Merawat Sastra Anak
Pakar sastra anak Murti Bunanta memandang penting cerita rakyat sebagai bagian dari sastra anak. Itulah fondasi dunia sastra Nusantara. Cerita dan puisi rakyat yang dikenal sejak dini membuat anak-anak menjelang masa remaja dan dewasa dengan kesiapan menerima karya-karya cemerlang pujangga bangsa.
Pakar sastra anak Murti Bunanta memandang penting cerita rakyat sebagai bagian dari sastra anak. Itulah fondasi dunia sastra Nusantara. Cerita dan puisi rakyat yang dikenal sejak dini membuat anak-anak menjelang masa remaja dan dewasa dengan kesiapan menerima karya-karya cemerlang pujangga bangsa.
Sastra akan merawat peradaban Nusantara. Karya-karya anak bangsa yang memanggungkan Indonesia dalam pergaulan sastra global juga berarti keberhasilan diplomasi. Buku cerita rakyat Legenda Pohon Beringin, misalnya. Dongeng ini diceritakan kembali oleh Murti Bunanta. Ditulis ulang pada kertas yang diperindah ilustrasi pointilisme karya Hardiyono.
Mitos dari Jawa itu bercerita tentang pohon beringin sebagai wujud keabadian Pangeran Jamojaya yang dicintai rakyatnya. Terbitan yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi The Legend of the Banyan Trees itu diapresiasi dunia lewat Laureats Des Prix Octogones 2002 di Perancis.
Perempuan kelahiran Semarang, 5 Agustus 1946, ini adalah doktor pertama dari Universitas Indonesia yang meneliti sastra anak sebagai topik disertasi (1997). Penelitian sastra anak bahkan telah dirintis sejak Murti menempuh kesarjanaan pada sastra Belanda (1981) dan pendidikan magister studi Amerika (1986) di kampus yang sama.
Ia mengoleksi lebih dari 30.000 buku sastra anak berbagai bahasa. Sebagian koleksi bahkan lebih tua dari dirinya. Ia telah menuliskan kembali dengan apik sekitar 170 cerita rakyat dari seluruh dunia dan 200 esai sastra anak. Sebanyak 48 buku cerita rakyat untuk anak telah dipublikasikan dan beberapa di antaranya mendapat penghargaan internasional.
Di kantor Kelompok Pencinta Bacaan Anak di ITC Permata Hijau, Jakarta, Kamis (3/5/2018), Murti penuh semangat menceritakan kecintaannya terhadap sastra anak. Organisasi yang didirikan sejak 1986 itu menjadi sarana bagi Murti dan rekan-rekannya untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi sastra anak. Ibarat bunga, sastra anak terus mekar, meski tak sempurna. Peneliti, penutur, penulis, perupa, dan penerbit bertambah. Artinya, kuantitas karya sastra anak bisa dibilang meningkat dan cakupannya meluas. Sayangnya, kualitas masih diragukan.
Kenapa tertarik dengan sastra anak?
Sejak masa kecil karena suka membaca. Orangtua memberi buku-buku cerita untuk anak berbahasa Belanda dan Indonesia. Kalau dapat uang saku, saya menyisihkannya untuk membeli buku bacaan. Saat kuliah sarjana, mengambil sastra Belanda dan tertarik dengan cerita untuk anak. Begitu juga saat menempuh pendidikan pascasarjana sampai menyelesaikan studi doktoral. Dari sana, studi tentang ilmu sastra anak itu ada. Sayangnya, tidak banyak yang menggeluti, apalagi mengembangkannya. Padahal, kebudayaan kita amat kaya dengan berbagai cerita yang bagus untuk pendidikan. Di luar negeri, cerita rakyat untuk anak dikembangkan sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan, tetapi belum terlalu diangkat di sini.
Produk sastra anak perlu dikembangkan seperti apa?
Saat ini, banyak buku sastra anak dan secara komersial laku. Ada juga karya yang ditulis bahkan oleh anak-anak. Namun, sulit untuk mendapatkan yang bagus secara menyeluruh. Untuk anak-anak yang masih kecil, misalnya, buku sebaiknya berukuran kecil agar mereka bisa memegang dengan nyaman. Kemasan atau sampul perlu menarik dengan gambar yang apik dan warna-warni. Di dalamnya jangan sekadar tulisan, melainkan ilustrasi yang bagus. Ceritanya harus dipilih dan merupakan hasil permenungan mendalam tentang kebajikan kekayaan budaya Nusantara. Membuat buku, segala aspek harus diperhatikan agar dipahami sebagai karya seni, yang memilikinya bangga dan memperlakukan dengan baik. Jangan membuat buku yang seperti gombal, yang pemiliknya gampang untuk merusak, membuang, atau menjual secara kiloan.
Mengapa sastra untuk anak dipandang penting?
Kita akan amat sulit mengenalkan sastra karya pujangga besar, seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, tanpa dasar sastra anak yang kuat. Sastra anak memerlukan wujud pembukuan yang berkualitas, bukan sekadar sebagai buku, melainkan karya seni. Sewaktu saya studi sastra Belanda, isu yang saya teliti (dalam sastra untuk anak) cukup sensitif, bahkan saat itu dipandang tabu, yakni perceraian. Semasa pascasarjana, lewat buku The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain, saya meneliti tentang isu rasisme.
