Menyimpangkan Diri
Ia menyebut cara berkeseniannya bukanlah menari, bukan pula berteater, melainkan sebuah ”performans” dengan menyimpangkan diri untuk mencapai alternatif baru demi mengkritisi posisi seniman dalam lingkungan sosial politiknya, termasuk menyangkut institusi-institusi konvensional secara luas seperti dunia pendidikan.
Ia adalah Melati Suryodarmo (49), perempuan kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah. Ia telah melanglang ke sejumlah negara untuk memanggungkan performans-performans-nya itu. Performans menjadi salah satu pengembangan kesenian yang berbasis pada berbagai cabang kesenian, seperti tari, teater, seni rupa, dan musik. Cuma performans lebih banyak bertumpu pada pengembangan konteks gagasan.
Di kediamannya, Studio Plesungan, Karanganyar, Jawa Tengah, awal April 2018, Melati bertutur tentang konsep berkeseniannya. Sejak kecil, ia sudah berada di habitat dunia seni gerak tubuh melalui asuhan ayahnya, Suprapto Suryodarmo (72).
Ayahnya pendiri taman budaya desa di Plesungan. Ia mendirikan Padepokan Lemah Putih di Desa Plesungan, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Suprapto dikenal sebagai penggagas olah gerak Joget Amerta, seni gerak tubuh.
Melati menempuh studi S-1 di Universitas Padjadjaran, Bandung, hingga ia lulus tahun 1994, kemudian menikah dan menetap di Jerman. Di berbagai pentas di banyak negara, ia kerap membuat kejutan melalui pemikiran dan kontekstual karya-karya performans-nya. Gerak tubuhnya kadang sederhana, tetapi ditampilkan dalam durasi lama.
Satu contoh pada 2015, Melati menampilkan performans berjudul I am a Ghost in My Own House atau Aku Hantu di Rumahku Sendiri di Singapura. Pada performans yang berdurasi 12 jam itu Melati menggilas arang di atas batu hingga baju di tubuh dan sekelilingnya berubah warna dari putih menjadi hitam. Ia sendiri menyadari, performans-performans-nya tidak mudah dipahami publik. Namun, performans itu memiliki kedalaman pemikiran yang kontekstual.
Periode 1994 hingga 2001, Melati menuntaskan studi seni pertunjukan dan seni patung di Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman. Kemudian, dia melanjutkan sampai ke jenjang master di perguruan tinggi yang sama.
Selama menempuh pendidikan seni di Jerman, dua orang yang berpengaruh di dalam setiap karya performans-nya adalah Prof Anzu Furukawa dari Jepang dan Prof Marina Abramovic dari Serbia. Di tangan Melati, berkesenian tidak lagi sederhana.
Apa maksud menyimpangkan diri untuk mencapai alternatif baru?
Sebetulnya, tidak ada sesuatu yang baru di dalam seni. Kita tidak sadar, ketika menjalani hal-hal yang baru bagi kita di dalam dunia seni itu seolah-olah mencipta sesuatu yang baru. Namun, di masa-masa sebelumnya bukan mustahil itu pernah dilakukan seniman lainnya.
Seperti apa contohnya?
Begini. Beberapa waktu lalu saya mementaskan performans saya di Museum Macan (Modern and Contemporary Art in Nusantara), Jakarta. Dengan menggunakan media air berwarna hitam, saya menyemburkan air itu ke dinding. Dinding-dinding itu berubah menjadi hitam. Ini seperti apa ”warna” yang keluar dari mulut kita akan membentuk warna yang sama di sekeliling kita.
Ketika mulut kita mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, akan memengaruhi lingkungan sekitar kita menjadi tidak baik pula. Lalu, ada yang mengatakan, performans seperti itu pernah dilakukan seniman lain. Dicontohkan, mereka antara lain seniman dari Amerika Serikat, Yvonne Rainer, pada era 1960-an. Kemudian ada yang lainnya, dari Amerika Serikat juga, John Cage, dan dari Jerman, Joseph Beuys.
Bagaimana dengan hal menyimpangkan diri?
Saya menyimpangkan diri dengan mengkritisi peran tubuh. Tubuh kembali ke tubuh. Gerak tubuh menjadi performans dan performans itu bukan menjadi tari. Bukan pula menjadi teater.
Tubuh kembali ke tubuh? Apa maksudnya?
Mari, kita lihat penampilan seni tari. Di situ memiliki orientasi menampilkan hiburan. Orientasinya, entertainment. Akan tetapi, lihatlah publik yang menikmati. Sesungguhnya orang-orang yang datang itu dengan bekal pengetahuan yang berbeda-beda. Mereka tidak diajak untuk mengembangkan pemaknaan sendiri sesuai bekal masing-masing. Performans bisa dikatakan sebagai karya seni tari, tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Pemaknaan tumbuh dengan sendiri dengan bekal masing-masing yang dimiliki para penikmatnya. Performans itu menampilkan tubuh yang kembali ke tubuh. Ada peleburan di situ. Sifatnya imaterial, bukan material. Ini sebuah pendekatan yang paling penting. Performans ada di batas rasa dan batas pikir. Ia tidak ingin menjelas-jelaskan sesuatu, tidak dengan koreografi.
Bisa diberi contoh?
