Dayu, Pemburu Kompetisi
Dayu adalah Senior Vice President yang juga pendiri Go-Life, salah satu produk jasa layanan daring perusahaan rintisan berbasis teknologi (start up) unicorn peringkat pertama asal Indonesia, Go-Jek. Istilah unicorn biasa dipakai untuk mengilustrasikan bisnis rintisan berbasis teknologi dengan nilai valuasi di atas 1 miliar dollar AS atau setara Rp 13 triliun.
Di kantornya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, siang itu, Dayu tampak sangat sibuk. Ia bergerak dari satu rapat ke rapat lain. Suasana dan atmosfer yang serius, tetapi juga terkesan kasual terasa kental di tempat penyedia layanan-layanan Go-Jek itu berkantor. Mayoritas para pekerjanya masih berusia muda, berkisar 20-30 tahun.
Dayu bercerita, awalnya ia diajak pendiri Go-Jek, Nadiem Makarim, untuk bergabung. Waktu itu gadis penggemar karaoke ini mengaku masih bekerja untuk sebuah perusahaan konsultan manajemen multinasional dan sama sekali tak mengerti apalagi tertarik dengan bisnis rintisan. Belakangan, visi dan misi Nadiem berhasil mengubah pandangannya.
”Dia (Nadiem) cuma bilang orang-orang seperti kami seharusnya sudah bukan lagi di tahap mencari kerja. Dengan kemampuan manajerial yang kami punya justru sebaiknya kami menciptakan lapangan kerja sekaligus menggerakkan roda perekonomian. Saya diyakinkan, begitu penyedia jasa dan konsumen terhubung, kedua hal itu akan langsung tercipta,” ujar Dayu.
Walhasil, jadilah dia resmi ”dibajak” dan bergabung dengan Go-Jek. Namun, persoalan lain muncul. Oleh Nadiem, Dayu ditantang menciptakan produkproduk layanan jasa yang nantinya akan ”dikawinsilangkan” dan diaplikasikan ke dalam sistem on-demand mobile platform di bawah Go-Jek. Kembali di tahap itu kemampuan Dayu dalam analisis dan penuntasan masalah diuji.
Awalnya Nadiem memberinya masukan agar bisa mencari ide produk layanan jasa yang bisa diciptakan dan diaplikasikan ke dalam sistem Go-Jek. Tak perlu rumit-rumit, cukup mencari dari pengalaman, kebutuhan riil, atau dari problem-problem yang dialami sendiri, seperti juga ketika Nadiem mendirikan aplikasi ojek daring lantaran dirinya juga pengguna setia jasa ojek sejak lama.
Ide layanan
Setelah berpikir keras dan menganalisis, Dayu memutuskan tiga macam layanan jasa (service), yaitu kecantikan (beauty), kesehatan (wellness), dan kebersihan (cleaning). Ketiganya dia yakini bisa diwujudkan menjadi produk-produk jasa layanan on demand, yang belakangan dinamai Go-Life.
Buat Dayu, ketiga hal itu adalah juga kebutuhan riil dirinya sendiri. Sejak mulai bisa hidup mandiri dan tinggal sendiri, baik di rumah kos semasa bersekolah dan berkuliah maupun tinggal di apartemen setelah bekerja, dia selalu merasa punya persoalan dengan urusan beres-beres rumah, apalagi jenis pekerjaannya tak memungkinkan punya banyak waktu luang untuk itu.
Kalaupun mengandalkan tenaga asisten rumah tangga, dirinya kesulitan untuk menyediakan tempat tinggal lantaran Dayu juga masih tinggal di rumah atau apartemen kecil. Keberadaan asisten rumah tangga panggilan pun tak selalu bisa diandalkan stand by sewaktu-waktu bisa dipanggil bekerja.
Problem sama juga dialami saat membutuhkan perawatan rutin kecantikan dan pijat. Mendatangi griya pijat atau salon kecantikan langganan menjadi kegiatan yang sangat menyita waktu, terutama akibat faktor kemacetan Jakarta.
”Keluarga saya suka pijat dan kebiasaan itu turun ke saya. Kalau mau pijat, kan, terpaksa harus datang ke tempatnya, kena macet, dan harus antre lagi. Nanti selesai (dipijat), pulangnya kena macet lagi. Begitu juga kalau mau ke salon. Dari situ tercetus ide, kenapa, sih, enggak ada layanan-layanan yang bisa datang dan dipanggil ke rumah kapan pun,” tambah Dayu.
Saat mulai mewujudkan ide dan konsep tadi, tantangan dan kesulitan lain pun langsung muncul. Dayu harus bisa mencari mitra-mitra bisnis dari ketiga jenis layanan jasa tersebut. Walau mengaku tak biasa kerja lapangan, Dayu memutuskan turun langsung bersama timnya untuk mencari dan melakukan perekrutan awal sendiri.
Selama sebulan dia bahkan keluar masuk toilet, baik di mal, hotel, maupun restoran, untuk menemui para pekerja pembersih (cleaning service) atau menyambangi para pemijat di griya-griya pijat, baik besar maupun kecil, serta salon. Satu per satu mereka ”diwawancara” sekaligus diajak bergabung dengan dijanjikan potensi pendapatan yang tentunya telah dikalkulasi sebelumnya.
”Saya tanya ada yang senang, tetapi ada juga yang takut atau curiga. Saya pelajari bagaimana cara tepat berbicara dengan mereka. Bagaimana kalimatnya. Saya pelajari karakter dan gaya mereka, semisal pekerja cleaning service di mal ternyata berbeda dengan yang di perkantoran. Dari profiling yang saya bikin, saya bagikan ke tim. Saya malah sampai berkali-kali dipijat atau blow dry rambut demi bisa mendekati calon mitra bisnis,” ujarnya.
