Amputasi Kesadaran
Teknologi, dalam hal ini media sosial, telah mengamputasi kemanusiaan. Ketika segala informasi menjadi mudah didapat, manusia malas mengingat, malas menghafal, dan malas membaca. Lama-kelamaan manusia kehilangan rasa dan empati pada sesama.
Itu terjadi lantaran media sosial yang dikonsumsi masyarakat kita dilepaskan begitu saja tanpa bingkai nilai. Kita bahkan gagap dan baru bertindak tatkala dampak dari teknologi tanpa bingkai nilai tersebut telanjur merusak tatanan bermasyarakat.
Hal itu antara lain menjadi kegelisahan peminat kajian media dan budaya kritis, gaya hidup, serta komunikasi politik, Idi Subandy Ibrahim. Dia mengutarakan itu dalam perbincangan dengan Kompas di rumahnya yang teduh di kawasan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Rabu (4/7/2018).
Apa yang paling meresahkan Anda tentang dunia digital sekarang ini?
Banyak kemudahan yang diberikan media sosial. Dalam dunia pendidikan, sosial, dan politik, kalau kita bisa arif dan bijak. Dalam pendidikan, misalnya, segala sumber informasi begitu mudah kita dapatkan. Ke mana pun kita berkomunikasi, jarak dekat dan jauh itu hampir tidak ada bedanya. Semuanya real time. Peristiwa yang jauh sama kita resapi dengan peristiwa yang dekat. Malah dalam beberapa hal kita lebih peduli dengan peristiwa yang jauh.
Akan tetapi, kekhawatiran saya adalah ketidaksiapan dalam aspek nilai sosial dan penggunaan teknologi media sosial. Jadi, aspek nilai manusia dan aspek budaya itu kita lemah.
Hampir semua negara yang menguasai hardware (perangkat keras) teknologi, mereka kuat dalam penguatan nilai dan budaya itu sehingga mereka tidak berada dalam kontrol media, melainkan mengontrolnya. Mereka tidak melepas teknologi itu begitu saja. Nah, di kita, teknologi berkembang seolah tanpa bingkai nilai. Akhirnya kita semua disorientasi. Kaget.
Kita menganggap anak akan dengan sendirinya menjadi dewasa dengan menggunakan media sosial tanpa kita bimbing. Padahal, setiap produk teknologi itu mengonstruksi budaya yang berbeda. Ketidaksiapan itu juga kita alami bersama sebagai orang dewasa.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Dulu dalam tahap budaya lisan, kita biasa tatap muka. Langsung menyampaikan sesuatu dan dijawab langsung. Kita tahu orangnya. Ini melahirkan budaya menghafal. Setelah itu muncul budaya tulis, orang membekukan ingatan. Pada titik ini sebenarnya terjadi kekacauan otoritas karena hal-hal yang selama ini dihafal itu dikuasai banyak orang.
Lalu kita merasa bahwa budaya menulis dan membaca perlu didokumentasikan, menghasilkan perpustakaan. Akan tetapi, perpustakaan kita tidak berkembang di dalam hampir semua bidang. Sebab, budaya tulis dan baca kita lemah. Budaya tulis mungkin tumbuh, tetapi budaya bacanya masih lemah.
Lalu muncul budaya lisan kedua, yakni mendengar lewat radio, ketika budaya baca belum tumbuh. Radio jadi perpanjangan telinga. Budaya dengar memperlemah budaya baca karena tidak perlu berkonsentrasi dalam mendengar. Bisa sambil lalu. Mendengar (hear) berbeda dengan mendengarkan (listen). Bangsa kita biasa mendengar, tetapi tidak mendengarkan.
Kemudian disusul budaya mendengar ketiga, yakni televisi. Ini juga memunculkan budaya baru yang menimbulkan kemalasan mengingat karena belum tumbuh budaya menulis dan membaca tadi.