Iya.... Beberapa waktu lalu (dalam Singapore Art Week awal 2018) saya membuat performans dengan memanah. Ada sebanyak 800 anak panah saya bidikkan ke tembok putih. Semua serba putih. Saya memanahkan 800 anak panah itu selama empat jam. Ini sebuah peluang peleburan. Di situ puisi tumbuh sendiri. Bagi para penikmat, pemaknaan tumbuh sendiri-sendiri. Orang-orang yang dekat dengan seni tari tradisi akan menganggap performans seperti ini aneh. Selama ini, performans saya dinikmati oleh yang bisa menikmati. Kadang tidak banyak yang bisa menikmatinya. Namun, sekarang mulai banyak para penikmatnya.
Pernah punya pengalaman menampilkan performans yang tidak banyak ditonton?
Saya pernah pentas di Timmelsjoch, Italia utara, pada 2012. Waktu itu hanya ditonton sekitar 50 orang. Tidak apa-apa ditonton sedikit penikmat, tetapi yang penting mereka benar-benar mengerti performans saya. Performans saya sama dengan trance, yaitu menuju kekosongan. Namun, kekosongan itu tidak lepas. Kekosongan itu dengan kendali. Seperti orang yang berzikir untuk mencapai kekosongan, tetapi tidak lepas.
Seperti di dalam kisah mitologi Yunani, Sisifus. Sisifus itu kosong, tetapi tidak lepas. Ada kendali. Ini beda dengan katarsis. Kalau katarsisme ada dalam sebuah performans, lalu yang nonton disuruh ngapain?
Apa yang diinginkan dengan adanya kendali, tidak lepas?
Performans saya ingin mengajak keterlibatan penonton. Penonton bisa menciptakan puitikanya masing-masing. Penonton bisa menghidupkan imajinasi masing-masing. Penonton bisa meraih pemaknaan sesuai bekal pengetahuan masing-masing.
Bagi saya, sekarang semuanya melebur. Apakah itu seni tari, teater, atau performans yang saya tampilkan sudah semestinya memiliki pemikiran-pemikiran dan kontekstual. Kontekstual dalam arti memiliki manfaat kekinian. Kontekstual itu berhubungan dengan lingkungan kekiniannya. Seni gerak tubuh apa pun itu sebagai tari, sebagai teater, sebagai performans tidak lantas menjadikan tubuh sebagai obyek. Ada karakter masing-masing. Setiap seni gerak tubuh itu agar memahami napasnya masing-masing.
Apa makna tubuh sebagai obyek?
Saya tidak mau menyatakan, yang ini benar, yang itu salah. Akan tetapi, begini... orang melihat pertunjukan seni tari. Ada di antara penonton yang lantas melihat tubuh itu sebagai obyek. Posisi seniman tari kemudian diposisikan sebagai labour, tenaga kerja, untuk menyampaikan hiburan. Tidak semestinya demikian. Tubuh itu sebagai subyek, bukan obyek. Tubuh itu menyampaikan suatu pemikiran dan kontekstual.
Bagaimana Anda mengawali sebuah karya?
Performans karya saya memiliki konstruksi pembebasan bentuk. Konstruksi karya saya ibarat menulis puisi, bukan naskah. Untuk mengawali sebuah karya performans, saya mengawalinya dengan menulis teks puisi. Performans saya juga memungkinkan untuk berkolaborasi dengan bidang seni lainnya.
Seperti apa kolaborasi itu?
Di Osaka, Jepang, pada 23 Februari 2018, saya membuat perfomans kolaboratif Wandering Dream. Saya berkolaborasi bersama pemusik dari Tokyo, Naoki Iwata. Di sana saya menampilkan performans selama 35 menit. Isinya tentang pemikiran antara masa-masa sadar dan masa-masa tidak sadar. Itu seperti ketika orang yang berjalan ketika masih tertidur.
Di tubuh kita, kadang merasakan hal seperti itu. Antara sadar dan tidak sadar untuk melakukan suatu hal.
Apa yang paling dibutuhkan saat ini berkaitan dengan seni performans?
Seni performans seperti yang saya tekuni sampai sekarang ini memang masih sulit mendapat perhatian publik secara luas. Hal yang paling dibutuhkan sekarang ini capacity building, pembangunan kapasitas, baik publik sebagai penikmat maupun para senimannya sendiri.
Saat ini, saya tidak ingin memikirkan karya untuk saya sendiri. Melalui berbagai agenda di Studio Plesungan ini, saya mengajak publik untuk membuat capacity building tentang seni performans.
Melati Suryodarmo
♦ Lahir: Solo, 12 Juli 1969
♦ Pendidikan:
- 1988-1993: menempuh studi di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung
- 1994-2001: menempuh studi Degree in Fine Art, The Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman
- 2001-2002: menempuh studi Postgraduate Program in Performance Art, The Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman
Pengalaman karya:
- 2003: pentas pada penyelenggaraan Venice Biennale ke-50 di Venice, Italia
- 2005: pentas di Museum Van Gogh di Amsterdam, Belanda
- 2007: pentas untuk Venice Biennale Dance Festival
- KIASMA, Helsinki
- Sejak 2007 menyelenggarakan agenda tahunan Performance Art Laboratory Project dan Undisclosed Territory di Karanganyar, Jawa Tengah
- 2008: pentas untuk Manifesta7, Bolzano, Italia
- 2009: pentas untuk Transit Festival, Berlin, Jerman
- 2012: pentas untuk Luminato Festival of The Earth, Toronto, Kanada
- 2017: menjadi Direktur Jakarta Biennale di Jakarta
- 2018: pentas kolaborasi bersama pemusik dari Tokyo Jepang, yaitu Naoki Iwata