Walau prosesnya tak mudah, dalam waktu sebulan Dayu dan timnya berhasil meyakinkan dan merekrut sejumlah calon mitra bisnis. Jumlah mereka pun semakin bertambah seiring semakin populernya brand Go-Jek. Kini jumlah mitra kerja Go-Life mencapai 30.000 orang mitra profesional, termasuk jasa layanan baru terkait otomotif di 24 kota se-Indonesia.
Dalam tiga bulan setelah Go-Life diluncurkan, Dayu juga merekrut para pemijat dari kalangan tunanetra. Hal itu diawali dengan kedatangan asosiasi pemijat tunanetra ke kantor Go-Jek untuk mengadu dan menyampaikan unek-unek serta kekhawatiran mereka bakal kehilangan mata pencarian lantaran tak sanggup bersaing melawan Go-Jek.
Dayu dan timnya saat itu mengaku terenyak lantaran persoalan seperti itu memang tak pernah terpikirkan sama sekali bakal berdampak sedemikian besar. Saat itu mereka juga mengaku tidak punya pengetahuan cukup untuk bisa mengikutsertakan kalangan masyarakat dengan disabilitas lantaran tak tahu bagaimana caranya.
Dia lantas menjanjikan masalah itu akan diselesaikan dalam waktu setidaknya dua pekan. Dengan dibantu kalangan pemijat tunanetra dirinya meminta bagian teknis segera membuat aplikasi untuk mitra bisnis yang mudah diakses dan digunakan oleh kalangan penyandang disabilitas.
Walhasil tak hanya kalangan tunanetra, saat ini aplikasi yang dimiliki bahkan juga mudah digunakan penyandang disabilitas lain seperti tunarungu.
”Saya waktu itu diajari kalau ada yang namanya fitur talk-back di gawai atau laptop yang mereka pakai. Dari situ saya minta bagian TI segera bisa bikin fitur-fitur aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan itu. Terus terang saya takjub dengan kemampuan mereka. Sepanjang mereka bisa memenuhi syarat mampu mengerjakan sesuai standar prosedur pelayanan kami saya pikir tidak ada masalah,” tambah Dayu.
Petuah ayah
Sejak kecil, Dayu memang mengaku suka tantangan dan gemar berkompetisi. Dia juga sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan dan lomba-lomba. Mulai dari tingkat sekolah dasar hingga lulus sekolah menengah atas, anak sulung dari tiga bersaudara itu berhasil ”mengoleksi” lebih dari 300 piagam, plakat, dan piala dari berbagai lomba yang diikutinya.
Beragam kompetisi, mulai dari lomba menggambar, mewarnai, cerdas cermat, olimpiade sains, lomba penulisan, debat, dan bahkan lomba mengarang pantun, semua diikutinya dan meraih prestasi membanggakan. Kecerdasan Dayu memang sudah terlihat di usia tiga tahun. Ketika itu dia sudah bisa membaca dan menulis.
”Saya suka tantangan dan mencapai sesuatu. Saya suka target dan berkompetisi. Semua terinspirasi kata-kata ayah saya yang bilang, orang enggak akan ingat second winner. Dia bilang, you have to be first winner,” ujarnya.
Sejak SD hingga SMA dan saat berkuliah di Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, Dayu memang selalu memperoleh beasiswa penuh. Saat SMA dia lolos ikut program pertukaran pelajar AFS/YES dengan proses seleksi ketat. Dengan program itu, dia tinggal selama setahun di Amerika Serikat dan lulus dengan menyandang diploma yang terbilang sulit diraih lantaran berstandar tinggi.
Dia juga mengaku terpacu untuk mencari dan mendapatkan beasiswa lantaran tantangan sang ayah. Ayahnya bilang, ujar Dayu, kalau memang dirinya ingin menentukan dan mengatur sendiri masa depannya tanpa didikte orangtua, dirinya harus bisa independen (mandiri) dan resourceful (banyak akal).
Motivasi untuk bisa mandiri dan banyak akal seperti itu sedikit banyak juga dipengaruhi kedua orangtua Dayu yang bekerja 11 jam per hari. Sedari kecil Dayu juga diberi tanggung jawab untuk menjadi semacam manager on duty bagi kedua adiknya, termasuk untuk memastikan segala urusan rumah tertata dan berjalan dengan baik walau tetap ada bantuan asisten rumah tangga.
Memiliki ayah yang bekerja di bidang statistik dan ibu yang menggeluti bidang pemasaran sedikit banyak membuat Dayu mewarisi kemampuan analitis sekaligus manajemen dan bernegosiasi. Bekal-bekal seperti itulah yang membawanya menjadi individu yang selalu siap berkompetisi, baik dalam karier maupun kehidupan nyata.
Dayu Dara Permata
Lahir: Bandung, 3 September 1989
Suami: Hanif Muhammad
Pekerjaan:
-Senior Vice President Go-Jek dan Co Founder Go-Life sejak Maret 2015
Pendidikan:
-Institut Teknologi Bandung, Teknik Industri (2008-2012)
- Swedish Institute Management Programme (2016)
- Chonnam National University Korea Selatan, minor International Business
- River Ridge High School (2006-2007)
Prestasi, antara lain:
- National Finalist Nielsen Challenge, a market research study (2010)
- Young Leader for Indonesia, McKinsey YLI Foundation (2010)
- Silver Medal National Speech Society, IL, USA (2007)