Nah, budaya lisan kedua dan ketiga ini, menurut saya, semakin menumpulkan budaya baca dan tulis tadi. Dalam arti budaya masyarakat dan jurnalisme juga. Menjadi simplistis, sederhana, sebab bahasa yang sulit tidak menarik. Kita mengonstruksi sesuatu bahwa yang simplistis itu bagus dan yang rumit itu tidak bagus dan tidak menarik. Padahal, itu dua hal yang berbeda.
Nah, ketika budaya lisan tumbuh, muncul internet. Ini budaya hibrid yang mencampurkan segala hal. Ini mengubah segalanya. Media dalam genggaman. Orang tidak lagi berkomunikasi dengan mulut, tetapi dengan jari. Kita banyak kehilangan kebiasaan, malas menulis malas membaca. Orang yakin ke mana pun pergi, bisa bertanya pada internet. Orang jadi malas mengingat.
Apakah itu bisa menjawab mengapa hoaks menjadi laris?
Iya. Sebenarnya dalam budaya lisan pertama yang sederhana sampai budaya media sosial yang paling kompleks, orang merindukan sesuatu yang baru. Apa pun itu asal ada kebaruan yang berkelebat di dalam gawainya, selalu menjadi pembicaraan. Termasuk hoaks di dalamnya. Hoaks lalu diproduksi karena laku.
Di satu sisi dituntut ada nilai dan akal budi dalam berkomunikasi, tetapi pada saat yang sama ada yang sengaja memproduksi hoaks. Bagaimana tumpang tindih ini bisa terjadi?
Dalam setiap kekacauan selalu ada pihak yang diuntungkan dan selalu ada korban. Sebenarnya, orang baik dan jahat itu selalu ada. Sekarang yang membedakan hanya lapangan permainannya. Dulu di dunia nyata, sekarang maya. Bisa jadi orang yang sama atau berbeda. Di dunia maya, semuanya begitu mudah karena kita membiarkan sejak awal.
Kita selalu terlambat. Setelah muncul penyakit, baru bertindak. Padahal, sejak awal kita sudah tahu dan bisa menebaknya. Kasus Tik-Tok bisa menjadi contoh. Ramai, lalu ditutup setelah muncul keresahan.
Apakah sama sekali sudah terlambat? Bagaimana kita mengatasi persoalan nilai dalam teknologi atau media sosial itu?
Karena semua yang kita pakai adalah buatan orang lain, merekalah yang mengontruksinya kepada kita. Oleh karena itu, kitalah yang harus mengonstruksi teknologi itu untuk kebutuhan kita. Artinya, kita harus merebut teknologi itu. Kedua, kita bisa mendesain nilai itu untuk teknologi yang ada. Bisa lewat kebijakan politik, pendidikan, dan komunikasi. Beberapa negara membatasi media sosial. Mereka tidak melarang, tetapi membatasi. Nah ini contoh membangun nilai lewat kebijakan tadi.
Kalau kita serahkan ke pasar, kita akan menyesal. Ini yang terjadi pada kita. Kita, sebagai orang dewasa, menyuruh anak SD, SMP, dan SMA pakai gawai yang sama. Yang salah pemerintah, pendidik, sampai orangtuanya.
Nilai yang membingkainya tidak ada. Ini kekacauan dalam berteknologi, seolah bebas nilai, padahal tidak. Yang mendesain teknologi itu pasti dengan tujuan. Kalau negara melepas teknologi, kita pasti mengalami disorientasi.
Bagaimana Anda mendidik anak cerdas bermedia sosial?
Saya selalu memberi contoh orang-orang yang berhasil dalam dunia digital. Lalu saya yakinkan bahwa mereka orang-orang baik. Selain itu, kami batasi dengan jam. Kita juga jangan bosan mengalihkan anak untuk melakukan hal lain yang berguna. Misalnya, dengan seni. Saya juga ajak jalan-jalan. Dia bermain keyboard, piano, biola. Cari kegiatan yang sifatnya fisik dan menantang sesuai usia anak.
Saya ingin mengatakan bahwa teknologi tidak boleh kita musuhi. Teknologi itu bagian perkembangan yang membantu kita meningkatkan kemanusiaan, tetapi bisa juga menciptakan bencana. Anak harus bisa menggunakan untuk hal yang baik.
