Mengenal Budaya Minum Nusantara
Minuman tradisional yang mengandung alkohol memiliki nilai budaya tersendiri. Sebuah identitas budaya warisan berabad-abah silam.
Minuman beralkohol tradisional memiliki tempat penting dalam praktik kehidupan sejumlah suku bangsa di Indonesia. Kehadirannya menguatkan ikatan spiritual dan sosial. Pada era kekinian, produk budaya ini pun mengambil peran dalam kemajuan di aras lokal.
Minuman berkadar alkohol perlu mendapatkan perlakuan yang adil dalam diskursus sosial dan budaya saat ini. Alkohol menyimbolkan spiritualitas dan kekerabatan di sejumlah kelompok masyarakat di Indonesia.
Alkohol tradisional juga merupakan diversifikasi produk dari bahan baku yang melimpah. Dengan perhatian yang tepat, minuman berkadar alkohol tradisional dapat menyokong ekonomi masyarakat lokal.
Minuman berkadar alkohol perlu mendapatkan perlakuan yang adil dalam diskursus sosial dan budaya saat ini.
Dalam buku “Budaya Minum di Indonesia” (2022), sejumlah akademisi memotret peran minuman beralkohol yang memediasi laku spiritual, sosial, hingga ekonomi. Dalam konteks ini, alkohol tampil berkebalikan dari pandangan umum yang sering mengaitkannya dengan kriminalitas.
Dari sisi spiritual, minuman alkohol tradisional menjembatani hubungan manusia dengan leluhur atau penguasa alam. Minuman dipersembahkan dan juga dinikmati bersama dalam porsi yang cukup sebagai ungkapan syukur.
Tidak hanya sisi spiritual, alkohol tradisional sekaligus menjadi simbol status sosial. Misalnya saja kedudukan moke ba’i dalam upacara leluhur keda kanga pada Orang Lio di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tempo dulu, moke ba’i lebih sering dikonsumsi dalam upacara adat. Jika tidak ada, upacara dianggap tidak sah. Ketersediaannya yang terbatas menjadikan moke ba’i sebagai barang konsumsi bernilai tinggi. Dengan begitu, keluarga yang dapat menyediakan minuman ini secara simbolik menyatakan diri lebih berpengaruh dan berkuasa.
Alkohol tradisional juga menjadi produk budaya yang mampu menjalin ikatan sosial di tengah perbedaan. Dalam Legen dan Tuwak: Identitas Kultural Masyarakat Tuban (2022), penulis menyebut budaya minum legen dan tuwak hidup di tengah nuansa kesantrian yang plural dan egaliter di Tuban, Jawa Timur.
Legen dan tuwak dikonsumsi lintas usia dan gender yang turut menciptakan jaringan sosial yang dikenal dengan bolo ngombe (teman minum). Jejaring ini dianggap efektif untuk pertukaran informasi dalam mencari pekerjaan.
Tuwak juga mengambil peran dalam produktivitas warga Tuban, khususnya bagi pekerja berat seperti petani dan buruh. Tuwak dikonsumsi dalam porsi yang terukur untuk menambah energi, mengurangi rasa lapar, dan memulihkan stamina.
Manfaat minuman lokal beralkohol sebagai penambah daya tubuh juga terekam pada masyarakat Buton. Suku bangsa pelayar ini mengonsumsi ara’ atau arak yang dihasilkan dari melimpahnya pohon aren dan enau di daerah mereka.
Dengan takaran yang tepat, konsumsi minuman tradisional dapat bermanfaat bagi kesehatan dan produktivitas. Lebih lagi, keterjangkauan produk ini membuat alkohol berkualitas dapat pula dikonsumsi oleh kalangan bawah.
Hal ini terungkap salah satunya di Kupang, NTT. Laru dari nira lontar menjadi minuman beralkohol yang terjangkau dibandingkan produk alkohol lainnya. Sebagai gambaran, laru dijual seharga Rp 15.000-20.000 per 1,5 liter. Dengan meminum secara bertahap, lalu memberikan energi bagi tubuh dan tidak membuat mabuk (Kompas 22/11/2021).
