Memupus Sindrom Mayoritas
Miranda Risang Ayu Palar tertarik mendalami hukum tentang hak kekayaan intelektual karena hukum ini menghargai potensi paling luhur yang dianugerahkan Tuhan, yakni intelektualitas. Namun, kemudian ia merasakan, hukum atas hak kekayaan intelektual itu terlalu ”industrialis”, sampai akhirnya ia menemukan Hukum Kekayaan Intelektual Komunal yang lebih luas melindungi kepentingan masyarakat.
Perempuan yang mengajar di Universitas Padjadjaran, Bandung, ini melihat Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) Komunal sebagai upaya penyeimbangan yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, Miranda bermimpi, HKI Komunal kelak bisa dijadikan alat bantu untuk mengentaskan dari kemiskinan pada komunitas atau masyarakat adat terkait.
Pernikahan Miranda dengan Rato Rumata Lado Regi Tera yang menjadi ketua di Desa Adat Tarung, Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, semakin membuat dirinya makin memfokuskan perhatian terhadap nasib masyarakat-masyarakat adat.
Sebelum ini, HKI lebih dikenal sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Tak jarang juga disebut Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Belakangan, HKI secara resmi merujuk pada Hukum Kekayaan Intelektual. Bisa juga hanya disebut sebagai Kekayaan Intelektual (KI).
Miranda terlibat dalam penyusunan naskah sejumlah undang-undang (UU), seperti UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Ia juga terlibat dalam tim ahli penyusunan aturan pelaksana ratifikasi Protokol Nagoya dan sejumlah aturan lain terkait perlindungan sumber daya genetik, pengetahuan tradisional, dan ekspresi budaya tradisional.
Dosen yang juga penari ini juga pernah membantu Kementerian Luar Negeri RI sebagai ahli hukum dalam pembahasan tentang HKI Komunal di World Intellectual Property Organization (WIPO), organisasi dunia yang mengurusi KI.
Sebagai ahli independen, Miranda juga pernah diminta WIPO membantu penyelenggaraan pelatihan di bidang sumber daya genetik, pengetahuan tradisional, dan folklor terhadap negara-negara anggota G-15. Dalam ranah HKI, istilah folklor kini diperluas menjadi ekspresi budaya tradisional (EBT).
Apa pengertian HKI Komunal?
HKI itu terdiri atas dua kelompok besar. HKI yang biasa kita kenal, yakni HKI Individual yang dipegang oleh individu dan diarahkan untuk industrialisasi. Perjanjian internasionalnya sudah kita ratifikasi dan undang-undang terkait itu juga sudah ada, antara lain Undang-Undang tentang Hak Cipta, Paten, Merek dan Indikasi Geografis, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Perlindungan Varietas Tanaman.
Sekarang yang sedang berkembang dan dianggap seksi adalah HKI Komunal karena dipegang oleh komunitas. HKI Komunal ini mencakup indikasi geografis, sumber daya genetik, pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, merek kolektif, dan indikasi asal.
Mengapa HKI Komunal penting diperjuangkan?
Saya percaya HKI Komunal bisa dimanfaatkan untuk pengentasan dari kemiskinan. Memang tidak cukup hanya dilindungi, masyarakat perlu memiliki kemampuan untuk mengomersialkannya agar memiliki manfaat ekonomi. Contoh sukses seperti di Bali dengan kekayaan ekspresi budaya tradisionalnya.
Masalahnya, tidak semua masyarakat adat pemilik hak komunal punya kemampuan untuk mengomersialkannya. Di sini perlu peran pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Pemanfaatan sumber daya budaya ini bisa sangat bagus ketimbang mengeksploitasi sumber daya alam yang suatu saat akan habis dan berpotensi merusak lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
Mengapa kekayaan budaya ini perlu dilindungi?
Karena ini mendukung pluralitas budaya. Saya berpandangan, selamanya pluralitas itu lebih kuat daripada homogenitas. Seperti halnya bangunan yang tidak akan kuat jika dibangun di atas tanah berpasir saja yang homogen. Semakin heterogen, tanah itu semakin kuat.
Kekayaan budaya ini adalah upaya saling menyeimbangkan agar tidak muncul budaya ini lemah sendiri atau budaya lain terlalu kuat. Kalau ada yang membesar sendiri akan berpotensi menimbulkan superiority complex of majority. Ketika berubah menjadi besar, pasti muncul kompleks superioritas. Itu di mana-mana, bukan di bidang budaya saja.
Sudah ada undang-undang yang mengatur HKI Komunal?
