I Made Sugianto, Penyebar Minat Buku Berbahasa Bali
Kecintaan pada sastra Bali membuat I Made Sugianto mengumpulkan, mencetak, dan menyebarkan karya-karya sastra berbahasa Bali yang terserak.
Langkanya buku cerita berbahasa Bali membawa I Made Sugianto (41) tergerak melahirkan usaha penerbitan Pustaka Ekspresi mulai 2009. Dedikasinya untuk literasi budaya telah menghasilkan lebih dari 60 buku cerita bahasa Bali. Meski kini terpilih sebagai Kepala Desa Kukuh, Kabupaten Tabanan, Bali, Sugianto tetap setia menjaga kisah berbahasa Bali.
Awalnya, Sugianto berupaya menerbitkan satu buku cerita pendek (cerpen) dari pengarang idolanya, Samar Gantang. Semua berawal dari pertemuann keduanya di sebuah klinik kesehatan tahun 2009. Dari pertemuan itu, Sugianto bertekad untuk menyebarkan minat baca cerita-cerita berbahasa Bali.
“Spontan saya menawarkan untuk menyusun karya-karyanya menjadi buku, menyalin seluruh karya tulisan tangan Pak Samar Gantang ke komputer, mencetaknya, dan menjadikannya buku. Semua saya jalani sendiri dan itu kebahagiaan tak terkira. Semangat itu yang saya jaga hingga sekarang ini,” kenang Sugianto, di Tabanan, Bali, Selasa (21/4/2020).
Ketika itu, ia rela mesin printer-nya rusak karena tak kuat mencetak lebih dari 100 halaman. Ia pun mendapat masukan dari sahabatnya untuk mencetak buku ini di tempat jasa foto kopi. Pekerjaannya pun selesai. Jadi, lah, 100 buku!
Soal biaya, ia mengaku menghabiskan sekitar Rp 1 juta yang ia sisihkan dari kerja di kantor desa serta menjadi pegawai toko. Buku itu dia jual seharga Rp 10.000 per eksemplar. Namun akhirnya sebagian besar ia bagikan cuma-cuma kepada anak sekolah serta remaja sekitar desanya.
Ia merasa tidak rugi mengajak anak-anak dan remaja mencintai bahasa ibunya sendiri. Hingga kini, demi literasi itu, ia tak segan merelakan waktu, biaya, serta tenaganya agar cerita-cerita dengan menggunakan bahasa Bali tidak punah. Sebisa mungkin ia mengupayakan karya-karya itu menjadi sebuah buku.
Sugianto bercerita, kecintaannya terhadap budaya dan sastra dipengaruhi pengalaman masa kecilnya. Kala itu ia sangat menikmati pertunjukan wayang oleh dalang terkemuka di kampungnya, Gusti Ketut Sudiarta atau akrab dipanggil Dalang Gusti Saba.
Ia bahkan sempat bercita-cita menjadi dalang, tetapi tak kesampaian. Biaya sekolah menjadi kendalanya ketika itu. Namun, ayah tiga anak ini tak patah semangat untuk setia di jalur budaya serta sastra.
Ia pun tak pernah menyangka bakal menyenangi dunia cerpenis bahasa Bali. “Gara-gara menyalin cerpen-cerpen Pak Samar Gantang, saya jadi tertarik membuat cerpen sendiri. Mengasyikkan ternyata dan keterusan sampai sekarang ini,” katanya ramah.
Membuat majalah
Sebelum melahirkan Pustaka Ekspersi, Sugianto lebih dulu menerbitkan Majalah Ekspresi setebal 40 halaman pada 2007. Semua dengan dorongan kuat belajar menjadi penulis.
Isi majalah itu mengenai berita soal sekolah, siswa berprestasi, dan guru berprestasi. Ia menjadi penulis sekaligus merangkap penggarap tata letak, dan pencari foto. Ia mencetak dan menyebarkannya sendiri secara cuma-cuma ke sekitar desanya.
Baru dua tahun kemudian, naskah orang lain berdatangan. Apalagi setelah pertemuannya dengan Samar Gantang. Penulis idolanya itu bersama teman-teman penulis lainnya bersedia membantu mengisi halaman-halaman Majalah Ekpresi dengan cerpen bahasa Bali. ”Ini lelah yang terbayarkan,” katanya.
Pustaka Ekspresi masih berjalan sampai saat ini. Hanya saja, Majalah Ekspresi harus ditutup pada 2015. “Bukan karena kelelahan, tetapi prioritas selalu menjadi pertimbangan apa pun menyangkut keluarga. Tujuh tahun majalah ini bertahan dan terpaksa stop, saya tetap bersyukur masih diberi kesempatan berbagi,” ungkapnya.
