Tanpa melakukan gerakan apa pun, adat dan tradisi Bayan bisa hilang digilas zaman. Renadi menyadari hal itu dan berusaha sekuat tenaga mengajak generasi muda Bayan belajar lagi tradisi nenek moyang mereka.
Oleh
Khaerul Anwar
·5 menit baca
Renadi (38) merasa gelisah melihat anak muda segenerasinya kurang mengenal lagi adat dan tradisi Bayan. Ia mencoba mendirikan Sekolah Adat Bayan yang menawarkan pendidikan informal tentang adat dan tradisi Bayan untuk anak-anak muda.
Renadi yang biasa dipanggil Rey melihat, globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi yang demikian masif mulai memengaruhi pandangan, sikap, dan tingkah laku anak-anak dan remaja Bayan. Jika dibiarkan begitu saja, kondisi ini akan membahayakan keberadaan budaya Bayan.
”Kami mencoba membendung pengaruh globalisasi itu dengan mendorong anak-anak muda untuk menggali dan mengenali lagi budaya lokal,” kata Rey, warga Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Minggu (5/4/2020).
Menurut Rey, generasi muda di desanya beberapa tahun terakhir hanyut bermain telepon seluler atau menonton acara televisi. Mereka menyerap gaya hidup dari luar dan mulai berjarak dengan gaya hidup lokal. Ironisnya, transfer pengetahuan tentang tradisi Bayan dari orangtua kepada anak mengalami kemacetan. ”Di sekolah adat dan tradisi Bayan juga tidak diajarkan,” ujarnya.
Agar tradisi Bayan bertahan, lanjut Rey, warga Bayan mau tidak mau harus ikut serta merawat dan mempraktikkan nilai-nilai luhur nenek moyang dalam pergaulan sosial sehari-hari. Ia pun mencoba mengambil peran dengan mendirikan sekolah informal berbasis budaya dengan target anak-anak usia 7-15 tahun. Sekolah informal itu diberi nama Sekolah Adat Bayan (SAB).
Idenya, kata Rey, berasal dari Rianom, Ketua Lembaga Adat Gubuk Karang Bajo, Desa Karang Bajo, yang dicetuskan tahun 2013. Sayangnya, ide itu tidak bisa direalisasikan karena berbagai alasan. Pada akhir 2017 ketika Rey menjabat Sekretaris Lembaga Adat Gubuk Karang Bajo, ia nekat mendirikan SAB.
Awalnya, ia ragu bisa menarik minat peserta didik meski digelar secara gratis. Apalagi, saat itu SAB tidak memiliki dana operasional untuk menggaji para tutor. Namun, keraguan itu pudar ketika ada 37 anak SD, SMP, dan SMA yang mau mengikuti SAB. Selain itu, ada lima tutor yang bersedia membagikan ilmu.
Mereka mengajarkan lagi tradisi nembang atau membaca naskah lontar dengan cara dinyanyikan kepada anak-anak. Jenis tembangnya adalah smarandhana, sinom, dang-dang, durma, pangkur, dan maskumambang. Nembang penting untuk diajarkan karena setiap acara pernikahan, khitanan, dan ritual adat selalu disertai pembacaan naskah lontar.
Mereka juga mengajarkan bahasa Inggris dan pariwisata budaya agar para siswa kelak bisa ikut berkecimpung di dunia pariwisata. Kebetulan Desa Senaru, Kecamatan Bayan, merupakan pintu keluar-masuk pendakian Gunung Rinjani dan situs bersejarah Masjid Bayan Beleq atau sering disebut masjid Islam wetu telu.
Meluruskan tafsir
Selain melalui SAB, proses belajar kembali tradisi budaya Bayan dilakukan melalui diskusi setiap Sabtu sore. Acara ini biasanya menghadirkan para tetua adat. Salah satu topik bahasan yang menarik minat terkait ajaran wetu telu yang sering keliru ditafsirkan sebagai praktik shalat tiga waktu, bukan lima waktu. Padahal, wetu telu sebenarnya adalah ajaran nenek moyang dalam mengatur tata kehidupan sosial masyarakat Bayan.
Kami coba meluruskan persoalan ini dalam diskusi agar generasi muda mendapat pemahaman yang utuh.
”Kami coba meluruskan persoalan ini dalam diskusi agar generasi muda mendapat pemahaman yang utuh,” kata Rey.
Ia menjelaskan, wetu telu menyimbolkan reproduksi makhluk hidup, yakni beranak/melahirkan, meneluk/bertelur, dan meniok/berbiji atau tumbuh. Telu juga diterapkan dalam membuat struktur pemerintah desa yang terdiri dari pemusungan (kepala desa), penghulu (untuk kegiatan agama), dan pemangku adat (untuk kegiatan adat).
Telu juga merupakan simbolisasi tiga sumber hukum Islam, yakni Al Quran, hadis, dan ijmak. Selain itu, telu juga merujuk pada tiga relasi, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan manusia dengan alam.
Ajaran telu juga mengatur tahapan untuk membangun hunian dan menggarap lahan, mulai dari tahap menjango (semacam survei), membangar (menentukan lahan yang digarap), pengajiran (memberi tanda) agar tidak diklaim orang lain, hingga terakhir buka tana’ (membuka lahan garapan).
Dalam diskusi-diskusi seperti itu, warga juga membicarakan tradisi bertani mulai dari tahap menanam hingga memanen padi bulu yang berasnya dipakai dalam ritual adat. Tahapannya sangat rinci, mulai dari selamet olor (selamatan sebelum tanah digarap), tunang bineq (membuat pembenihan), belesaq (mengolah tanah), melang (menanam benih), beliuh (menyiangi tanaman), berabok (memupuk), nyidekang (membuat buat bubur putih dan bubur merah), nyemprek (ritual mengelingi tanaman padi berumur tiga bulan), hingga mataq (panen setelah masa tanam padi lima-enam bulan).
Rey mengatakan, SAB dan diskusi-diskusi soal adat dan tradisi Bayan sejauh ini menjadi motor penggerak bagi warga untuk membangkitkan lagi spirit kebudayaan Bayan yang sempat hilang. Misi luhur ini, lanjutnya, kini mulai membuahkan hasil. Warga Dusun Plabasan, Desa Anyar, Kecamatan Bayan, misalnya, mengangkat kembali baris telek, yakni seni teater tradisional yang berkembang pada masa penjajahan Jepang. Seni teater itu selama satu dasawarsa lebih hilang. Seni tabih cungklik (kulintang) di Dusun Kebaloan, Desa Loloan, Kecamatan Bayan, yang puluhan tahun hilang kini muncul lagi di acara pernikahan.
Sejak gempa Lombok Juli-Agustus 2018, aktivitas SAB dan diskusi terhenti karena warga sibuk membenahi rumahnya yang rusak akibat gempa. Kini, pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas SAB dan diskusi tidak jalan lantaran warga diminta berdiam di rumah untuk memutus penyebaran virus korona baru.
Setelah pandemi berakhir, Rey optimistis SAB dan diskusi tradisi Bayan akan berjalan lagi. Pasalnya, warga jatuh cinta lagi kepada budaya adat dan tradisi leluhurnya.
Renadi
Lahir: Dusun Tempos Borok, 2 Juni 1982
Istri: Denda Ratnimes
Anak: Tari Firstena
Pendidikan:
SDN 1 Bayan (tamat tahun 1996)
SMPN 1 Bayan (1999)
SMAN 1 Bayan (2002)
Fakultas Pendidikan Jurusan Sejarah STKIP Hamzanwadi Selong, Lombok Timur (2020)