Cletus Beru, Menjaga Tradisi, Membangkitkan Desa
Prihatin melihat seni budaya leluhurnya terancam terlupakan, 10 tahun lalu Cletus Beru (50) memilih mengakhiri perantauannya di Batam, Kepulauan Riau. Ia pulang ke Kampung Doka, Desa Uma Uta, Kabupaten Sikka, NTT.
Prihatin melihat seni budaya leluhurnya terancam terlupakan, 10 tahun lalu Cletus Beru (50) memilih mengakhiri perantauannya di Batam, Kepulauan Riau. Ia pulang ke Kampung Doka, Desa Uma Uta, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, untuk membangkitkan sanggar seni yang dibangun ayahnya.
Tidak hanya bergiat di seni budaya, ia juga membuat kampungnya menjadi desa wisata. Hasilnya, desanya pada 2018 menempati posisi lima terbaik dalam pengelolaan Community Based Tourism Desa Wisata Tingkat Nasional.
Meski Desa Uma Uta tak selalu mendapat kunjungan wisatawan, Cletus bersyukur sedikit demi sedikit upaya memajukan desa, baik dari sisi pendapatan, pendidikan, maupun budaya, mulai menampakkan hasil. Masyarakat di dalam dan luar negeri tidak hanya mengenal Kampung Doka sebagai desa wisata yang menyuguhkan seni dan adat suku Krowe, tetapi juga mengenal kain tenun ikat dari pewarna alam seperti zaman dulu.
Kini, di kampung tersebut, para tamu dengan mudah menemukan remaja putri yang sudah pandai menenun. Para mama dan anak perempuan yang pandai menenun pun mulai pintar membuat benang dari kapas lokal dan mewarnai benang dengan pewarna alam dari berbagai tanaman di desa itu.
”Bersyukur setelah 10 tahun pulang kampung, banyak terjadi perubahan. Ini di masa pandemi Covid-19, anak-anak perempuan banyak yang menenun di rumah karena mereka tidak belajar di sekolah,’’ ujar Cletus, Senin (8/6/2020), lewat aplikasi Zoom. Keberhasilan membuat kain ikat dengan pewarna alam berarti mengembalikan lagi budaya asli nenek moyang karena saat ini banyak penenun menggunakan benang dan pewarna pabrikan.
Cletus banyak berperan bagi kemajuan kampungnya. Padahal, ketika pulang kampung, ia hanya memikirkan keberadaan Sanggar Seni Doka Tawa Tana (artinya emas kehidupan yang sedang tumbuh) dan menyiapkan kehidupan istri-anaknya yang hingga kini masih tinggal di Batam. Setelah ayahnya, Karolus Djawa, meninggal, sanggar kurang terurus.
Sebagian besar abang dan kakak Cletus tinggal di kampung, tetapi belum intens mengurusnya. ”Waktu itu saya buka usaha di Batam, tetapi menurut saya, Batam tak lagi bagus untuk berbisnis. Lebih baik pulang kampung menyiapkan kehidupan buat keluarga dan mengurus sanggar,’’ katanya.
Melihat potensi alam dan budaya sukunya, jiwa wirausaha anak keempat dari tujuh bersaudara itu tertantang. Ia membuat berbagai program untuk memajukan sanggar sekaligus mengenalkan kembali budaya sukunya kepada generasi muda. Ia menghidupkan pembuatan kain tenun ikat dari benang kapas hasil bumi sendiri dan mewarnainya dengan aneka daun, akar, dan umbi tanaman yang ada di kampungnya.
Pengetahuan membuat pewarna alam dari kunyit atau buah mengkudu, misalnya, ia pelajari secara tak sengaja dari ibunya, Karolina Kleruk. Semasa kecil, lelaki yang selalu bersarung ikat dengan tas dari anyaman pandan tersebut kerap membantu sang mama membuat pewarna alam untuk benang.
Ia juga tahu cara mengolah kapas untuk dipintal menjadi benang dan cara menenun kain ikat walau tak mempraktikkan. Menurut adat, menenun kain adalah pekerjaan perempuan. Walau demikian, Cletus paham berapa kali harus mencelup benang dari kapas yang seratnya besar dan kasar agar mendapat warna bagus.
Pengetahuan itulah yang ia tularkan kepada anggota sanggar. Karena tak mungkin sendirian menularkan pengetahuan, ia mendatangkan penenun sepuh dari kampung lain untuk mengajar warga di kampungnya.
