Gotong Royong Itu ”Jazzy”
Musisi Djaduk Ferianto menjadikan semangat dekonstruksi sebagai roh dari aktivitas keseniannya. Ia menolak masuk zona nyaman dan menjadi bagian dari kaum mapan. Melalui berbagai karyanya, Djaduk mencoba menggoyang berbagai pakem dan standar yang sudah ada sebelumnya.
Bersama sejumlah rekannya, Djaduk juga memelopori beberapa acara kesenian dengan konsep yang tidak biasa, seperti Festival Musik Ngayogjazz yang digelar sejak 2007 di Yogyakarta serta acara Jazz Gunung yang diadakan di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, sejak 2009.
Dalam Ngayogjazz, Djaduk dan teman-temannya mencoba mendekonstruksi anggapan sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap jazz sebagai musik kelompok elite. Saat berbincang dengan Kompas, Rabu (18/7/2018), Djaduk bahkan membandingkan musik jazz dengan kesenian jathilan. Putra seniman Bagong Kussudiardja itu juga menyebut budaya gotong royong dalam masyarakat Indonesia sangat jazzy.
Berikut wawancara dengan Djaduk yang dilakukan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, di sela-sela persiapan acara Jazz Gunung Bromo 2018 pada 27-29 Juli mendatang:
Bagaimana cerita awal mula penyelenggaraan Ngayogjazz?
Ngayogjazz itu bukan acara komersial. Awalnya saya bersama beberapa teman, seperti Mas Hattakawa dan Vindra (Novindra Diratara), ingin buat festival musik di Malioboro (kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta). Kita desain, akhirnya kita memunculkan nama Ngayogjazz. Kenapa jazz? Kita melihat jazz itu genre musik yang sangat terbuka.
Tapi ketika kita mau jalan, tiba-tiba ada gempa bumi di Yogyakarta (tahun 2006). Jadi, rencana kami terhenti. Setelah gempa, rencana itu muncul lagi. Beberapa teman ikut bergabung, misalnya, Mas Aji Wartono, Mas Hendy Setyawan, Mas Bambang Paningron, Mas Arief Dagadu (Ahmad Noor Arief pendiri usaha kaus Dagadu). Jadi, kami ada tujuh orang sebagai pendiri Ngayogjazz. Dan, kami akhirnya tidak memilih menggelar Ngayogjazz di wilayah kota, tetapi di desa-desa. Dan, memang akhirnya terjadi suatu interaksi yang menarik.
Kita kerja sama dengan warga desa sebagai pemilik venue (tempat) dalam kepanitiaan sehingga bisa mengedukasi masyarakat setempat bagaimana membikin event. Namun, kita juga belajar kepada masyarakat tentang kearifan lokal.
Bisa dikatakan dari Ngayogjazz itu yang mendapat keuntungan ekonomi, ya, warga desa, misalnya, dari retribusi parkir kendaraan, penjualan makanan, dan lain-lain. Namun, intinya Ngayogjazz itu adalah bagaimana mempersiapkan masyarakat pendukung produk seni. Istilah kami, ini suatu investasi kultural. Tahun kemarin, ada 30.000 orang yang datang ke Ngayogjazz. Jadi, hajatan Ngayogjazz itu bukan hanya milik panitia, tetapi milik semua warga.
Di Ngayogjazz, sering kali hal-hal yang kontras bertemu dan campur aduk, misalnya, pentas musik jazz digelar di dekat kandang ayam atau kuburan. Kenapa ini dilakukan?
Ngayogjazz itu memang mendekonstruksi semuanya. Jadi, kadang dianggap tidak sopan dan tidak higienis. Justru itu kekuatan kami. Kalau dalam bahasa musik, mungkin dianggap disharmonis. Namun, disharmonis itu justru harmonis bagi saya. Justru tabrakan-tabrakan itu yang membuat orang setiap tahun menunggu Ngayogjazz. Di Ngayogjazz, semua logika kita jungkir balikan, baik dalam memilih tema maupun memilih venue.
Kenapa dulu memilih menggelar acara jazz, sementara sebagian masyarakat Indonesia menganggap jazz sebagai musik yang berat dan elitis?
Itu, kan, persepsi di Indonesia yang menganggap jazz seakan-akan musik yang elite dan sulit. Padahal, kalau lihat sejarah panjangnya, jazz itu bisa dikatakan sebagai musik perlawanan. Semangat perlawanan itu yang menurut saya menarik. Jazz itu berkembang sampai hari ini pun dengan sangat terbuka. Jadi, ketika di Indonesia jazz dianggap elite, ya, kita dekonstruksi.
Jazz itu, kan, podho wae karo (sama dengan) jathilan, podho wae karo ledek gogik, semangatnya sama, sebagai kesenian rakyat. Kebanyakan dari kita itu memahami jazz hanya dalam aspek memainkan repertoar, sementara saya meyakini, jazz itu suatu perilaku, jazz adalah suatu kehidupan, bukan sekadar memainkan repertoar.
Semangat yang ada dalam jazz itu sama dengan semangat yang ada di kesenian-kesenian tradisional kita. Hanya alatnya yang berbeda, tetapi semangatnya sama. Jazz itu sekarang bukan hanya milik Amerika, tetapi milik dunia.
Jadi, tinggal bagaimana kita memperlakukan jazz. Saya sebagai orang Indonesia, punya statement sendiri tentang bagaimana memahami jazz.
