Asa Fenessa di Museum
Museum mengemban banyak misi. Seberapa pun besarnya gedung atau banyaknya koleksi sebuah museum, penyajian program museum dengan sebaik-baiknya menjadi jauh lebih penting. Ini diyakini Fenessa Adikoesoemo, Ketua Yayasan Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara, Jakarta.”Tidak penting lagi apakah museum itu dikelola swasta atau pemerintah, atau siapa pun pemiliknya. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana menyajikan program museum menarik dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi publik,” kata Fenessa, Rabu (9/5/2018), saat ditemui di museum yang ia kelola, Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara. Museum ini dikenal dengan sebutan Museum Macan.
Museum Macan menempati sebuah gedung bertingkat, AKR Land Development, di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dengan luas area sekitar 4.000 meter persegi.
Pertama kali dibuka pada November 2017. Pembukaan Museum Macan itu ditandai dengan pergelaran pameran 90 lukisan maestro koleksi Haryanto Adikoesoemo, pemilik dan pendiri Museum Macan, sekaligus ayah Fenessa. Pameran yang berlangsung hingga Maret 2018 tersebut bertema, ”Seni Berubah. Dunia Berubah”.
Menilik karya yang dipamerkan saat itu, deretan nama pelukis ternama terpampang di tempat tersebut. Mari, pada kluster pertama yang diberi judul ”Bumi, Kampung Halaman, dan Manusia”, misalnya, antara lain disuguhkan karya Raden Saleh, Fernando C Amorsolo, Lee Man Fong, Miguel Covarrubias, Walter Spies, dan Willem Gerard Hofker.
Pada kluster kedua, bertema ”Kemerdekaan dan Setelahnya”, deretan nama perupanya antara lain Affandi, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, S Sudjojono, Sudjana Kerton, dan Trubus Soedarsono.
Kluster ketiga yang bertemakan ”Pergulatan Seputar Bentuk dan Isi” juga menyajikan perupa- perupa terkenal, seperti AD Pirous, Ahmad Sadali, Andy Warhol, Arahmaiani, Djoko Pekik, G Sidharta, Gerhard Richter, H Widayat, Heri Dono, Jean-Michel Basquiat, Jiro Yoshihara, John Chamberlain, Kaboel Suadi, Karel Appel, Lee Ufan, Luo Zhongli, Mark Rothko, Martin Kippenberger, Nashar, Otto Piene, Robert Rauschenberg, Sigmar Poke, Soetopo, Srihadi Soedarsono, Tanaka Atsuko, Willem de Kooning, Zaini, Zao Wou-Ki, Agapetus Kristiandana, Ai Weiwei, Antony Gomerly, Ay Tjoe Christine, Cai Guo-Qiang, Fang Lijun, FX Harsono, Handiwirman Saputra, I Dewa Ngakan Made Ardana, I Nyoman Masriadi, dan lainnya.
Nama-nama perupa tersebut memiliki peran dan sejarah penting di dunia seni rupa Indonesia. Ditilik dari sisi ini, program Museum Macan patut mendapat perhatian publik.
Fenessa menyadari betul bahwa sebuah museum sangat berkepentingan dalam menyajikan artefak sejarah yang menarik. Publik pun mengetahui museum memiliki salah satu fungsi penting untuk menyimpan dan menyajikan artefak sejarah.
Pameran tunggalSetelah menghadirkan karya seni rupa para maestro di Museum Macan, disusul program berikutnya dengan pameran tunggal karya perupa asal Jepang, Yayoi Kusama (89). Dari satu pameran ke pameran berikutnya, Fenessa menunjukkan strategi yang kontras. Awalnya, penyajian karya puluhan perupa ternama sekaligus, dilanjutkan dengan satu perupa saja, Yayoi Kusama.
Fenessa menyuguhkan 130 karya berupa lukisan, sketsa, patung, dan instalasi seni karya Yayoi di Museum Macan antara 12 Mei dan 9 September 2018. Di sela perbincangan kami, sempat Fenessa menunjukkan beberapa karya Yayoi yang sudah menjadi bagian koleksi Museum Macan, baik berupa lukisan pada masa awal Yayoi sekitar tahun 1953 maupun patung-patung dan instalasi seninya.
Terdapat sekitar 10 karya Yayoi yang sudah dikoleksi Museum Macan. Rupanya sudah cukup lama pula ayah Fenessa mengoleksi karya Yayoi.
Fenessa lahir di Singapura, 29 Mei 1993. Ia mendengar pertama kali ayahnya membeli lukisan karya Yayoi sekitar tahun 2000. Itu berarti, ketika itu, usia Fenessa baru menginjak 7 tahun.
