Ahmad Zahidun, Kepala Dusun Buruh Migran
Sebagai mantan TKI, Ahmad Zahidun sangat memahami seluk-beluk kehidupan buruh migran. Dengan segala daya upaya, dia membantu para buruh migran untuk mengatasi berbagai masalah.
Sebagai mantan buruh migran, Ahmad Zahidun (43) paham benar manfaat dan mudarat menjadi buruh migran. Dengan menjadi buruh migran, orang bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Di sisi lain, jalan itu bisa memunculkan aneka problem rumah tangga. Zahidun bergerak untuk mengatasi beberapa problem yang dialami keluarga buruh migran di desanya.
”Secara pribadi, saya mantan TKI, anak telantar akibat orangtua bercerai. Saya tidak ingin anak-anak sekarang merasakan apa yang saya rasakan dan alami. Itulah motivasi saya menjadi pegiat sosial,” tutur Zahidun, di rumahnya, Dusun Mungkik, Desa Pandang Wangi, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/4/2020).
Desa Pandang Wangi merupakan salah satu kantong buruh migran di Kecamatan Jerowaru. Pada 2019, ada 500-an warga laki-laki dan perempuan yang bekerja di Malaysia, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam. Dari jumlah itu, 52 orang berasal dari Dusun Mungkik yang berjarak sekitar 62 kilometer dari ibu kota Mataram.
Sebagaimana daerah-daerah yang menjadi kantong buruh migran, banyak persoalan yang muncul dari keberangkatan warga ke luar negeri. Ketika salah satu atau kedua orangtua berangkat merantau, anak mereka hampir dipastikan akan kehilangan kasih sayang karena anak-anak itu akan diasuh oleh anggota keluarga yang lain, seperti nenek atau saudara. Pendidikan sebagian besar dari anak buruh migran juga kerap terbengkalai.
Problem lain yang tak kalah peliknya adalah banyak buruh migran perempuan yang kembali ke kampung dengan membawa anak yang tidak jelas identitas ayahnya. Anak-anak itu umumnya diasuh sang nenek karena ibu atau ayahnya biasanya berangkat lagi ke luar negeri.
Sebagian dari anak-anak itu berwajah mirip orang Timur Tengah, Bangladesh, atau Melayu. ”Anak-anak pekerja migran ini kerap dilabeli anak sawit, anak unta, anak bangla. Stigma yang tidak mengenakkan. Tapi keberadaan mereka adalah fakta yang tak terbantahkan di beberapa dusun,” ujar Zahidun.
Selain mendapat stigma negatif, anak-anak yang tidak tahu apa-apa itu menghadapi persoalan lain yang tidak kalah berat. Mereka kehilangan kasih sayang orangtua dan pada saat bersamaan keberadaannya tidak serta-merta mendapat pengakuan dari negara. Mereka, misalnya, tidak mendapat akta kelahiran sehingga hak-haknya sebagai warga negara tidak ada. Tanpa akta, mereka tidak bisa mendaftar sekolah.
Anak-anak pekerja migran ini kerap dilabeli anak sawit, anak unta, anak bangla. Stigma yang tidak mengenakkan. Tapi keberadaan mereka adalah fakta yang tak terbantahkan di beberapa dusun.
Memperjuangkan akta
”Persoalan-persoalan itu yang saya hadapi dan harus saya carikan solusinya,” ucap Zahidun yang menjabat Kepala Dusun Mungkik tahun 2016/2017. Beruntung pula ia ditunjuk sebagai fasilitator oleh Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) bidang advokasi pendidikan anak dan perempuan.
Zahidun juga memperjuangkan anak buruh migran mendapatkan akta kelahiran. Syaratnya, anak pekerja migran membuat surat pertanggungjawaban mutlak (SPTJM) yang ditandatangani kepala dusun dan para saksi. Dengan dasar SPTJM, Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Lombok Timur menerbitkan akta kelahiran untuk mereka.
Pada 2019, di Desa Pandan Wangi tercatat ada 327 anak buruh migran dan di Desa Pemongkong ada 262 orang. Di dua desa itu, 90 persen anak buruh migran telah mengantongi akta kelahiran.
Zahidun tidak berhenti sampai di situ. Ia berusaha memberikan akses pendidikan bagi anak-anak buruh migran yang ditinggal orangtuanya ke luar negeri. Caranya, dengan mendirikan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Al Ikhlas bagi anak buruh migran. Lokasi belajar-mengajar PAUD ini awalnya berpindah-pindah. Kadang menumpang di sebuah SD, area posyandu, atau rumah warga. Kini PAUD itu menetap di ruang parkir sebuah SD Dusun Mungkik.
Zahidun juga memberikan pendidikan keterampilan menganyam dan membuat keripik kepada para ibu rumah tangga yang ditinggal suami merantau jadi TKI. Dengan begitu, mereka bisa membuat usaha di rumah dan memperoleh penghasilan sendiri.
