Surat Kepada Redaksi
Filosofi Jalan Raya
Saya termasuk salah satu pengguna kendaraan roda empat sekaligus menjadi sopir. Karena tuntutan aktivitas, hampir setiap hari saya melewati Jalan Jatibaru, jalan di depan Stasiun Tanah Abang, Jakarta, sebelum ditutup oleh Gubernur DKI Jakarta pada 22 Desember 2017.
Walaupun setiap pagi saat itu saya kesal atas ulah pengemudi angkot yang terkadang sangat menghambat perjalanan, juga para penyeberang jalan dari stasiun yang seolah tidak bisa diatasi oleh petugas satpol PP dan dishub, waktu tempuh menuju daerah Cideng jauh lebih pendek. Saya lebih cepat sampai dibandingkan dengan setelah penutupan jalan saat ini karena harus memutar jalan, mencari alternatif jalan lain.
Saya memang belum pernah memberikan masukan kepada Pemprov DKI untuk solusi ”kesemrawutan” ini. Tetapi, dalam benak saya, paling tidak, ada ide. Misalnya, membuat jembatan penyeberangan dengan eskalator, menertibkan angkot-angkot yang ”ngetem” dengan sanksi tegas, dan mencarikan lahan untuk area parkir angkot. Saya tidak habis pikir, kok solusinya malah tiba-tiba jalan ditutup untuk pedagang kaki lima (PKL). Sampai saat ini saya belum paham filosofinya.
Kalau saya, sederhana saja pemikirannya. Bahwa panjang ruas jalan yang tersedia sangat jauh tertinggal dibanding peningkatan jumlah kendaraan. Mustahil dengan keterbatasan lahan dan dana yang ada bisa mengatasi kemacetan lalu lintas dengan menambah panjang ruas jalan. Lha, ini malah ruas jalan yang ada dikurangi panjangnya dengan menutup Jalan Jatibaru. Aneh.
Usul lain untuk mengatasi ”kemacetan” lalu lintas di DKI adalah mempercepat sarana dan prasarana angkutan massal. Di antaranya, memperbanyak dan memperbaiki jumlah dan kualitas angkutan umum. Buat angkutan umum feeder yang bisa menjangkau perumahan dan tempat parkir yang luas dekat terminal-stasiun. Ini usulan strategis sebagaimana omongan para pakar.
Maksimalkan prasarana jalan yang ada, misalnya lebar jalan dan trotoar yang proporsional, pengaturan lampu lalu lintas dengan teknologi masa kini dan dipantau setiap saat, serta kehadiran polisi pada pagi-sore untuk menertibkan pengguna lalu lintas dengan integritas tinggi.
Sutanto Harsono
Jalan Merpati I, Bintaro Jaya, Jakarta Selatan
Unggah-ungguh ”Empan Papan”
Rubrik Bahasa Kompas (13/1) memuat uraian Prof André Möller dari Swedia mengenai sapaan berbahasa Indonesia yang sok akrab atau kasar.
Ia menceritakan pengalamannya ketika berkomunikasi lewat internet. Seorang perempuan ”asisten virtual” selalu memanggil Pak Andre dengan sebutan kamu. ”Jangan lupa, daftarkan nomor kamu ya.…”
Kejadian lain, seorang pramugari bertanya, ”Kamu mau minum kopi?” Bahkan, saat di hotel, petugas memberi tahu: ”Kamu bisa menikmati sarapan dari pukul enam pagi.”
Agaknya, di ”zaman now” tidak sedikit penutur bahasa Indonesia yang mengabaikan rasa dan etika berbahasa, dalam bahasa Jawa unggah-ungguh ketika berhadapan dengan orang tua, guru, ataupun pribadi yang pantas dihormati. Bukan dengan sebutan kamu, yang tepat menggunakan kata: bapak/ibu atau Anda.
Pada berita hasil jajak pendapat sekitar pemilu yang disiarkan televisi, terbaca pertanyaan: ”…setuju atau tidak setujukah kamu?” Penyelenggara survei rupanya alpa bahwa tidak semua pemirsa akrab dengan dirinya. Mengabaikan empan papan juga dapat dijumpai di iklan media cetak dan digital.
Dua sahabat akrab saling sapa dengan ”Lu gue”. Namun, dalam pertemuan formal (resmi), lebih santun jika mereka menyapa dengan ”Anda” dan ”saya”. Mengapa? Karena ini mengabaikan situasi-kondisi (empan papan), tidak elok.
Selain hal di atas, saya senang ada rubrik Kata sehalaman dengan rubrik Bahasa.
Waloejo DS
Depok Lama Alam Permai,
Pancoran Mas, Kota Depok