Dedikasi pada Tenun Sumba
Sejak kecil, Umbu Ignatio (44) akrab dengan kain yang ditenun ibunya, baik untuk keperluan keluarga sendiri maupun dijual demi belanja hidup sehari-hari. Tumbuh dewasa, ia berupaya agar kain yang lahir dari akar budaya itu bisa menyejahterakan dan terpelihara. Bukan sekadar komoditas pada rantai perdagangan yang meninggalkan perajin.
Umbu menilai, selama ini para petenun lebih banyak menjadi obyek dalam kegiatan produksi kain. Hasil keahlian mereka tak lebih dari sekadar barang jualan di tangan para pengepul dan tengkulak, yang membeli dengan harga semurah mungkin dari para perajin untuk dijual kembali dengan harga setinggi-tingginya.
Ketimpangan itu disaksikan sendiri oleh Umbu. Selepas sekolah menengah atas (SMA), ia mulai berdagang kain tenun hasil produksi keluarga dan perajin daerahnya. Dia berjualan ke Pulau Bali. Sejak itu, perlahan terbentuk keyakinan di dada Umbu bahwa kain tenun Sumba seharusnya menjadi jalan untuk memberdayakan masyarakat di daerahnya. Meski ia lahir dan bertumbuh dalam lingkungan yang sederhana, usikan di benaknya itu menerbitkan visi yang dampaknya jauh ke depan.
Bersama Yori Antar, arsitek yang juga pendiri Rumah Asuh, serta sejumlah rekan lain, Umbu pun mewujudkan mimpinya mendirikan rumah-rumah tenun di sejumlah kawasan Sumba Timur. Berikut petikan perbincangan dengan Umbu saat ditemui di sela-sela pembukaan pameran kain tenun Sumba, Sumba’s Silk Road, Senin (30/7/2018), di Galeri Bengkel Kerja Han Awal & Partners, Tangerang Selatan.
Bagaimana awalnya bisa mencintai kain tenun Sumba?
Saya lahir dari keluarga petenun. Hampir semua anggota keluarga saya petenun, termasuk ibu saya. Bagi perempuan Sumba, menenun itu kewajiban. Seorang perempuan Sumba harus bisa menenun kain untuk suaminya, terutama untuk dipakai dalam upacara-upacara adat, seperti pernikahan, kelahiran, bahkan sampai kematian, termasuk kematiannya sendiri.
Kain tenun Sumba (hinggi) memiliki nilai spiritual, baik digunakan sebagai mahar pernikahan maupun untuk menutupi jenazah. Seorang perempuan Sumba biasanya akan membuat sendiri tiga lembar kain tenun. Satu set (dua lembar kain) untuk digunakan dirinya sendiri dan satu set untuk suaminya. Satu kain lagi kelak diberikan kepada anak perempuannya saat menikah.
Nantinya si anak perempuan akan menenun kain untuk suaminya dengan mencontoh kain dari ibunya. Dengan cara itulah motif kain tenun yang dibuat dalam satu keluarga akan diwariskan secara turun-temurun. Motif-motif kain tenun Sumba juga mengandung simbolisasi dan nilai-nilai. Seorang istri akan menenun kain bermotif sesuai sifat kepemimpinan dan gambaran tentang suaminya.
Apa yang mendorong Anda berupaya mengangkat kain tenun Sumba, juga para petenunnya?
Sejak dahulu ada banyak orang datang ke kampung kami membeli kain tenun. Selain itu, para ibu petenun juga pergi ke pasar inpres untuk menjual kain hasil tenunan mereka. Saat tamat SMA, saya coba membantu keluarga dengan berjualan sendiri kain-kain tenunan produksi mereka. Waktu itu, saya menjual ke Pasar Tenganan, Bali.
Saya banyak belajar dari pariwisata di Bali. Masyarakat di sana memperkenalkan hasil karya mereka lewat berbagai kegiatan promosi budaya. Hal itu mendorong saya semakin tertarik membawa dan memasarkan kain tenun Sumba.
Saya melihat banyak di Bali yang sangat sukses hanya dari berjualan kain tenun Sumba. Mereka sebatas memperjualbelikan. Tidak sampai memperkenalkan seperti apa kain tenun Sumba. Tak pernah menjelaskan apa keistimewaan satu motif tenun dari daerah-daerah penghasil yang berbeda-beda.
Buat saya, hal itu sangat perlu. Pembeli harus tahu informasi seperti itu. Misalnya, apa motif khas satu daerah, bagaimana membuatnya, apa arti dari simbol-simbol di kain tenunan itu. Ada apa saja di daerah tempat motif itu berasal. Informasi dan pengetahuan seperti itu menurut saya harus diberitahukan kepada pembeli, termasuk juga ke anak-anak, supaya mereka tahu kekayaan budaya mereka.
