Sarah dan Musiknya
Kecintaan pada dunia musik tak serta-merta membuatnya bermuara pada pilihan sebagai musisi. Di usia relatif muda, 30 tahun, Sarah Deshita merupakan sosok penting di balik sejumlah festival musik besar yang digelar Ismaya Live. Mengutip lirik lagu ”Jika Kami Bersama” milik Superman Is Dead, Sarah mewakili ungkapan muda, beda, dan ”berbahaya” dengan ide-ide yang tak pernah kering, serta mimpi-mimpi besar yang ingin terus dikejar.
Tahun ini merupakan tahun keenam Sarah menduduki posisi sebagai Assistant Brand Manager Ismaya Live. Pada posisi itu, tugas Sarah mempersiapkan konsep perhelatan atau festival musik yang akan digelar Ismaya Live sejak sekitar satu tahun sebelumnya atau minimal 4-6 bulan sebelum perhelatan.
Tugas itu tak gampang, meliputi woro-woro tentang ajang yang akan digelar, woro-woro tentang dimulainya penjualan tiket, berbagai gimmick yang harus dipersiapkan hingga menjelang acara, juga kegiatan pendamping saat orang mulai menukarkan tiket yang sudah dibeli. Berbagai hal hingga detail terkecil dalam pelaksanaan festival harus dipersiapkan sejak awal karena bagi penonton, hal itu menjadi bagian dari pengalaman menikmati sebuah festival.
”Sebenarnya ketika kita bikin event atau festival, maka festival itu harus jadi pengalaman buat penonton. Pengalaman menikmati festival. Walaupun mungkin 80 persennya itu (tetap) musik, tapi yang harus kita pikirin adalah pengalaman semuanya, the whole package. Bagaimana seluruh event bisa super-memorable,” tutur Sarah, awal Juni lalu.
Siang itu kami berbincang di kantor Ismaya Live di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, di sela jadwal Sarah yang padat dengan beberapa rapat. Sarah tetap terlihat santai, ceria, dan penuh semangat. Sepanjang wawancara, tak jarang tawanya lepas berderai.
Menurut Sarah, pekerjaannya itu sebenarnya tidak jauh-jauh dari fungsi pemasaran yang ada di perusahaan lain. Perbedaannya terletak pada bagaimana cara memainkan branding festival yang akan digelar.
”Tak hanya branding the festival, tapi juga line up. Kita juga harus pikirkan lokasinya. Sebagai contoh, kita punya festival yang berbeda di JIExpo. Nah ini gimana caranya orang juga ngerti, DWP (Djakarta Warehouse Project) yang notabene dance music dan WTF (We The Fest) yang lebih banyak band-nya, vibe-nya beda. Bagaimana mengomunikasikannya,” kata Sarah.
Bersama tim sponsorship, Sarah juga harus memikirkan brand apa saja yang bisa digandeng agar selaras dengan konsep yang mereka usung dari awal. Menjelang pelaksanaan festival, baru Sarah akan menggandeng ketat tim operasional yang lebih banyak berhubungan dengan teknis pelaksanaan festival, seperti pengaturan penonton, keamanan, dan urusan medik.
Selesai? Belum. Saat festival berlangsung, jangan harap Sarah lantas bisa duduk tenang menonton para artis tampil di panggung. Begitu festival berjalan, setiap menit pun berpotensi tinggi memunculkan stres.
”Setiap menit pasti ada aja masalahnya dan itu sesuatu yang kita enggak bisa recall dari awal. Preventif ada kalau muncul masalah, misalnya hujan atau artis telat datang. Tapi pasti ada aja yang tiba-tiba muncul. Paling nonton tiga lagu lalu selalu ada panggilan di HT, Sarah kamu ke depan dong,” urainya terbahak. Panggilan itu menandakan sesuatu terjadi dan harus segera ditangani Sarah.
Kerja kreatif
Dengan pekerjaan yang begitu rupa, mulai awal hingga akhir, Sarah dituntut bekerja sama dengan banyak kepala yang biasanya juga sama-sama memiliki idealisme. Apalagi timnya juga bukan tim yang besar. Untuk divisi brand, total ada lima orang, termasuk Sarah.
”Keseluruhan, brand dan operation ada 17 orang. Tapi memang secara struktur masing-masing sudah tahu apa yang harus dilakukan. Sudah jalan, walaupun kepalanya keras semua karena kan kerja kreatif, setiap orang punya ide sendiri-sendiri. Tapi menyenangkan karena semua orang kerjanya juga happy. Jadi fun banget. Paling panik-paniknya kalau sudah mau event, kayak mau berantem semua,” kata Sarah disambung tawa.
Saat ini, sebenarnya sudah masuk masa-masa krusial karena sebentar lagi WTF akan digelar, yaitu pada 20-22 Juli, menghadirkan antara lain penyanyi peraih Grammy, Lorde dan James Bay. Masa persiapan makin menantang karena adanya libur Lebaran dan cuti bersama yang cukup panjang.
Meski begitu, baik Sarah maupun seluruh tim sudah memiliki pemahaman yang sama. Apabila sampai terjadi pertengkaran, itu semua murni karena alasan pekerjaan. ”Berantemnya lumayan sering dan lumayan parah. Tapi karena kami semua jalan bareng juga selepas jam kantor, kalau berantem ya cepat sadar. Enggak bisa lama-lama berantem karena gue butuh dia. Ini juga salah satu alasan bekerja dengan tim kecil, tiap ada masalah, ya, diberesin aja,” ujarnya ringan.
Tak heran jika Sarah sangat menikmati pekerjaannya. ”Amazing,sih. Kalau capek, sih, capek. Kerja pasti ada capeknya. Tapi setelah diurut-urutin sebenarnya capek karena kalau meeting macet di jalan. Bukan capek mikirin ide baru atau konsep,” katanya.
Bekerja di bidang kreatif dengan orang-orang kreatif, bagi Sarah, tak pernah membosankan. Justru setiap kali berhasil menyelesaikan satu perhelatan, mereka sudah berpikir apa lagi yang bisa mereka buat pada tahun berikutnya.
Salah satu kunci yang dipegang Sarah dalam melahirkan sebuah festival adalah konsisten dan relevan. Konsisten pada aspek penyampaian pesan, perjalanan, kampanye yang disampaikan, serta relevan. Artinya, mereka selalu melakukan banyak riset agar relevan dengan pasar yang disasar. ”Jadi nomor satu selalu berpikir kreatif, kedua konsisten dan relevan,” kata Sarah.
Tahun ini, selama satu tahun penuh, Sarah mengusung kampanye kebaikan pada festival-festival yang digelar Ismaya Live. Inspirasinya berangkat dari kondisi di media sosial, tempat orang sering kali berkomentar kasar.
”Aku pengin itu menjadi inspirasi. Jadi bukan kampanye tentang bikin sesuatu proud dan loud, tapi lakukan dengan cara yang nice. Banyak orang perlu jadi lebih baik satu sama lain,” papar Sarah.
Langkah itu, menurut Sarah, juga menjadi cara bagi Ismaya untuk lebih dekat dengan komunitas mereka. ”Aku enggak mau jadi promotor yang besar, tapi gap-nya malah jadi jauh, aku pengin merangkul orang-orang,” katanya.
Tak pernah puas
Saat ini bisa dikatakan, festival-festival musik yang digelar Ismaya Live telah menjadi festival yang cukup prestisius di dalam negeri. Kehadirannya pun selalu ditunggu orang. Meski begitu, tak pernah ada kata puas di kamus Sarah. Dia selalu merasa, dia baru saja memulai.
”Menurutku, kita baru aja mulai. Kita mungkin sudah gede, tapi baru buat Indonesia, Jakarta. Bukan untuk dunia. Jadi di satu sisi aku pengin limit my self, sudah tenang aja jangan segitunya ambisinya. Tapi lalu, kenapa tidak? Idenya adalah agar seluruh dunia bisa lihat,” papar Sarah optimistis.