Bangsa kita sejak dahulu punya tradisi kuat untuk mengajarkan kebajikan dalam menghadapi masalah hidup dengan kemasan yang luar biasa. Ya, didongengkan atau diceritakan. Misalnya, kisah populer Bawang Merah dan Bawang Putih. Pesan moral mungkin tidak sesederhana keburukan sifat Bawang Merah yang iri hati terhadap Bawang Putih atau keburukan sifat ibu tiri. Mengapa tidak dilihat dari sudut pandang lain, misalnya kesusahan yang dialami Bawang Putih adalah jalan yang diberikan oleh ibu tiri agar anaknya tidak manja dan sanggup bertahan dalam kehidupan yang keras. Bawang Merah yang manja, kehidupan masa depannya akan gagal.
Ada, lho, yang mengisahkan kembali cerita itu dengan bumbu kekinian. Misalnya, Bawang Merah mandi dan memakai parfum merek tertentu agar tubuhnya harum. Andai kata karya itu dibaca anak-anak di pelosok, apakah bisa dipahami dengan baik. Kenapa harus pakai parfum atau kenapa tidak mandi air rendaman bunga mawar atau melati agar harum.
Jadi, banyak isu besar dan kekinian yang seharusnya bisa diungkapkan lewat sastra anak?
Ya, misalnya pemanasan global atau pelestarian lingkungan. Selain itu, penyalahgunaan narkotika, korupsi, transjender atau LGBT, kejahatan seksual, pengungsi akibat perang atau konflik, pengusiran komunitas akibat perbedaan keyakinan, mitigasi bencana, pendidikan seksual, kehidupan anak yang ditelantarkan atau yang orangtuanya dihukum penjara. Beberapa isu di antaranya mungkin sudah ada dalam cerita rakyat, tetapi belum tergali atau belum terpublikasi. Di Papua, saya mendapatkan beberapa cerita rakyat tentang larangan pernikahan segaris darah. Selain itu, cerita tentang bagaimana manusia jangan berambisi menguasai matahari karena mengganggu keseimbangan alam. Itu, kan, isu-isu yang masih relevan sampai saat ini.
Bagaimana perkembangan sastra anak sampai saat ini?
Dahulu, peneliti sastra anak sedikit, sekarang bertambah. Secara umum semua bertambah, baik penulisnya, ilustrator, maupun penerbit. Penulis bahkan juga banyak dari anak-anak. Namun, saya menemukan banyak produk yang seperti kehilangan kepekaan karena tidak sesuai konteksnya dengan kehidupan secara luas. Misalnya, cerita tentang liburan ke luar negeri, belajar bermain piano dan biola yang dibelikan oleh orangtua. Bayangkan, hal seperti itu sulit dipahami oleh anak-anak yang tinggal di pelosok. Konteks kehidupan di perkotaan tidak sama dengan lainnya.
Pemakaian bahasa Indonesia juga masih ada kekurangan. Masih ditemukan judul atau kata-kata asing meski sudah ada padanan dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang cukup populer juga. Pernah juga dalam sejumlah seminar yang dihadiri kalangan editor buku, saya mendapat pernyataan mengejutkan. Ada, lho, editor buku ternyata tidak suka membaca. Bagaimana bisa menjadi editor yang bagus kalau tidak suka membaca.
Apa yang harus ditempuh untuk mendorong sastra anak?
Kita perlu meletakkan sastra anak sejak dini. Peneliti tetap harus rajin menggali dan menemukan cerita-cerita yang baik untuk disampaikan dalam rangka pendidikan anak. Penulis harus meningkatkan kemampuan dan kepekaan dalam membuat karya. Itu juga berlaku untuk ilustrator. Penerbit diharapkan menghasilkan produk yang bermutu dalam segala aspek. Di sekolah, guru-guru perlu mendapatkan kepelatihan tentang sastra anak, bagaimana mengajarkan kepada anak membaca, memperlakukan buku dengan baik, mendongeng, bahkan mewujudkan dalam berbagai kegiatan lanjutan.
Dari buku bisa dikembangkan menjadi membuat animasi atau seni lain, tari, drama, dan sebagainya. Ini harus menjadi program bersama yang juga perlu mendapat perhatian publik.
Murti Bunanta
Lahir: Semarang, 5 Agustus 1946
Pendidikan:
- S-1 Universitas Indonesia
- S-2 Universitas Indonesia
- S-3 Universitas Indonesia
Lembaga:
- Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA)
- Indonesian Board on Books for Young People (INABBY)
- International Board on Books for Young People (IBBY)
Penghargaan:
- The Janusz Korczak International Literary Prize 1998 untuk buku ”Si Bungsu Katak”
- Piagam Menteri Pendidikan, Seni, dan Budaya Republik Indonesia 1998
- Laureats Des Prix Octogones 2002 untuk buku ”LegendaPohon Beringin”
- Biennial of Illustrations Bratislava (BIB) Honorary Plague 2002
- BIB Honorable Mention 2005
- IBBY Honour List 2008 untuk buku ”Putri Kemang”
- IBBY Outstanding Books for Young People with Disabilities 2009 untuk buku ”My First Dictionary-Insect”
- Nomine untuk Astrid Lindgren Memorial Award 2011-2018
- Anugerah Kebudayaan 2014
- The USBBY Outstanding International Books List 2014
- IBBY Honorary Member 2016