Pabrik Cerita Salman Aristo
Si kucing ikut menyelusup ke ruangan rapat yang dindingnya berhias kata-kata penguatan seperti ”Writers Read this! 5 screenwriting skill sets....” dan ”This is how we do it! 1. tepat waktu. Hargai komitmen orang lain. 2. dst...”
Kami menemukan Salman di ruangan itu. Penulis skenario produktif yang juga pendiri Wahana Kreator Nusantara itu berbalut bercelana jin berpadu kemeja, santai sekaligus resmi.
”Sehari-hari, ya, saya kebanyakan menulis dan meeting (rapat) di sini,” ujar Salman. Wahana Kreator merupakan development company, ibaratnya pabrik cerita. Dia dan rekan-rekannya menulis, memberikan konsultasi, ataupun mendampingi penulis untuk mengembangkan cerita terutama untuk produk audiovisual, termasuk layar lebar, yang umum dibutuhkan produser. Di sana juga, kelas menulis skenario Plot Points bertempat.
Belasan tahun berkecimpung di dunia itu, Salman berkali-kali menulis untuk film laris, sebut saja Laskar Pelangi dengan lebih dari 4 juta penonton dan mendongkrak pariwisata di Bangka Belitung. Ada juga Garuda di Dadaku dan Ayat-Ayat Cinta yang meraup jutaan penonton. Lewat skenario Athirah, Salman (bersama Riri Riza) mendapatkan Piala Citra Festival Film Indonesia untuk skenario adaptasi terbaik pada 2016.
Saat ini, kisah Bumi Manusia, novel karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang tengah memenuhi pikiran Salman. Penulisan naskah untuk layar lebar sudah bergerak ke draf empat. Perdebatan terlama justru saat awal, seputar sudut pandang yang akan dipilih. ”Sejauh ini, dipilih dari sudut pandang Minke,” ujarnya.
Bumi Manusia, bagi Salman, berbeda dengan berderet naskah skenario adaptasi novel yang pernah dikerjakannya, seperti Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy). Kata Salman, ketika mengadaptasi, ada ungkapan you don’t owe anything from the previous work, sebagai gambaran betapa penulis atau pembuat film punya kebebasan penuh mengolah karya. Berkali-kali Salman mengambil kebebasan itu. Kali ini, dia ngotot menempuh cara berbeda.
”Saya mau merayakan visi penulis, merayakan Pram. Tentu akan ada perubahan ketika memindahkan teks menjadi audiovisual, tetapi setidaknya fondasinya dari sudut pandang novelis dulu,” ujarnya yakin dengan suara yang selalu bertenaga.
Beberapa waktu sebelum Pramoedya Ananta Toer mengembuskan napas terakhir pada April 2006, Salman sempat mewawancarai Pram untuk Playboy Indonesia. Saat itu, Salman masih di dunia menulis yang lain, jurnalistik.
Hidup dari menulis
Menulis menjadi napas kehidupan Salman. Sejak lulus dari Jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Bandung, Salman malang melintang menjadi jurnalis di sejumlah media, mulai dari reporter hingga managing editor. Namun, dunia film pun telah lama memikatnya.
Sejak umur lima tahun, pria berdarah Minang itu gemar menonton film. ”Entah mengapa, anak lima tahun suka masuk bioskop yang gelap dengan suara menggelegar tanpa takut. Saya malah terpikat dan masuk ke dalam cerita. Impresi itu tak bisa hilang. Film adalah medium dengan kekuatan luar biasa dan bisa menimbulkan perubahan,” ujarnya.
Tahun 2003, dia mulai belajar menulis skenario sambil terus bekerja di media. Skenario ketiganya, Brownies, merupakan skenario pertama yang diproduksi dan tayang. ”Dua lainnya, Tak Pernah Kembali Sama dan Ketika Esok Tiba sampai sekarang, ya, enggak jadi. Itu biasa, produksi film tergantung banyak faktor.