Baca juga : Minuman Tradisional, dari Budaya hingga Ekonomi
Alkohol tradisional
Setidaknya terdapat dua jenis pengolahan minuman berkadar alkohol yang umum dipraktikkan masyarakat lokal, yakni fermentasi dan destilasi. Bahan baku yang digunakan juga merupakan bahan mentah yang berlimpah di daerah tersebut. Umumnya berasal dari tanaman keluarga palem seperti enau atau kelapa. Bahan baku juga bisa berasal dari beras atau singkong.
Di Indonesia, beberapa minuman alkohol dari hasil fermentasi dikenal dengan nama baram, brem, ballo, moke, legen, laru, saguer, sageru, tuo mbanua, dan tuak. Cairan yang dihasilkan dari proses ini berwarna putih susu dan umumnya berkadar alkohol tidak lebih dari 20 persen.
Sementara itu, jenis minuman dari hasil distilasi diantaranya adalah arak, anding, ciu, lapen, tuo nifaro, swansrai, dan sopi. Dengan distilasi, minuman yang dihasilkan memiliki kadar alkohol lebih tinggi. Distilasi dapat dilakukan hingga tiga kali sampai mencapai kadar alkohol 90 persen. Semakin bening air yang dihasilkan, harganya pun semakin mahal.
Di antara jenis minuman tradisional di atas, sopi mendapatkan tempat istimewa karena kepopulerannya. Sopi merupakan pengucapan lokal dari bahasa belanda zoopje yang berarti alkohol cair. Sopi adalah minuman alkohol tradisional ikonik dari Sulawesi Utara, Maluku, dan NTT.
Di Sulawesi Utara, sopi dikenal luas dengan nama cap tikus. Dalam Cap Tikus: Identitas Orang Minahasa (2022), sejumlah folklor menyebut nama cap tikus berasal dari banyaknya tikus yang yang hidup di pohon seho atau enau yang menjadi bahan baku sopi. Versi kedua menyebut nama tersebut terinspirasi dari gambar tikus pada botol anggur putih asal Eropa yang kala itu makin sulit didapat.
Sementara itu, perjalanan Kompas di Sulawesi Utara pada Januari 2022 mendapat sejumlah cerita bahwa nama cap tikus mencerminkan wajah orang-orang yang tengah meminum sopi yang sedikit mabuk dan nampak seperti tikus.
Di masa kini, sopi masih memegang peran penting dalam acara adat Orang Minahasa, misalnya untuk seremoni pemasangan tiang utama dan peresmian rumah baru.
Baca juga : Ikhtiar Bali Mengangkat ”Kasta” Minuman Khasnya
Ekonomi
Sopi, dalam hal ini cap tikus, juga menjadi produk pariwisata yang mewujud lewat destinasi dan produk ikonik asal Sulawesi Utara. Cap tikus dan saguer ditawarkan sebagai sajian utama di destinasi wisata Tuur Maasering, Tomohon, Sulawesi Utara.
Pengunjung dapat menemukan instalasi gubug dengan tungku, kuali, dan alat-alat lain yang digunakan untuk memproses nira enau menjadi sopi. Destinasi ini terbuka untuk umum dan segala usia. Lokasinya yang berada di lereng bukit turut menawarkan panorama alam dan kekhasan Tomohon.
Cap tikus yang awalnya diolah dan dikembangkan secara kerakyatan pun masuk ke pasar secara legal. Pada 2019 Pemkab Minahasa Selatan menghubungkan PT Cawan Mas dengan petani Cap Tikus yang melahirkan produk sopi dengan merek Cap Tikus 1978 (Kompas 20/11/2021).
Langkah “meresmikan” produk minuman berkadar alkohol lokal ini juga dilakukan oleh Gubernur NTT Viktor Laiskodat. Pada 2020, Pemprov NTT bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendana untuk memproduksi laru putih menjadi minuman beralkohol dengan merk Sophia.
Alkohol tradisional sebagai produk budaya patut mendapatkan perlindungan. Tidak hanya melindungi pengetahuan lokal, namun juga identitas budaya yang telah melekat sejak berabad-abad silam. Kriminalitas yang bersumber pada alkohol tradisional nyatanya bukan persoalan dari alkohol itu sendiri, tetapi perilaku konsumsi yang tidak bijaksana. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kisah Panjang Minuman Lokal Nusantara