”Biasanya ayah saya membicarakan terlebih dulu di tengah keluarga ketika ingin membeli karya seni,” ujar Fenessa. Ia pun tumbuh sebagai gadis sejak dini dibekali ayahnya dengan pengetahuan tentang karya seni.
Belakangan, ketika menjumpai produk-produk fashion, Fenessa kerap pula menemukan produk yang didesain oleh Yayoi. Di situlah Fenessa makin mengenal karya-karya Yayoi, tidak semata karya seni lukisan untuk dipajang di dinding, tetapi juga karya yang dapat diaplikasikan pada produk fashion.
Fenessa menempuh studi S-1 untuk bidang bisnis di Universitas Melbourne, Australia. Setelah merampungkan studinya tahun 2014, Fenessa kembali ke Tanah Air. Ia lantas turut mengelola manajemen dan pembangunan konstruksi gedung AKR Land Development milik ayahnya. Salah satu bagian gedung itu sejak mula dipersiapkan untuk Museum Macan.
Sebelumnya, selama kuliah di Melbourne, Fenessa bekerja di sebuah perusahaan konsultan global. Ia aktif pula di organisasi AIESEC atau Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et Commerciales, sebuah organisasi mahasiswa internasional terbesar yang anggotanya datang dari lebih dari 100 negara. Pada masa-masa inilah Fenessa mulai merintis jaringan global.
Pada tahun 2016, Fenessa menempuh riset pengelolaan museum di Hirshhorn Museum and Sculpture Garden (Museum Hishhorn dan Kebun Patung), Washington DC, Amerika Serikat. Di lembaga ini, ayahnya, Haryanto Adikoesoemo, duduk sebagai salah satu anggota dewan pengawas.
Didorong semangat dan kecintaannya pada karya seni, Fenessa mempelajari manajemen dan strategi museum. Ia pun terlibat aktif dalam sejumlah kegiatan filantropis. Ia juga berpartisipasi sebagai sukarelawan organisasi amal. Selain itu, Fenessa juga berperan sebagai dewan kolektor muda di berbagai organisasi.
Pengalaman belajar tentang manajemen dan strategi pengelolaan museum itu dilengkapi pula oleh Fenessa di Museum Guggenheim, New York, AS. Sekembalinya ke Tanah Air, pada akhir 2017, ia pun menangani pengoperasian Museum Macan.
Salah satu pelajaran terpenting yang diperoleh Fenessa tentang manajemen museum adalah soal penyajian program museum dengan sebaik-baiknya. Itu kini yang tengah diupayakan Fenessa agar terealisasi di Museum Macan.
Terkesan Yayoi
Pada periode 12 Mei-9 September 2018, Museum Macan menampilkan pameran tunggal karya Yayoi Kusama. Hal mendasar yang pilihan ini adalah karena Fenessa melihat konsistensi kerja seni Yayoi Kusama sepanjang masa hidupnya sampai sekarang.
”Pada waktu saya berkunjung ke studionya, Mei 2016, Yayoi Kusama sedang melukis dan mau berhenti untuk bercakap-cakap dengan saya sampai sekitar 1 jam lamanya. Yayoi awalnya sempat menanyakan, apakah saya menyukai lukisannya,” ujar Fenessa tentang pengalamannya menemui Yayoi.
Fenessa menceritakan, studio Yayoi sama sekali tak besar, relatif kecil malah. Namun, ia menatanya dengan rapi. Tidak hanya ada lukisan-lukisan kecil di studio Yayoi. Ada juga yang berukuran 2 meter x 2 meter . Semua tertata dengan rapi.
Yayoi meletakkan kanvas lukisnya di atas meja. Kemudian perupa ini melukis dengan memutar-mutar kanvasnya itu. Karyanya dikerjakan dari beberapa sisi. ”Setiap hari Yayoi membuat karya yang berbeda,# ujar Fenessa bernada terkesan.
Becermin pada konsistensi kerja seni Yayoi—berikut pengalaman jatuh bangunnya—kini Fenessa bertekad menyajikan sisi lain dunia seni rupa di Museum Macan.
Fenessa Adikoesoemo
Lahir: Singapura, 29 Mei 1993
Pendidikan terakhir:
Lulus tahun 2014 di Universitas Melbourne, Australia,
S-1 Bidang Bisnis.
Pengalaman organisasi:
- AIESEC (Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et Commerciales/sebuah organisasi mahasiswa internasional)
Pengalaman kerja:
- Museum Hirshhorn dan Kebun Patung di Washington, Amerika Serikat (2016)
- Museum Guggenheim di New York, Amerika Serikat (2016)
- Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (Museum Macan/Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara) 2017-sekarang