Setia Menjaga Terowongan Air di Tebing Gunung Slamet
Kusnanto dan Agus Salimin setia merawat saluran dan terowongan air di lereng Gunung Slamet, Banyumas, Jawa Tengah, yang menghidupi warga di enam desa.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Lima tahun terakhir, Kusnanto (60) dan Agus Salimin (48) tekun merawat saluran irigasi di perbukitan Gunung Slamet, Jawa Tengah. Kadang mereka bertaruh nyawa saat membersihkan irigasi yang menembus terowongan gelap sepanjang 550 meter. Hal itu mereka lakukan agar petani di sejumlah desa mendapat air.
Berada di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut, terowongan air Tirtapala tampak sebagian dari pelataran parkir wisatawan Curug Gomblang. Aliran airnya yang berasal dari hulu Sungai Logawa cukup deras. Terowongan ini berkelok-kelok mengikuti kontur tebing perbukitan kaki Gunung Slamet.
Hari itu, Jumat (28/1/2022), Kusnanto dan Agus menyusuri terowongan air yang lebarnya hanya sekitar 80 sentimeter dan tinggi 160 sentimeter itu. Mereka hanya berbekal senter yang dipasang di kepala. ”Dalam seminggu dua atau lima kali masuk ke terowongan untuk membersihkan jalur, mengambil batu yang jatuh, atau membersihkan semak belukar yang tumbuh di sekitarnya,” kata Agus.
Tugas itu terkesan sederhana meski kenyataannya perlu keberanian ekstra. Betapa tidak, saat berada di dalam terowongan banjir dan longsor bisa terjadi kapan saja, terutama di musim hujan. Kusnanto mengisahkan, sekitar 1992, longsor pernah menyumbat aliran irigasi.
Sedimentasi tanah yang menumpuk hingga 1 meter di terowongan membuat Kusnanto dan Agus harus merangkak atau merayap agar bisa masuk ke hulu terowongan. ”Sebetulnya ada rasa khawatir dan waswas terjadi longsor di dalam. Tapi karena sudah tanggung jawab kami berdua, ya tetap kami jalani,” kata Kusnanto.
Untuk tugas ini, Kusnanto dan Agus masing-masing diberi upah Rp 350.000 per bulan. Sebelumnya, upah mereka bahkan hanya Rp 250.000. Uang itu pun sebagian mereka pakai untuk membeli peralatan kerja seperti senter dan sabit.
”Bagaimanapun kami sudah dipercaya meski bayarannya tidak seberapa. Saya juga butuh air, orang-orang butuh air. Saya pikir (tugas) ini sebagai wujud ibadah,” ujar Agus yang tidak mempersoalkan upahnya yang kecil.
Agus mengaku ikut menikmati air dari aliran irigasi sepanjang 2,5 kilometer ini. Sawahnya seluas 25 ubin mendapat air dari irigasi ini. Namun, untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus, Agus tidak bisa memanfaatkan air dari irigasi lantaran lokasi rumahnya di RT 005 RW 004 Desa Kalisalak terletak jauh dari bak penampungan air bersih dari irigasi ini.
Sementara itu, Kusnanto sama sekali tidak menikmati aliran air irigasi yang rutin ia rawat. Pasalnya, ia tidak punya sawah. Rumahnya di RT 003 RW 004 juga jauh dari irigasi. Sebagaimana Agus, ia mengandalkan air dari mata air di hutan untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus.
Pekerjaan yang dijalankan mereka berdua tidak main-main. Pasalnya, kelancaran air dari saluran irigasi itu langsung berpengaruh pada nasib para petani di enam desa, yakni Kalisalak, Baseh, Windujaya, Kalikesur, Keniten, dan Dawuhan. Semuanya berada di Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas.
Ketua Paguyuban Pelestari Terowongan Air Tirtapala (Palestari) Tri Agus Triyono menjelaskan, irigasi itu mengalirkan air ke 600 hektar sawah. ”Jika tidak dirawat, ada enam desa yang akan mengalami krisis air baik untuk pertanian maupun air bersih,” tuturnya.
Menurut Triyono, dulu Terowongan Air Tirtapala dibangun tahun 1950-an. Sebelum ada terowongan air, petani di Desa Kalisalak dan Windujaya mengandalkan air hujan untuk sawah mereka sehingga mereka hanya bisa panen satu kali setiap tahun. Agar bisa mendapatkan air irigasi, petani di dua desa itu berusaha menggabungkan air Sungai Logawa dan Sungai Cangkok. Caranya antara lain dengan membuat irigasi dan terowongan ini.
Terowongan dan saluran irigasi ini, kata Triyono, dirintis oleh delapan orang yang disebut warga sekitar sebagai Hastapala atau delapan pahlawan. Mereka adalah Sanbasri, Tadirana, Darwan, Sanwiraji, Ngalireja, Sadirana, Suwardi, dan Sumardi.
”Saat ini kami sedang mengumpulkan artefak alat-alat pembuatan terowongan ini untuk dijadikan (koleksi) museum. Kami juga akan menghidupkan lagi kegiatan nyadran kalen atau terowongan sebagai wujud syukur warga atas keberadaan saluran air ini,” kata Triyono.
Paguyuban Pelestari Terowongan Air Tirtapala berencana merevitalisasi saluran air dan terowongan yang sudah terancam sedimentasi hingga 1 meter bersama pemerintah daerah dengan membuat pintu air sebagai kontrol debit air. Dengan begitu, proses pembersihan sedimentasi bisa aman dilakukan. ”Di terowongan ini ada 14 jendela yang dulu dipakai untuk masuknya udara dan membuang galian. Kini ada dua jendela yang terpaksa ditutup karena ada sedimentasi. Kalau tidak ditutup, air bisa luber ke luar dan air tidak sampai ke desa,” katanya.
Kesetiaan Kusnanto dan Agus Salimin bersama paguyuban Palestari ini menjadi harapan bagi keberlangsungan irigasi yang menghidupi warga di di lereng selatan Gunung Slamet. Bagaimanapun irigasi ini mengalirkan sumber kehidupan.