Agung Bawantara dan Maria Ekaristi, Duet Penggiat Film Dokumenter Nusantara
Duet asal Bali, Anak Agung Gede Rai Putra Bawantara (51) dan Maria Ekaristi (52), memelopori agar kaum muda tertarik menekuni pembuatan film dokumenter untuk lestarinya budaya Nusantara.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·4 menit baca
Sejarah kehidupan dan kebudayaan manusia akan berlalu begitu saja jika tak ada media yang merekamnya untuk masa depan. Semua hanya akan menjadi cerita dari mulut ke mulut belaka tanpa bukti ada rekaman gambar bergerak.
Berdasarkan pemikiran itu, duet asal Bali, Anak Agung Gede Rai Putra Bawantara (51) dan Maria Ekaristi (52), memelopori agar kaum muda tertarik menekuni pembuatan film dokumenter untuk lestarinya budaya Nusantara. Mereka juga menggagas Festival Film Dokumenter Denpasar sejak 2010.
”Virus pembuatan film dokumenter perlu digaungkan. Festival menjadi salah satu pilihan kami untuk menjadi daya tarik bagi anak muda kreatif. Toh, film dokumenter, terutama tentang Bali, telah ada sebelum kemerdekaan, seperti The Island of Demons (1931), Legong (1936), Bali The Lost Paradise (1939). Dan, film-film dokumentasi ini menjadi penting beberapa tahun kemudian,” kata Agung Bawantara, di Denpasar, Minggu (19/4/2020).
Lalu Agung bersama sahabatnya, Ekaristi, melahirkan Festival Film Dokumenter Denpasar (Denpasar Documentary Film Festival/DeDoFF) pada tahun 2010. Festival tersebut berlangsung rutin hingga tahun 2019 atau 10 kali penyelenggaraan. Agung dan Ekaristi optimistis kaum muda makin tertarik menekuni film dokumenter, terbukti dengan peserta festival yang tiap tahun bertambah.
Agung dan Ekaristi bercerita, penyelenggaraan DeDoFF bukannya tanpa jatuh bangun pada awal-awal dulu. Ide membuat festival film dokumenter tercetus ketika waktu itu di Bali dihebohkan beberapa video berisi beberapa orang asing yang dianggap menghina agama dan adat istiadat Bali. ”Kami prihatin dan sepakat untuk melakukan sesuatu agar siapa pun bisa memahami bagaimana budaya Pulau Bali,” ujar Ekaristi.
Kami prihatin dan sepakat untuk melakukan sesuatu agar siapa pun bisa memahami bagaimana budaya Pulau Bali.
Lalu keduanya berpikir, mengapa tidak menghidupkan pesan-pesan melalui film-film dokumenter. Tujuannya agar masyarakat dunia dapat memahami berbagai simbol hingga kebiasaan orang Bali, mulai dari bagaimana orang Bali bersembahyang hingga hal-hal lain yang dihormati dan disakralkan masyarakat Bali.
Film dokumenter dipilih karena film tersebut tidak hanya merekam suatu memori peristiwa tertentu, tetapi pembuatnya juga diharapkan memiliki kemampuan memasukkan konten yang lebih memberikan makna, klimaks, serta pesan. Festival film dokumenter pun dipilih untuk mengajak para sineas muda berkarya dan bersikap kritis.
Mimpi itu terwujud setelah mereka dipercaya Dinas Kebudayaan Bali menggelar festival film dokumenter ini. Tahun 2010, festival perdana berlangsung dan masuk agenda Pesta Kebudayaan Bali (PKB). Ketika itu, cakupan peserta masih terbatas di Bali saja. Namun, mulai tahun kedua, cakupan festival diperluas menjadi nasional dengan melibatkan juri-juri seperti Slamet Rahardjo, Rio Helmi, dan Lawrence Blair.
Tahun ketiga, festival ini tak lagi digelar Dinas Kebudayaan Bali. Yayasan Bali Gumanti yang didirikan Agung dan Ekaristis mengambil alih penyelenggaraannya. Mereka mendapat sokongan dana dari Pemerintah Kota Denpasar dan Arti Foundation. Nama festival pun diganti menjadi Denpasar Film Festival.
Sempat diragukan
Duet Agung dan Ekaristi tersebut bukan berarti tanpa kendala. Masalah klasik terkait pendanaan selalu membayangi. ”Entah mengapa, semua berjalan dengan baik dengan anggaran yang sangat pas-pasan. Banyak orang meramal hidup festival ini bakal pendek karena selalu tertatih-tatih,” kata Ekaristi.
Awalnya, teman-teman mereka berdua pesimistis apakah festival ini mampu populer dan memasyarakat. Ternyata, festival ini mampu menembus sejumlah kalangan di berbagai wilayah Nusantara serta menjadi rujukan beberapa daerah yang kemudian membangun festival serupa di daerahnya masing-masing.
Setiap tahun, dipilih lima film unggulan. Film-film pilihan itu pun diputar berkeliling ke seluruh kabupaten/kota di Bali. Memasuki tahun ke-10, Denpasar Film Festival berganti nama menjadi Denpasar Documentery Film Festival (DeDoFF).
Kedua sahabat ini menggandeng IGK Trisna Pramana sebagai manajer produksi festival tahun lalu. Trisna pun memberi warna lain festival dengan menggelar nonton bareng dengan layar yang dibentangkan di atas aliran sungai Tukad Bindu di tengah Denpasar.
Entah mengapa, semua berjalan dengan baik dengan anggaran yang sangat pas-pasan.
Menurut Agung, dialog kebudayaan perlu dibangun untuk memberi ruang interaksi antara pembuat dan penikmat film. Harapannya, festival film dokumenter ini mampu menyajikan ragam gagasan tentang kehidupan sosial dan kebudayaan secara luas untuk dinikmati dan dipahami.
Tahun 2019, Agung menjadi salah satu pendiri Asosiasi Dokumentaris Nusantara sebagai ruang bersama bagi para penggiat film dokumenter di Nusantara. Wadah ini diharapkan menjadi ruang kreatif untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitas anggota.
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini juga menjadi bagian agenda para dokumenter. Agung menambahkan, penggiat film dokumenter Nusantara diharapkan merekam secara bijaksana dan edukatif mengenai pandemi ini.
Baik Agung maupun Ekaristi bertekad bertahan sampai kapan pun agar festival film dokumenter ini saripatinya hadir untuk menyehatkan perikehidupan bersama. Lalu, ampasnya disisihkan untuk dijadikan pupuk bagi proses kreatif berkelanjutan. Terus, terus, dan terus.
AGUNG BAWANTARA
Nama lengkap: Anak Agung Gede Rai Putra Bawantara
Lahir: Klungkung, 30 Januari 1968
Pendidikan:
S-1 Fakultas Peternakan Universitas Mataram, NTB (lulus 1992)
Diploma Sinematografi PPHUI, Jakarta (lulusan terbaik, 1997)
Istri: Anak Agung Istri Mas Widyantari
Anak: Anak Agung Istri Sari Ning Gayatri, Anak Agung Gede Sembah Ning Hanat
MARIA EKARISTI
Nama: Maria Ekaristi
Lahir : Denpasar, 22 November 1967
Pendidikan : S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Udayana