Heri Priyatmoko menjaga ingatan masyarakat tentang Solo melalui sebuah komunitas. Semua hal terkait Solo digali dengan riset mendalam.
Oleh
Andreas Maryoto
·5 menit baca
Tinggal di Solo, Jawa Tengah, setiap hari Heri Priyatmoko (35) bolak-balik Solo-Yogyakarta untuk mengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Mengajar adalah salah satu aktivitasnya di samping menulis di berbagai media, menjadi pembicara, dan mendongeng. Ia dikenal sebagai pendongeng tentang seluk-beluk Solo dengan segala latar belakang sejarahnya.
Heri Priyatmoko, dosen Program Pendidikan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma ini, lahir dari sebuah keluarga pedagang di Pasar Klewer, Solo. Dari sinilah kecintaannya pada Solo tumbuh dan berkembang. Ingatan masa kecil tentang kota itu dengan ragam kehidupannya membuat ia bergulat dengan berbagai literatur tentang Solo hingga mendirikan Solo Societeit. Komunitas ini mengkaji dan melakukan napak tilas berbagai peninggalan nenek moyang di kota itu, termasuk kebudayaannya.
”Saya ingin menjaga kampung halaman sekalian menemani masyarakat di sini untuk memahami sejarah lokalnya. Pengetahuan tentang Solo belum habis untuk ditimba, bahkan tak akan habis,” katanya.
Komunitas Solo Societeit telah melakukan riset dan juga napak tilas sebanyak 15 kali. Berbeda dengan komuitas lain, Solo Societeit selalu memulai dengan riset.
Sebelum napak tilas dengan turun ke lapangan, mereka membuka berbagai sumber, mulai dari dokumen, catatan, hingga media masa lalu tentang tema yang akan diangkat. Mereka mengumpulkan data. Dengan begitu, mereka berharap komunitas tidak sekadar membagikan informasi mentah, tetapi juga pengetahuan yang terangkai dengan sejarah besar Solo. Anggota komunitas juga diberi panggung agar mau jadi pendongeng di setiap kesempatan napak tilas.
”Saya menyoroti kelemahan komunitas selama ini sekadar jelajah dan menelan informasi mentah-mentah. Kami memberdayakan komunitas untuk regenerasi pendongeng yang unggul,” tutur Heri yang menjadi kolumnis di beberapa media, baik cetak maupun laman daring, dan pembicara sejarah di berbagai forum. Beberapa napak tilas yang pernah dijalankan antara lain kehidupan seks dan asmara raja, rekonstruksi letak Kota Solo, dan Kauman Mangkunegaran yang hilang.
Dari napak tilas ini, sejumlah kalangan menjadi paham dengan sejarah lokal mereka. Beberapa kelurahan juga berterima kasih kepada Solo Societeit karena mereka menjadi paham masa lalu sekitar mereka. Komunitas itu berusaha memberi rangsangan agar warga paham dengan sejarah mereka sehingga mencintai kampung halamannya.
”Kami lega sekali setiap mereka mengapresiasi komunitas karena dengan demikian kehadiran komunitas tidak hanya untuk kepentingan kami, tetapi untuk mereka sehingga melek sejarah. Selama napak tilas, kami juga menyuguhkan berbagai kreativitas sehingga budaya lokal mereka tergarap,” ujar Heri yang menyelesaikan studi sejarah di Universitas Negeri Sebelas Maret dan pascasarjana di Universitas Gadjah Mada dengan biaya dari orangtua dan honor tulisan di berbagai media.
Seusai napak tilas, peserta selalu diajak diskusi agar mereka memahami sebuah kisah secara utuh. Mereka mengadakan kegiatan ini sebulan dua kali pada akhir pekan. Pesertanya bisa mencapai 50 orang, bergantung tema yang disodorkan. Meski banyak kisah sukses dalam kegiatan Solo Societeit, pernah ada satu pengalaman yang membuat ia kesal, tetapi menggelikan.
Saya ingin menjaga kampung halaman sekalian menemani masyarakat di sini untuk memahami sejarah lokalnya. Pengetahuan tentang Solo belum habis untuk ditimba, bahkan tak akan habis.
