang ia hasilkan selalu diciptakan dengan konsep dasar menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk kembali menata lingkungan di mana manusia hidup berdampingan. Suja tidak pernah menafikan bahwa seni juga bisa berbicara tentang seni itu sendiri. Tetapi, kini baginya, seni bukan sekadar persoalan artistik semata-mata.
”Seni juga harus jadi bagian dari gerakan, ya bisa gerakan kultural, bisa gerakan lingkungan seperti yang saya lakukan sekarang,” kata ayah tiga anak ini.
Plastik, tambah Suja, terbukti menjadi masalah pelik dalam kehidupan manusia kontemporer saat ini. Jika dibiarkan berserakan, alam baru akan berhasil mendaur ulang secara alamiah selama 400-500 tahun. Bukan tidak mungkin plastik benar-benar akan menguasai hidup manusia.
Pada gambar-gambar yang diciptakan Suja, hampir selalu plastik mengambil bidang terbesar. Sementara potret manusia (Bali) hanya menjadi sebagian kecil. ”Ini jadi sedikit simbolik, secara ekologi kita makin hari makin terkungkung oleh plastik,” katanya.
Rupanya, kata Suja, kesadaran tentang relasi seni dengan lingkungan pada gambar-gambarnya bekerja secara ”naluriah”. ”Tadi memang semata-mata urusan artistik. Tetapi, lama-lama saya menyadari bahwa seni bisa menjadi garda depan untuk proses penyadaran kepedulian pada lingkungan,” katanya.
Jika kemudian ia terlibat penuh pada aksi-aksi penyelamatan lingkungan, itu karena ia tidak mau menjadi oportunistik. ”Saya tidak mau dicap ambil keuntungan dari kondisi yang tidak menyenangkan. Di situ seni harus mencerahkan,” katanya menambahkan.
Gerakan kepedulian terhadap lingkungan, ujar Suja, tidak perlu terlalu ambisius. Segalanya bisa dimulai dari dalam lingkungan rumah sendiri. Setiap kali melakukan pembersihan di pasar-pasar atau di pantai, ia berusaha mengajak Caesar. Ia juga menularkan kepedulian tentang pentingnya memilah sampah pada keluarga besarnya.
Suja membuat tempat sampah khusus organik di sebuah tanah kosong miliknya. Hal itu juga sebagai edukasi kepada masyarakat banjar agar mulai memisahkan sampah.
Ia melihat belakangan, dalam ritual-ritual upacara di Bali, plastik semakin banyak dipergunakan.
”Syukurlah sudah ada aturan dari gubernur untuk melarang penggunaan plastik. Kalau enggak, lama-lama sesaji kita pakai plastik,” katanya.
I Wayan Suja
Lahir: Batubulan, Bali, 8 Desember 1975
Pendidikan: Institut Seni Indonesia Denpasar, Bali
Pameran tunggal, antara lain: Re-imaging Identity, The Gallery, Maya Sanur Resort and Spa, Sanur, Bali (2019)
Penghargaan, antara lain:
Best Work, dari Dinas Pariwisata Bali (1996); Finalis 30 Besar Sovereign Asian Art Prize, dari The Sovereign Art Foundation Hong Kong (2005)