Kemudian, saya berinisiatif mengajak keluarga dan warga di daerah saya agar memproduksi secara berkelompok dan hasilnya saya pasarkan. Sambil memasarkan, saya terus mengedukasi pembeli sehingga mereka tahu kain tenun Sumba yang mereka beli. Saya juga coba terus cari peluang pasar baru selain Bali, seperti ke Jakarta dan Surabaya.
Bagaimana bisa muncul ide mendirikan rumah tenun?
Saya prihatin para pengepul datang ke sentra-sentra kain tenun, lalu menjual ke luar daerah tanpa mereka memublikasikan apa itu tenun Sumba. Saya berpikir kita harus bisa keluar dari persoalan seperti itu. Kalau tidak, kita tak akan pernah maju.
Dengan membuka sentra-sentra kain tenun Sumba, kita bisa melangkah ke tahap berikutnya. Bergerak satu langkah dari sebelumnya. Dalam prosesnya, saya kemudian dipertemukan dengan Pak Yori Antar, seorang arsitek dan juga pendiri Rumah Asuh.
Beliau membantu mencarikan donatur untuk mendirikan rumah tenun di kawasan Sumba Timur. Sebelumnya memang ada juga yang menawari saya membantu bangun, cuma banyak persyaratan. Saya tidak mau terikat syarat macam-macam. Saya juga tidak pernah bikin proposal permohonan dana.
Rencana kami ingin mendirikan setidaknya 12 rumah tenun di kawasan Sumba Timur. Rumah tenun yang pertama kali didirikan di daerah saya, Haumara. Sekarang sudah ada delapan rumah tenun, berada di tiap-tiap sentra pembuatan. Setiap sentra punya kekhasan sendiri. Ada tujuh rumah tenun yang produksinya memakai pewarna alam, satu lagi menggunakan pewarna kimia di Palindi.
Apa manfaat dari keberadaan rumah tenun?
Selama ini, para petenun menjual kain tenun yang mereka produksi lewat saya. Sekarang, dengan adanya rumah tenun, para wisatawan bisa datang dan melihat sendiri bagaimana proses pembuatannya. Bertemu langsung dengan para petenun dan mereka bisa membeli langsung dari perajin. Dengan begitu, semua bisa terkena dampak.
Sejak lama saya berkeliling dan mendatangi para petenun di beberapa sentra tenun di Sumba Timur. Saya bicara pada mereka, mencari tahu apa kelebihan produk mereka, seperti motif-motif dan teknik pembuatan atau pewarnaan khas. Saya blusukan.
Saya juga coba bangun komunikasi dengan cara mengajak beberapa dari para petenun tadi pergi ke Bali atau Jakarta supaya mereka bisa lihat sendiri bagaimana kain tenun yang mereka buat sangat dihargai dan dijual dengan harga tinggi.
Dengan membangun komunikasi seperti itu, mereka percaya dan mau bekerja sama, termasuk untuk membangun rumah tenun. Setiap rumah tenun yang sudah ada sekarang menaungi 20-50 petenun. Mereka bisa datang ke rumah tenun dan bekerja beramai-ramai, misalnya ketika dijadwalkan kunjungan wisatawan. Jadi, semacam showcase.
Mereka juga bisa datang dan menenun di sana tanpa perlu ada wisatawan. Alat menenun disediakan. Mereka boleh saja pakai alat itu untuk bekerja. Dengan keberadaan rumah tenun, terutama di Haumara, kondisi para petenun sekarang jauh lebih baik. Dulu, rumah mereka sangat tidak layak, sekarang bisa perbaiki rumah, menyekolahkan anak, bisa beli sepeda motor.
Konsumen dan petenun bisa bertemu langsung di rumah tenun. Itu tak merugikan bisnis Anda?
Memang banyak teman saya protes. Mereka bilang, kenapa Pak Umbu buka semua terang-terangan begitu. Bukankah artinya merusak periuk nasi sendiri? Saya bilang, semua itu ibarat keran air. Kalau terus ditutup, airnya tak mengalir. Jika dibuka, air akan mengalir dan aliran-aliran baru akan terus datang. Jadi, soal periuk nasi biarlah, ada Yang Di Atas Yang Maha Mengatur.
Kalau kita tak buka sekarang, kapan lagi waktunya mempromosikan sentra-sentra kain tenun Sumba. Kita ingin berpromosi, tetapi (kalau) tak pernah terus terang membuka di mana sentra-sentra kain, kita tak akan pernah maju. Para petenun juga bisa ikut menceritakan kekhasan kain buatannya langsung kepada pembeli.
Jadi, tidak semata soal bisnis atau melulu soal uang. Kita harus juga bisa membangun sesuatu untuk masyarakat dan sosial.