Bagaimana pandangan Anda tentang jazz?
Kalau jazz disikapi hanya sebagai permainan repertoar, kami sudah tidak di situ. Bagi kami, yang penting justru memahami jazz sebagai suatu kehidupan. Ketika ngomong jam session, itu bukan di atas panggung saja.
Bagi saya, budaya gotong royong dalam masyarakat Indonesia itu juga sebuah jam session yang betul-betul riil, real jazz. Dalam gotong royong itu, kan, semua orang tidak perlu diperintah, tetapi bekerja berdasar kode-kode dari orang lain.
Dalam jam session, kan, juga kayak gitu, para pemain hanya membaca kode-kode. Semangat jazz itu ada di mana-mana di Indonesia. Yang paling gampang, ya, gotong royong itu. Gotong royong itu sangat jazzy banget.
Teman-teman musisi lain boleh mempunyai cara pandang yang lain, tetapi saya tidak mau terjebak sekadar bermain teknik jazz. Kalau hanya sekadar bermain teknik, saya takut hanya menjadi peniru, menjadi epigon.
Makanya, saya selalu memprovokasi teman-teman musisi jazz muda di Yogyakarta untuk membikin karya sendiri, tidak harus menjadi peniru. Bahkan saya bilang ke mereka, kalian boleh mendekonstruksi apa itu jazz. Inilah yang membedakan pandangan saya dengan teman-teman musisi jazz. Lha wong saya ini lahir dari dunia gamelan.
Setelah menggagas Ngayogjazz, Anda juga terlibat menggagas Jazz Gunung yang digelar di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur. Kenapa?
Dua tahun setelah saya dan teman-teman bikin Ngayogjazz, Pak Sigit Pramono (mantan Ketua Umum Perhimpunan Bank- bank Umum Nasional) mengajak saya dan Mas Butet (seniman teater Butet Kartaredjasa yang juga kakak kandung Djaduk) untuk menggagas Jazz Gunung. Waktu itu, pariwisata di sekitar Gunung Bromo sedang menurun karena ada kasus Lapindo. Jadi, Pak Sigit mengajak saya dan Mas Butet untuk membuat acara jazz di Bromo untuk membantu pariwisata di sana.
Tahun pertama itu Kua Etnika (kelompok musik yang didirikan Djaduk) yang main. Saat itu, amfiteater yang dipakai untuk main masih kecil, kapasitasnya hanya 300 penonton dan itu pun enggak penuh. Lama-lama makin besar dan sekarang amfiteaternya udah gede dengan kapasitas 2.000 penonton dan tahun kemarin itu full. Sampai sekarang Jazz Gunung merupakan salah satu event jazz yang unik karena digelar di tempat ketinggian. Beberapa pengamat dan penulis jazz dari luar juga pada datang dan memberi respons positif.
Apakah semangat dekonstruksi—yang terlihat dalam penyelenggaraan Ngayogjazz—juga menjadi semangat Anda ketika berkarya?
Ya. Jelas. Dari awal saya memang sadar betul tentang itu (semangat dekonstruksi), termasuk mendekonstruksi diri saya sendiri. Saya selalu gelisah kalau harus masuk zona aman. Dan, itu menjadi magma kreatif saya karena kalau enggak saya masuk zona aman dan mapan.
Dengan semangat dekonstruksi itu, bagaimana Anda melihat kesenian tradisional seperti gamelan?
Sama seperti jazz, gamelan itu bukan benda dan tidak sekadar perkara memainkan repertoar. Gamelan itu menjadi suatu kehidupan. Dalam mempelajari gamelan, ada ruang sosial, ruang ekonomi, dan ruang politik, tetapi itu kayaknya tidak pernah disentuh. Kebanyakan pihak hanya membicarakan teknik bermain gamelan, lalu ada jargon-jargon bahwa gamelan itu adalah produk kesenian adiluhung.
Jargon adiluhung itu yang akhirnya membikin anak-anak muda tidak leluasa untuk berekspresi dan bahkan anak-anak muda itu kadang dicurigai oleh yang tua-tua kalau membikin sesuatu yang baru. Padahal, menurut saya, anak-anak muda itu bukannya tidak konsen pada tradisi, tetapi mereka baru menciptakan tradisinya sendiri. Saya mengalami hal itu. Dalam proses kreatif saya, saya banyak dicecar dan dituduh merusak. Namun, yawis ben (ya biarinaja).
Djaduk Ferianto
♦
Lahir: Yogyakarta, 19 Juli 1964
Istri: Bernadette Ratna Ika Sari
Anak: I Gusti Arirang, K Ratu Hening, G Presiden Dewa Gana, K Rani Nyari Bunyi, E Rajane Tetabuhan.
Pendidikan: Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.
Karya Musik Film dan Sinetron antara lain:
- Kucing Pak Selatiban, Dongeng Ndangdut, Bulan Pun Terpejam, Oom Pasikom Arak-arakan, Badut-badut Kota Cemeng-2005 Soero Buldog, Menghitung Hari, Daun di Atas Bantal.
- Menyelenggarakan Ngayogjazz Sejak 2007.
- Menyelenggarakan Jazz Gunung, bersama Sigit Pramono dan Butet Kartaredjasa sejak 2009.
♦♦ Penghargaan antara lain:
- Piala Vidia Festival Sinetron Indonesia sebagai Penata Musik Terbaik, 1985.
- Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia.