Karya yang Menggetarkan
Menulis dengan baik itu susah. Demikian kata sastrawan Martin Aleida (74). Setiap kata yang disusun semestinya mampu merebut hati pembaca. Ukurannya hanya satu: menggetarkan atau menghanyutkan. Kalau tidak, artinya gagal.
Senyum tersungging di bibir Martin saat membukakan pintu pagar rumahnya di bilangan Rawa Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (20/6/2018) menjelang siang. Sambutan ramah itu berlanjut dengan cerita tentang berbagai hal, terutama dunia kepenulisan yang sudah digelutinya selama lebih dari setengah abad.
Gairah Martin terhadap dunia itu seakan tak pernah padam. Di usianya yang sudah kepala tujuh, karya-karyanya tetap mengalir. Yang terbaru adalah buku berjudul Tanah Air yang Hilang (Penerbit Buku Kompas, 2017), mengisahkan orang-orang eksil Indonesia yang tak bisa pulang dan terpaksa bermukim di berbagai negara Eropa.
Untuk menyambut usia 75 tahun, Martin sedang menyusun kumpulan cerita pendek (cerpen) komplet, sekitar 40 cerita, yang ditulis selama bertahun-tahun. Sebagian besar cerita itu berlatar penggalan sejarah pahit yang juga dijalaninya pada 1965-1966.
Seperti pernah diulas Damhuri Muhammad, luka dan nestapa para korban peristiwa 1965 identik dengan prosa-prosa karya Martin (Kompas, 2 Agustus 2009). Label disematkan kepadanya sebagai penulis sastra politik berhaluan kiri. Label itu, bagi Martin, tidak penting sejauh berdasarkan fakta yang benar. ”Terserah dia saja. Asal jangan take it for granted kalau Martin pasti cerita orang-orang kiri. Itu tidak benar karena cerita saya yang lain juga ada. Yang pasti, sastra itu selalu berpihak kepada korban. Tanpa itu, dia tidak punya kekuatan,” ujarnya.
Segala pahit-manis dunia kepenulisan yang telah dikecapnya tak segan dibagikan Martin. ”Menulis itu karena ada yang ingin dibagikan,” begitu prinsip dia. Pada 28-29 Juni 2018, Martin akan berbagi pengalaman dengan para peserta Kelas Cerpen Kompas 2018.
Magnet apa yang ada dalam dunia kepenulisan sehingga tertarik menggelutinya?
Ada yang dilihat, kemudian menyentuh perasaan. Waktu itu, di kota kecil saya, ada pabrik kapur. Letaknya di seberang Sungai Asahan. Para pekerja datang dari luar kota. Ketika mau menyeberang, karena terlalu pagi, tidak ada perahu. Jadi, mereka berteriak untuk minta dijemput. Menurut saya, begitu lho beratnya hidup orang. Setiap hari mereka harus berteriak.
Peristiwa itu menggetarkan dan mau coba saya tuliskan untuk dibagikan kepada orang lain. Saya mulai ketika duduk di kelas II SMA, belum mengerti orientasi politik sastra. Saya alami sesuatu, ada orang yang hidup begitu susah, begitu keras, itu yang saya ketengahkan. Dan, saya jadi sadar bahwa sastra itu selalu memihak kepada upaya-upaya yang dilakukan dengan keras. Kepada orang yang menjadi korban. Setelah 1965, itu menjadi kesadaran.
Pengalaman saya mewawancarai mereka yang tidak bisa pulang ke Indonesia, ketakutan itu masih kental. Padahal, ceritanya menarik. Ada etika yang harus dipegang. Karena itu, saya pernah cerita, untuk membebaskan diri, saya menulis cerpen. Fiksi jadi jalan keluar. Saya ambil bahan wawancara yang tidak berbahaya, cerpen itu ditempelkan. Tapi orang tahu, itu faktual.
Pergulatan yang dialami sebagai penulis?
Saya tidak pernah menyelesaikan cerita pendek kurang dari tiga pekan. Ernest Hemingway menulis The Old Man and The Sea dan membacanya 40 kali lebih baru diserahkan untuk terbit di majalah Look. Di sisi lain, Pram (Pramudya Ananta Toer), apa yang keluar dari kepalanya, dia tak mau baca lagi. Itu sudah selesai.
Jadi, betapa susahnya (menulis) karena memang susah. Memulai kalimat pertama dari paragraf pertama, bagaimana memilih kata sebab kata itu sendiri ditemukan melalui proses berabad-abad. Bagaimana Anda harus memilih ”tetapi”, bukan ”tapi”. Kapan ”walaupun” Anda tempatkan.
Memunculkan sebuah cerita juga jadi tantangan. Harus banyak bergaul, banyak mengalami. Sebuah obrolan biasa bisa memercikkan sesuatu. Ada cerita bisa memercikkan sesuatu. Perjalanan hidup orang, seperti yang saya temui di Belanda, tentang seorang yang berangkat ke Albania, sekolah di sana dan tidak bisa pulang setelah pecah peristiwa 1965. Itu bisa jadi cerita.
Sebenarnya sayang sekali mereka tidak menulis. Tidak perlu menceritakan faktual, tetapi kejadian yang mereka alami itu luar biasa, sebagai saksi bahwa dalam sepenggal sejarah Indonesia ada kejadian yang menyebabkan seperti itu. Sekecil apa pun yang mereka tulis, catatan harian atau surat kepada istri dan anak, pasti menjadi monumen berharga. Saya dan beberapa teman mau mencoba memunculkannya, tetapi sulit karena suasana ketakutan masih meliputi mereka.
Dengan segala kesulitan itu, penghargaan kepada penulis dibilang sangat kecil. Jadi, penulis tidak bisa hidup?
Itu betul jika Anda teguh pada pendirian. Namun, kalau Anda bisa berdamai dengan pasar, kenapa tidak. Ada penulis yang kabarnya kaya raya, kan? Mungkin mereka dapat bekal dari hati dan perasaan, diikuti, dan pasar menyambut. Mereka mungkin punya kepekaan lain, kaitannya dengan pemasaran.
Saya tidak pernah berpikir tema ini laku atau tidak untuk ditulis. Sebagai penulis cerpen, misalnya, saya tidak berpikir dulu mau dikirim ke mana tulisan ini. Begitu jadi, baru mikir.
Sekarang ini, mungkin dari dulu juga, ada—sebutannya bukan ghost writer, tetapi mungkin campur tangan—novel yang dicurigai ditulis orang lain, bukan si penulis, karena novel lanjutannya berbeda sekali dengan novel sebelumnya.
Sebagai teks, dia luar biasa. Yang tidak ada di sini adalah kejujuran. Kalau memang dikerjakan tiga orang, ya, sebut saja. Tahun 1920-an, Nur Sutan Iskandar sebagai redaktur Balai Pustaka menulis dua atau tiga novel sebagai ”Nur Sutan Iskandar dan seseorang”. Konstruksi pikiran saya, ada penulis tidak dikenal, mengirim tulisan. Dikembalikan sayang, ditolak sayang, akhirnya diperbaiki Nur Sutan Iskandar dan dia klaim tulisan itu sebagai novel dia bersama si pengirim.
Kenapa tidak dikatakan seperti itu saja? Itu lebih jujur. Orang juga tidak akan mempermasalahkan karena, sebagai teks, bagus. Bukan manipulasi, tetapi tidak orisinal. Integritasnya tercederai.
Apakah ada ketakutan sebagai penulis?
Kalau tulisan saya menyakiti hati orang lain. Dan, sampai sekarang tidak. Karena pada dasarnya saya mau berbagi apa yang menyentuh perasaan saya. Saya kira kalau itu niatnya, tidak akan menyakiti hati orang. Bahwa orang akan membaca, ’oh, cerita ini, kok, pikiran dasar sastranya ke kanan atau ke kiri’, itu tidak penting.