Dampak teknologi tanpa bingkai nilai menciptakan anak-anak gaul, tetapi belum siap mental. Mereka menjadi asosial, bahkan antisosial. Mereka tidak menghargai orang dewasa. Ungkapan-ungkapannya begitu bebas karena mengaplikasikan ungkapan yang mereka temui di media sosial ke dalam kehidupan nyata.
Sikap hormat dan sopan santun mulai hilang, tetapi banyak orangtua menganggap itu wajar karena dianggap bagian dari egaliterianisme. Padahal bukan.
Adakah hubungan antara fenomena tadi dengan sikap pengguna media sosial yang mudah mencaci maki?
Persis. Sopan santun, etika, empati, dan kerendahan hati itu mulai hilang, padahal negara kita dikenal dengan kriteria-kriteria seperti itu. Media sosial menjadi saluran katarsis untuk memaki orang. Lalu menggiring orang untuk ikut marah. Kita memolitisasi, mengomodifikasi kemarahan sehingga setiap orang berhak kita maki dan kita hancurkan.
Dulu, kemarahan itu tidak dirayakan. Kemarahan paling banyak hanya dalam demonstrasi. Sekarang dirayakan dan disebarkan ke mana-mana. Bayangkan betapa sulitnya bagi orang yang tidak bersalah dalam mengembalikan nama baiknya karena telanjur dihakimi dan dimarahi di media sosial. Katanya bangsa kita pemaaf, tetapi media sosial menunjukkan sebaliknya.
Kenapa kemarahan ini mudah menjadi viral?
Kita mengalami keretakan komunikasi. Sekian lama kita hidup dalam komunikasi yang serba tertekan. Media sosial menjadikan semua orang merasa aman melakukan apa pun. Dari sisi perkembangan komunikasi, kebebasan berbicara, dan berekspresi. Orang terbiasa berdebat, bicara deliberasi, tetapi deliberasi juga menghargai perbedaan, bukan orang harus sama dengan kita. Inti deliberasi itu kita menerima perbedaan, tetapi juga menerima keputusan bersama. Namun, di media sosial ada pemaksaan.
Yang mengecewakan juga cara patron, orang-orang atas berkomunikasi. Masyarakat kita berorientasi ke ”atas”. Definisi apa itu ”atas” kabur. ”Atas” adalah orang memiliki banyak uang, orang yang memiliki kekuasaan. Namun, ”atas” bukan orang yang baik, sebab orang yang baik akan diperdebatkan. Baik versi siapa. Kalau orang yang punya uang dan kuasa ini tidak matang dalam berkomunikasi, masyarakat bawah atau klien ini lebih dari itu.
Sebab, masyarakat bawah ini tidak hanya merujuk, tetapi merasa menemukan pelindung ketika melakukan hal yang sama (dengan patron). Lalu kelompok di luar mereka bisa dianggap sebagai musuh. Ini yang terjadi saat ini. Kita belum menjadikan orang yang berbeda sebagai rekan dalam mencari jalan keluar dari persoalan. Kita jarang menemukan orang yang berpikir, ”Kalau saya yang salah, mungkin dia yang benar.”
Lantas, apa makna teknologi atau media sosial itu?
Marshall McLuhan (ilmuwan komunikasi) selalu mengatakan teknologi itu perpanjangan tangan manusia. Roda adalah perpanjangan kaki sehingga kita bergerak lebih cepat. Televisi adalah perpanjangan mata. Radio adalah perpanjangan telinga.
Akan tetapi, saya mengatakan dalam teori saya yang belum matang, teknologi adalah amputasi kemanusiaan. Ketika kita menemukan roda, kaki kita seperti dipotong. Kurang bergerak akhirnya timbul beragam penyakit. Sekarang kita melompat ke dunia digital, yang dipotong adalah kesadaran kita terhadap ruang dan waktu.
Otak juga ikut diamputasi. Kita jadi malas mengingat, apalagi menghafal. Padahal, mengingat itu mengasah otak. Jadi, media sosial menumpulkan kapasitas indera dan kapasitas manusia. Kita mengalami disorientasi.