”Saat itu, komunitas kami mengadakan napak tilas sejarah minuman. Acara ini berbayar. Kami tak menyangka, gara-gara rencana ini, kami pernah diteror. Kami bingung, mengapa diteror oleh sebuah organisasi? Ternyata mereka mengira kami akan mengadakan pesta minuman keras. Dikira kami mau mabuk-mabukan,” ujar Heri sambil tersenyum.
Mereka sempat dilarang, padahal sudah ada abdi dalem yang menjadi koki kerajaan siap menjadi narasumber. Akhirnya, mereka memilih membatalkan acara ini karena tidak ada jaminan keamanan dari aparat. Mereka sadar, sebuah acara ternyata tak selamanya berjalan lancar sekalipun acara itu bertema sejarah.
Bagi Heri, Kota Solo sangat menarik dari berbagai aspek sejak zaman kerajaan, zaman kolonial, sampai sekarang. Solo menjadi bagian dari jatuh bangun kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Berbagai aktivitas kebudayaan berjalan di kota itu sejak dulu, seperti kehadiran Taman Sri Wedari dan Taman Balekambang milik kerajaan. Taman itu menjadi ruang publik untuk memanjakan para kawula. Keberadaan candi di pinggiran kota, keraton, gamelan, dan lain-lain menjadi lahan empuk untuk belajar kesenian.
Kehadiran Radya Pustaka yang dikelola Kasunanan merupakan bukti Solo juga merupakan medan intelektual. Dulu, lembaga ini adalah tempat untuk penelitian, pengkajian, dan membedah isi pengetahuan, bukan seperti sekarang yang hanya berupa perpustakaan dan penyimpan koleksi. Predikat Solo sebagai medan intelektual makin melekat ketika pada tahun 1855 koran berbahasa Jawa, Bromartani, lahir di kota itu. Solo juga menjadi kota pujangga yang melahirkan seniman-seniman terkenal. Solo sempat menjadi kota tempat belajar apa pun, termasuk kesusastraan. Pada masa lalu ada sekolah AMS, hampir setara SMA sekarang, yang sangat terkenal dengan bidang garapan sastra Timur.
Solo pada era kolonial dan awal kemerdekaan merupakan jantung aktivitas Jawa. Semua kendaraan melewati dan berhenti di Solo. Solo menjadi sangat istimewa karena sangat mudah dijangkau dari berbagai tempat. Maka, Solo sering menjadi tempat pertemuan seperti Syarikat Islam, acara-acara Lekra, dan kongres wartawan pertama kali. Bahkan, Pekan Olahraga Nasional pertama juga diadakan di kota itu.
”Solo juga memiliki kuliner yang dahsyat sehingga kalau kita ingin menulis, meriset, atau sekadar menikmati kuliner sangat mudah,” ujar Heri.
Kuliner Solo menjadi bukti bauran antara tradisional dan modern. Boleh dibilang, Solo adalah kota metropolitan masa lalu. Sebelum Jakarta menjadi pusat perantauan, kota itu sudah menjadi pusat perantarau. Ada tiga konsep urbanisasi. Pertama, konsep tradisional ketika orang datang sebagai abdi dalem. Kedua, konsep modern ketika orang-orang sekitar Solo merantau menjadi pejabat kolonial. Ketiga, urbanisasi informal ketika orang dari luar kota menjadi buruh batik. Kini, Solo juga berperan ikut menyumbangkan putra-putrinya dalam kepemimpinan nasional.
Meski demikian, Heri agak galau dengan masa depan Solo karena banyak perubahan di kota itu. Sejumlah peninggalan sejarah kini terbengkalai, kesadaran sejarah warganya juga berkurang, dan peran keraton makin mundur karena konflik internal. Ia berharap komunitasnya menjadi teman untuk belajar dan menghidupi Kota Solo. Ia ingin warga Solo senang ketika melihat dan merasakan pengetahuan tempo dulu kota itu. Sebelum belajar sejarah besar dunia, pelajari dulu sejarah kanan kirimu, ternasuk kampungmu!