Menyambut turis
Cletus kemudian lebih banyak mengurus persiapan menyambut turis yang akan datang ke kampungnya. Ia juga mengatur jadwal anggota sanggar yang bertugas dan boleh menjual kain tenun ikat karyanya. ”Harus diatur bergiliran. Kalau tidak, mereka akan berebut menjual kain ke tamu sehingga memberi kesan kurang baik kepada tamu,’’ ujarnya.
Kemampuan berbahasa Inggris yang baik juga membuat ia mencari terobosan mengenalkan seni budaya kampungnya kota-kota besar di Indonesia dan mancanegara. Cara mengenalkan budaya ia lakukan lewat pameran kain tenun ikat. Setiap kali ikut pameran, Cletus selalu membawa salah satu penenun dari desanya untuk praktik membuat kain dengan perlengkapan seperti alat pintal benang dan bahan pewarna alam yang mereka pakai.
Kepada para pengunjung yang melihat kain yang ia pajang, bapak dua anak itu selalu menceritakan budaya membuat kain tenun itu. Saat berpameran di Toserba Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Februari lalu, dengan sabar ia menjawab pertanyaan pengunjung tentang cara membuat kain tenun ikat seperti yang ia jual.
Pembeli kain berharga dari Rp 200.000 hingga puluhan juta rupiah per lembar dalam pameran itu memang tidak banyak. ”Walau kurang laku, saya senang bisa mengenalkan adat kampung saya kepada pengunjung. Biar mereka tahu,’’ katanya.
Semua batal
Perihal kehidupan di kampungnya dalam masa pandemi ini, Cletus menceritakan, sudah empat bulan Kampung Doka sepi. Tak ada kunjungan turis dalam dan luar negeri. Biasanya ada saja turis yang datang, terutama pada April hingga Oktober, yang menjadi puncak kunjungan turis.
Warga sudah siap menerima puluhan rombongan turis asing, tetapi wabah korona membuat rencana kunjungan mereka batal. Itu artinya sekitar 100 keluarga yang menjadi anggota Sanggar Doka Tawa Tana kehilangan kesempatan menambah pendapatan.
Kehadiran turis membuat anggota sanggar seni mendapat pekerjaan menari, main musik, hingga menjadi pramuwisata yang menunjukkan seni budaya dan kekayaan alam kampung itu. Warga juga bisa mengenalkan makanan lokal serta menjual barang anyaman berupa tas dan kain tenun ikat karya mereka. ”Semua tamu dan grup tur membatalkan pesanan kunjungan ke sini. Sepertinya tak ada harapan untuk tahun ini,’’ ucap Cletus.
Warga Kampung Doka yang tinggal di kawasan pegunungan itu lalu sibuk berkebun. Hasil ladang berupa umbi-umbian dan sayur menjadi andalan kebutuhan makan.
Di sela-sela berladang, Cletus mengajak anak muda berkarya. Ia menciptakan lagu-lagu dalam bahasa daerah Krowa (bahasa sukunya) berjudul ”Wae Heleng Jaga Agang Nian Tana”. Lagu itu mengisahkan keprihatinan mereka terhadap dampak virus korona.
Lewat lagu tersebut Cletus juga mengingatkan warga untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, dan sering mencuci tangan dengan sabun agar terhindar dari virus korona.
Lagu tersebut dibuat menjadi video pertunjukan musik dan tarian yang dibawakan anggota Sanggar Doka Tawa Tana. Video lalu mereka unggah ke YouTube. ”Lagu itu merupakan tolak bala bagi kampung kami agar meski ada bencana dahsyat, kami tetap bisa melaluinya dengan baik,” kata Cletus.
Sengaja ia buat dalam bahasa daerah karena tak semua warga kampung paham bahasa Indonesia. Di sisi lain ia ingin tetap menjaga bahasa daerahnya agar generasi muda tetap paham bahasa ibunya.
Cletus masih menyimpan keinginan menjadikan rumah warga sebagai penginapan bagi turis agar mereka bisa merasakan kehidupan di kampungnya. Pandemi membuat niat tersebut untuk sementara tertunda. (TRI)
Biodata :
Cletus Beru
Lahir: Kampung Doka, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, 28 Agustus 1969
Istri: Endang Setyowati
Anak: Gabriela Duá Lege Lora dan Agnes Stella Maria
Pendidikan: Eks Seminari Tinggi Pasionis, Malang