Dia merasa punya nilai lebih sebagai penulis skenario yang juga wartawan. Sampai kemudian situasi kian rumit. ”Ketika saya menjadi managing editor dan absen dalam rapat redaksi, saya merasa situasi sudah tak terkendali,” kata Salman.
Sebetulnya, pada 2008, Salman telah memutuskan berhenti menjadi wartawan, tetapi tidak pada awal tahun lantaran mempertimbangkan istrinya, Ginatri S Noer, sedang hamil anak pertama. ”Saya ingin memastikan dulu semuanya aman. Tetapi, Januari saya terkena layoff. Media tempat saya bekerja tutup,” kenang Salman.
Masa itu menegangkan bagi Salman. ”Anak saya mau lahir, bisa dibilang nyaris tidak ada apa-apa,” ujarnya. Beruntung tahun itu pula Salman mulai merasakan buah kerja keras di dunia film. Beberapa waktu kemudian film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi tayang dan menggaet jutaan penonton. Dalam perjalanannya, Salman merambah menjadi sutradara dan produser.
Dunia jurnalistik terbawa jejaknya ke lahan baru. ”Disiplin jurnalistik, seperti mentalitas kerja di bawah tekanan, rongrongan tenggat, dan riset tetap terpakai,” kata Salman. Untuk film Catatan Akhir Sekolah (2005), Salman menyempatkan mengamati perilaku remaja selama dua bulan. Ketika mengerjakan naskah film Sang Penari (adaptasi karya Ahmad Tohari), dia riset sekitar 2,5 tahun.
Posisi skenario
Bagi Salman, skenario berperan vital dalam industri film komersial. ”Satu-satunya dokumen yang digunakan oleh pekerja film dari berbagai disiplin, mulai dari sutradara, aktor, tata artistik, editor, produser, pembuat musik, penata cahaya, dan sinematografer. Semua menggunakan berkas yang sama,” ujar ketua PILAR (Penulis Indonesia Untuk Layar Lebar) itu. Asosiasi itu beranggotakan sekitar 80 penulis. Terlebih lagi, saat ini jumlah produksi film Indonesia dan penontonnya meningkat.
Salman sempat resah ketika awal masuk ke industri film dan mendapati betapa kurangnya jumlah penulis skenario. ”Awal saya masuk industri ini, dalam setahun sudah nulis enam skenario! Ada yang enggak beres. Anak baru begini dapat enam kerjaan.”
Dia menduga kemungkinan pengetahuan teknis menulis skenario belum tersebar dengan baik. Salman lalu mulai menyelenggarakan workshop. Bersama istrinya, Ginatri, yang juga penulis skenario, dan rekan-rekannya, mereka sempat mengontrak kos-an sebagai tempat kursus pada akhir pekan. Kelas itu berjalan hingga sekarang. Salman bersama Arief Ash Shiddiq juga menulis buku Kelas Skenario; Mewujudkan Ide Menjadi Naskah Film yang diluncurkan 21 Februari lalu.
Meskipun telah menghasilkan beragam skenario, mengajar, menulis buku, menyutradarai, bahkan menjadi produser film, Salman tak merasa sudah menggenggam resep film sukses. ”Ada juga film saya yang enggak sukses meskipun pakai formula sama. Bikin film bagus dan film laku itu tidak selalu menempuh jalan yang sama, ” ujarnya.
Dia lalu teringat ungkapan salah satu tokoh perfilman. ”Walau boleh jadi terasa mendangkalkan, tetapi dia menempatkannya dengan pas. Konon bikin film yang bagus dan yang laku itu seperti mau jadi pintar atau cakep. Enggak bisa bilang, gue sudah belajar, tapi enggakganteng atau gue sudah make-up, kok, gue nggak naik kelas. Paling tidak sekarang saya bisa membumikan situasi. Idealnya, keduanya memang berjalan bersama,” ujarnya.