Menurut Sarah, jika dibandingkan dengan festival-festival di Amerika atau Eropa, sebenarnya festival musik yang dimiliki Indonesia, termasuk yang digelar oleh Ismaya Live, sudah jauh lebih bagus. Sarah, sejak duduk di bangku kuliah, sudah rajin menonton konser dan festival musik ke banyak negara.
”Kita lebih jago bikin ini bikin itu. Mereka menang karena mereka punya line up, karena artisnya di sana semua. Nah, kalau kita yang di Asia bisa bawa artis kayak gitu, kan, keren banget. Idenya adalah bagaimana meletakkan Indonesia di peta itu meski enggak tahu kapan. Tapi kalau aku ditanya sudah puas atau belum, belum sama sekali,” ujar Sarah.
Jalan hidup
Lima tahun lalu, tak pernah terlintas dalam benak Sarah untuk melakoni pekerjaannya saat ini. Sarah bahkan sempat berniat pindah ke Bali karena ingin memulai hidup baru.
Toh, jalan hidupnya berkata lain. Sebelumnya, ia melakoni karier sebagai penyiar dan music director di sebuah radio swasta. Kerap bersentuhan dengan Ismaya, karena banyak membantu penjurian dalam berbagai ajang yang digelar Ismaya, akhirnya Sarah memutuskan untuk bergabung dengan Ismaya Live. Dengan catatan, apabila dalam waktu satu tahun dia tak betah, dia bebas meninggalkan pekerjaan itu dan terbang ke Bali.
”Setelah setahun, aku ditanya masih mau ke Bali enggak? Enggak,” kata Sarah tertawa dengan mata berbinar. Bagi Sarah, pekerjaan apa pun, asalkan tidak jauh dari musik, dia yakin akan baik-baik saja.
”Musik buat aku sudah kayak udara yang aku hirup. Aku enggak bisa bayangkan hidupku tanpa musik. Aku tahu ini klise, tapi emang kayak gitu,” katanya.
Kecintaan pada musik itu pula yang membuatnya justru tak ingin menjadi musisi. Ia tak mau mengotak-ngotakkan musik. Baginya, semua genre musik harus punya porsi yang sama di otak apakah pop, hip hop, rock, alternatif, hingga R&B.
”Jadi memang kayak udara yang aku hirup karena aku tidak bisa berpikir tanpa musik. Musik sudah ada di sistemku. Bangun tidur harus dengar lagu, aku masukkan semuanya di playlist, lalu lagu-lagu itu yang akan menentukan mood-ku sepanjang hari. Aku bangun dengar musik, di mobil dengar musik, di kantor juga. Pulang ke rumah juga, mandi iya, sebelum tidur juga. Eggak pernah ada hari tanpa musik,” ujar Sarah.
Satu hal yang ingin diwujudkannya kelak adalah membuat pengalaman menikmati festival musik intim yang murni menyuguhkan musik dan dikreasikan sedemikian rupa dengan tampilan 4D atau bahkan 6D. Dengan begitu, musik bisa menyentuh seluruh panca indera penonton.
”Harus possible,sih. Tapi aku enggak tahu kapan. Kalau bisa headliner-nya Radio Head dan aku akan mati bahagia,” kata Sarah dengan mata tak henti berbinar.
Sarah Deshita
Lahir: Jambi, 29 Desember 1987
Pendidikan:
- Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jurusan Psikologi (2005-2010)
- SAE Institute (Music Production) (2012-2013)
Karier:
1. Radio Host Mustang FM (Oktober 2006-Juli 2007)
2. Creative, OZ Radio Jakarta (Agustus 2007-Agustus 2010)
3. Creative, MTV Indonesia (September 2010-Desember 2010)
4. Music Director, OZ Radio Jakarta (Desember 2010 – Maret 2013)
5. Radio Host, OZ Radio Jakarta (Juli 2007-Oktober 2017)
6. Asst. Brand Manager (Live Event Division) Ismaya Group (Maret 2013-sekarang)
Penghargaan: - The Show Masters, Rolling Stone Indonesia Editors’ Choice Awards (untuk Ismaya Live), 2015