Sugianto memilih mempertahankan Pustaka Ekspresi hingga hampir 11 tahun sekarang ini karena ia ingin makin banyak orang yang berminat melestarikan cerpen atau cerita apa pun berbahasa Bali. Hanya saja, akhir-akhir ini waktu luangnya berkurang banyak lantaran habis dipakai untuk bergotong royong mencegah penyebaran Covid-19. Maklum, sejak dua tahun lalu, Sugianto menjabat Kepala Desa Kukuh.
Sebagai Kepala Desa, salah satu agenda utamanya adalah memajukan literasi di kalangan warganya. Ia berupaya memajukan desanya dengan membangun gedung untuk kegiatan pendidikan anak usia dini (PAUD). Sejak Yayasan Kartini Kukuh yang mengelola PAUD itu berdiri tahun 1976, kegiatan belajar mengajar masih menumpang di kelas-kelas tak terpakai di sekolah dasar di desa itu.
“Prihatin sekali. Saya berusaha keras agar dana desa dapat dimanfaatkan untuk pembangunan gedung (PUAD). Hasilnya, cita-cita itu terwujud di tahun 2019 lalu. Dana desa yang dimanfaatkan sekitar Rp 700 juta. Lega rasanya melihat anak-anak leluasa bermain di gedung barunya,” katanya.
Tak berhenti pada urusan gedung, Sugianto juga merekrut guru baru PAUD sebanyak lima orang. Pasalnya, PAUD desa mendapat banyak murid baru sejak memiliki gedung sendiri. Akibatnya, sebelum ada tambahan guru, tiga guru di PAUD itu harus mengajar 80 orang anak.
Video dongeng
Atas kegigihannya melestarikan sastra Bali, Sugianto dua kali mendapatkan penghargaan sastra Rancage. Yang pertama pada 2012 atas perjuangannya sebagai penerbit sastra, dan yang kedua pada 2013 atas karya novelnya berjudul Sentana yang ia terbitkan sendiri melalui Pustaka Ekspresi.
Kini, Sugianto tengah mencoba menghidupkan kembali hobinya mendongeng dengan merekamnya di video, dilengkapi gambar-gambar, kemudian ia unggah di media sosial. Tak disangka, video dongengnya itu banyak diminati.
“Tetapi saya tak pernah ada sedikit pun niatan mengunggah video itu untuk kepentingan mencari uang. Bukan itu. Saya hanya mengikuti kata hati dan saran dari sahabat menanggapi berkembangnya teknologi,” jelasnya. Di PAUD desanya, ia pun memutar video dongengnya ini untuk menarik minat anak-anak terhadap dunia dongeng.
Tidak itu saja, pada Mei 2019, ia bersama ilustrator Arya Mahendra merilis komik berbahasa Bali berjudul Luh Ayu Manik Mas, Tresna ring Alas.
Di tengah kesibukannya sebagai kepala desa, Sugianto tetap setia menyisihkan waktu dan anggaran untuk setahun sekali membantu satu penulis berbakat yang tak punya dana untuk memiliki buku karyanya. Sejak 2019, ia sudah membantu dua penulis untuk menerbitkan buku berbahasa Bali melalui sayembara penulisan yang ia namakan Gerip Maurip. Naskah pemenang sayembara itu kemudian dibukukan.
“Saya masih tetap ingin menyebarkan virus minat membaca kepada siapa pun dengan buku-buku bahasa Bali. Jika bukan kita yang menjaganya, kemampuan literasi berbahasa Bali sebagai bahasa ibu, bisa semakin tergerus zaman,” pungkasnya.
I Made Sugianto
Lahir: Banjar Lodalang /19 April 1979
Alamat: Banjar Lodalang, Desa Kukuh, Marga, Tabanan, Bali
Istri: Ni Ketut Yeti Astuti
Anak:
- Putu Satria Wibawa
- Kadek Amelia Dwipaningsih
- Komang Anggara Dananjaya
Pekerjaan: Kepala Desa Kukuh
Penghargaan:
- Hadiah Sastra Rancage 2012 untuk bidang Jasa
- Hadiah Sastra Rancage 2013 untuk karya novel Sentana
- Penghargaan Penerbit Buku Hindu Terbaik 2016 dari Hindu Books and Readers Community Award
Pengalaman sastra:
- Pembicara di acara Bali Emerging Writers Festival 2013
- Peserta Mitra Praja Utama di Provinsi Banten 2014
- Pembicara di acara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016
- Baca Puisi Bali di Pesta Kesenian Bali 2017
- Tampil di stasiun TV lokal dengan tema masatua Bali dan menulis cerpen Bali
- Mengisi acara maplalian (permainan tradisional) dan masatua Bali di PAUD Kartini Kukuh sejak 2019 setelah jadi kepala desa dan membangun sekolah di kampung