Masalahnya adalah bagaimana Anda menulis sesuatu dengan sepenuh hati dan menggetarkan hati. Tantangan zaman (bagi penulis) selalu itu. Kalau tidak menggetarkan, tulisan itu tidak akan berhasil.
Kita sama-sama manusia. Yang mempertemukan kita adalah perasaan. Kalau Anda memuja penjahat, orang pasti keberatan. Kalau Anda berpihak kepada korban, orang akan menerima. Coba Anda tunjukkan, ada tidak karya sastra yang memihak penindas. Tidak ada. Nurani orang selalu bertemu, si penulis ataupun pembaca.
Anda memiliki tantangan zaman sendiri. Tantangan yang dihadapi penulis zaman sekarang?
Kalau saya boleh jujur mengatakan, penulis sekarang ini punya referensi, artinya latar belakang bacaan, yang cukup. Yang kurang adalah pengalaman. Padahal, itu sangat penting. Tanpa dia mengalami, yang ingin dia sampaikan bobotnya kurang. Dulu, ada suatu metode penulisan karya yang dikenal sebagai turun ke bawah. Jadi, penulis makan, tidur, bekerja di kalangan yang menjadi tema dasar tulisan mereka. Dengan begitu, mereka bisa menghayati.
Hemingway, kalau bukan karena dia gemar memancing, tidak akan seintens itu bercerita dalam The Old Man and the Sea. Ada juga tulisan tentang Haiti dihantam badai. Paragraf pertamanya berbunyi, ”Rakyat kehilangan rumah. Presidennya juga tidak tahu mau tidur di mana.” Itu dahsyat. Kalau orang tidak mengalami, penulisan dengan gaya menyentuh dan menggetarkan tidak akan mungkin.
Nah, bagaimana Anda membuat dunia luar ini bagian dari diri Anda sehingga ketika diceritakan kembali betul-betul intens. Kalau tidak, jadi dangkal, imajinasi tumpul. Mau cepat jadi mungkin, saya tidak tahu.
Yang masih harus dikembangkan dalam dunia kepenulisan sekarang?
Yang menurut saya sekarang tidak tumbuh adalah kritik sastra. Penulisan ramai, tumbuh. Novel, cerpen, puisi apalagi. Di mana-mana orang bisa menulis. Pak Jassin (HB Jassin) pada zamannya mungkin bersyukur karena waktu itu setahun belum tentu ada satu novel. Dia bisa mengamati. Sekarang ini ribuan. Saya menyesalkan ada novel saya tentang perempuan yang berjuang menghadapi pabrik pulp yang merusak lingkungan dibilang kritikus sebagai novel tentang orang-orang PKI, padahal bukan. Mungkin dia tidak baca. Kalau mau jadi kritikus sastra, Anda harus banyak baca.
Martin Aleida
Lahir: Tanjung Balai, 31 Desember 1943
Pengalaman:
- Wartawan
- Sastrawan
Karya (buku, kumpulan cerpen, novelet, dan novel):
- Malam Kelabu, Ilyana, dan Aku (1998)
- Layang-layang Itu Tidak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi (1999)
- Perempuan Depan Kaca (2000)
- Leontin Dewangga (2003)
- Jamangilak Tak Pernah Menangis (2003)
- Dendam Perempuan (2006)
- Mati Baik-baik, Kawan (2009)
- Langit Pertama Langit Kedua (2013)
- Tanah Air yang Hilang (2017)
Penghargaan:
- Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (2004)
- Penghargaan Dokarim (2005)
- Anugerah Seni Kemenbudpar RI (2014)
- Kesetiaan Berkarya dari harian ”Kompas” (2014)
- Cerpen Terbaik ”Kompas” 2016 lewat “Tanah Air” (2017)