Sebagian perempuan yang diceraikan atau ditinggal begitu saja oleh suaminya yang menjadi TKI, ia rekrut menjadi guru di PAUD Al Ikhlas.
Persoalan keluarga buruh migran hanya satu dari seabrek persoalan yang harus diatasi oleh perangkat desa seperti Zahidun. Sebagai Kepala Dusun Mungkik, misalnya, Zahidun juga harus mengatasi persoalan klasik lainnya, seperti pernikahan di usia dini dan buta huruf di kalangan warga lanjut usia.
Pada 2018, ia berhasil mencegah empat pasangan di bawah usia yang akan menikah. Tahun 2019, dari 19 kasus pernikahan dini, sembilan pasangan bisa dicegah. Keluarga kedua calon mempelai sepakat untuk mendorong kedua pasangan agar menyelesaikan sekolah hingga SMA. Setelah lulus, pasangan tersebut baru boleh menikah.
Sumbangkan gaji
Sebelum menjadi kepala dusun, Zahidun tiga kali menjadi TKI ke Malaysia, terakhir tahun 2011, selama dua tahun. Keberangkatan awalnya secara ilegal tahun 1998, dari Pelabuhan Lembar menumpang kapal ke Pelabuhan Padangbai, Bali, lalu naik bus ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur. Perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut ke Kepulauan Riau, dan Sungai Rengit, Johor Bahru, Malaysia, menumpang perahu kecil yang disesaki puluhan penumpang.
Di Johor Bahru, ia bekerja di ladang sawit selama enam bulan, lalu pindah bekerja di kolam ikan hias selama 1,5 tahun. Di kedua tempat itu, ia mendapat gaji 450 ringgit Malaysia, naik menjadi 750-1.000 ringgit sebulan. Ia pernah pula bekerja di ladang sawit, ladang sayur, dan pekerja bangunan di Pahang serta membantu pengusaha asal Padang, Sumatera Barat, menjual sate di Selangor.
Ia mengaku terpaksa berangkat jadi buruh migran ilegal karena tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Ia hanya memiliki lahan sempit warisan dari ayahnya yang hanya menghasilkan padi 2 ton padi sekali panen. Sawah di dusunnya pun hanya bisa ditanami padi dan palawija selama enam bulan. Enam bulan sawah tadah hujan di dusun itu karena retak-retak dibakar terik matahari di musim kemarau.
”Setelah mencoba berkali-kali memperbaiki nasib di Malaysia dan tidak berhasil, saya pulang kampung. Saya memutuskan jadi pegiat sosial, mengedukasi anak muda agar tidak merasakan yang saya alami. Saya juga menyaksikan realitas sosial warga di kampung yang memerlukan perhatian,” tuturnya.
Belakangan, masyarakat kemudian memilihnya sebagai kepala dusun tahun 2016. Zahidun berusaha menjaga amanah 1.147 jiwa warga dusun itu dengan bekerja total. Ia menyisihkan gajinya untuk membeli baju seragam siswa PAUD yang ia dirikan. Ia tidak gengsi menjadi tukang ojek sepeda motor yang hasilnya ia gunakan untuk membayar honor guru PAUD.
Setelah mencoba berkali-kali memperbaiki nasib di Malaysia dan tidak berhasil, saya pulang kampung. Saya memutuskan jadi pegiat sosial, mengedukasi anak muda agar tidak merasakan yang saya alami.
Hasil kerja nyatanya itu sebagai jawaban atas sinisme sementara orang terhadap aktivitasnya. ”Saya dibilang gila, difitnah macam-macam oleh sementara orang untuk tujuan politis,” ujarnya.
Setelah melihat komitmen dan kerja keras Zahidun untuk mengatasi persoalan di dusunnya, ia dicintai oleh warganya. Bukti kecintaan warga ia rasakan ketika ia mengundurkan diri sebagai kepala dusun karena sakit selama empat bulan.
”Saya mengundurkan diri, malah ibu-ibu datang demo ke jemaah masjid. Mereka tidak mau saya diganti dan minta jemaah menyampaikan aspirasi mereka kepada saya. Ternyata sebagian besar warga masih memberikan saya mengabdi jadi kepala dusun,” katanya.
Ahmad Zahidun
Lahir: Lombok Timur, 31 Desember 1977
Isteri: Nuthidayati (33)
Anak: Cindy Purnam Fitri (16), Anggir Didowati Junior (10), Nayla Salsabila (6)
Pendidikan:
- SDN 2 Pandan, Desa Pandan Wangi (tamat 1991)
- SMPN 3 Sakra, Lombok Timur (1994)
- SMAN 1 Keruak, Lombok Timur (1997)