Secara khusus belum ada. Dari dulu masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Genetik. Namun, beberapa poin pentingnya sudah diselipkan dalam undang-undang yang lain, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Paten, dan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis.
Ekspresi budaya
Miranda lalu memberikan beberapa contoh terkait ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional, dan sumber daya genetik. Tari, musik, hingga ritual adat termasuk dalam ekspresi budaya tradisional, sedangkan hal-hal seperti teknik pengobatan atau pembuatan obat-obatan dan teknik pembuatan rumah masuk ke dalam pengetahuan tradisional. Adapun sumber daya genetik biasanya terkait dengan hasil pertanian dan makanan.
Dengan adanya undang-undang ini masyarakat hukum adat sebagai pemilik HKI Komunal berhak atas pembagian keuntungan. Bentuknya tidak selalu harus uang, tetapi bisa juga dalam bentuk pemberdayaan hingga pelibatan dalam penelitian bersama.
Misalnya, pengetahuan tradisional tentang obat-obatan. Ketika ada individu ingin mematenkan obat tertentu, ia harus menyebutkan dari mana sumber pengetahuan obat-obatan tersebut jika memang bersumber dari pengetahuan tradisional atau menggunakan bahan makanan dari daerah tertentu.
Dalam konteks negara maju, ketika suatu komunitas memiliki sumber daya dan negara maju memiliki teknologi untuk mengolahnya, HKI Komunal mengharuskan negara maju ini berbagi dengan masyarakat pemilik sumber daya atau pengetahuan tradisional tadi. Selama ini, yang terjadi, sumber daya dan pengetahuan tradisional dieksploitasi. Namun, masyarakat pemiliknya hanya menjadi penonton, bahkan hanya menjadi konsumen produk yang bersumber dari kekayaan mereka.
Bagaimana perkembangan perlindungan terhadap HKI Komunal?
Selama 10 tahun terakhir saya melihat pendulum mulai bergerak ke HKI Komunal. Dari yang tadinya tidak ada aturan sama sekali, sekarang paling tidak beberapa poin aturan diselipkan ke beberapa undang-undang lain. Untuk Ekspresi Budaya Tradisional sedang dibahas RPP-nya (rancangan peraturan pemerintah). Masih banyak pekerjaan rumahnya, di antaranya menentukan masyarakat yang berhak sebagai pemilik sebuah hak komunal. Pembahasan HKI Komunal di kementerian-kementerian hendaknya juga sistemik dan berkelanjutan. Jangan sendiri-sendiri dan terpecah-pecah.
Bagaimana asal mula pembahasan HKI Komunal di dunia internasional?
Perhatian terhadap HKI Komunal sebenarnya berawal dari keresahan negara-negara berkembang. Sudah lama sebenarnya, sejak tahun 2000-an. Namun, perjalanannya lambat. Kenapa? Karena menyangkut kepentingan negara berkembang, sementara yang dihadapi adalah negara maju. Mereka selama ini mengakses pengetahuan tradisional yang dianggap tidak ada pemiliknya.
Dalam konteks HKI Individual, HKI Komunal dianggap tidak ada. Negara-negara maju sudah asyik dengan interpretasi ini. Sekarang diminta sharing, siapa yang mau. Padahal, mereka sebenarnya juga bisa mendapat manfaat dengan pembahasan ini karena di setiap negara maju masih ada masyarakat aslinya yang harus mereka perhatikan.
Miranda Risang Ayu Palar
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat
- Master Hukum (Legum Magistra/LLM) di Fakultas Hukum University of Technology Sydney, Australia
- S-3 (PhD) di Fakultas Hukum University of Technology Sydney, Australia
Pekerjaan:
- Dosen dan peneliti di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung (spesialisasi Hukum Hak Kebudayaan dan Kekayaan Intelektual Komunal)- Representasi Program Magister Konsentrasi Hukum HKI bekerja sama dengan WIPO Academy Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
- Anggota Lembaga Ekonomi Kreatif untuk Perlindungan Industri Kreatif Jawa Barat (2010-2014)
- Wakil Ketua Komisi Banding Merek, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2012-2014)- Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (2015-2018)
- Penyedia Bantuan Hukum, Asosiasi Indikasi Geografis Indonesia (2018-2020)
Prestasi:
- Penghargaan Satyalancana Karya Satya atas pengabdian 10 tahun bekerja dari Presiden RI
- 10 Besar Dosen Terbaik Nasional 2009
- Dosen Terbaik 2009 Universitas Padjadjaran
- Penghargaan The Australian Alumni Inspiration 2008