Harmoni Sepotong Bambu
Dalam sepotong bambu terkandung ajaran para leluhur. Kekosongan ruang di dalamnya justru memberikan kesempatan kepada manusia untuk memberi daya semesta. Aliran energi itulah yang kemudian mewujudkan harmoni dalam bentuk musik. Keselarasan hidup manusia tercipta dari ruang kosong yang diisi energi semesta.
Bertolak dari kesadaran itulah, sesepuh Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah (86), melakukan pembaruan pada cara memainkan gong renteng. Alat musik yang digunakan dalam banyak ritual ini sangat jarang dimainkan. Oleh sebab itu, Rama Djati meminta seorang seniman melakukan transformasi dari instrumen gong berbahan logam ke bilah-bilah bambu. Terciptalah kemudian angklung takol, yang memiliki laras sama dengan gong renteng dan dimainkan dengan cara dipukul.
Transformasi dari gong logam menuju instrumen bambu, menurut Rama Djati, sangat memengaruhi proses regenerasi. Di tataran tanah Sunda, instrumen bambu memang lebih populer dibandingkan gong atau gamelan sekalipun. Proses transformasi yang dilakukan pada 2013-2015 itu terbukti menghidupkan laras- laras gong renteng pada bilah-bilah bambu.
Berikut wawancara Kompas dengan Rama Djati, Rabu (5/9/2018), di kediamannya, Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan. Rama Djati didampingi putri bungsunya, Dewi Kanti Setianingsih (43), yang turut melengkapi hasil wawancara.
Rama Djati merupakan cucu Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939), yang dikenal sebagai perintis ajaran Sunda Wiwitan. Ajaran Pangeran Madrais pernah dikenal sebagai Agama Djawa Sunda atau ADS, yang menggali nilai kearifan lokal masyarakat Sunda.
Seperti agama-agama lain di dunia, ajaran Sunda Wiwitan mengakui keesaan atau ketunggalan Tuhan. Ini terpatri di dalam penamaan rumah adat Sunda Wiwitan yang diberi nama Paseban Tri Panca Tunggal.
Tri Panca Tunggal mengiaskan angka tiga, lima, dan satu. Tiga mengacu pada karunia naluri, rasa, dan pikir sebagai kekuatan yang dimiliki manusia. Panca mengacu lima hal tentang kelengkapan pancaindra kita. Kemudian, satu untuk ungkapan penyatuan manusia dengan Sang Maha Kuasa yang tunggal.
Selain soal regenerasi, apa nilai penting dari melakukan proses transformasi dari gong renteng ke angklung takol itu?
Melalui seni, kita menyampaikan suatu ajaran. Seni memiliki bahasa yang universal dan seni digunakan untuk suatu pemaknaan. Di Cigugur, dulu dikenal seni gong renteng.
Namun, kemudian terjadi persoalan regenerasi pemain gong renteng di Cigugur. Para pemain gong renteng makin sedikit. Yang tersisa pun akhirnya bekerja menjadi kusir delman. Untuk regenerasi pemain gong renteng, saya membuat sesuatu yang baru. Itu karena anak muda selalu menyukai sesuatu yang baru. Saya lupa, kapan tahunnya.
Saya meminta seorang pembuat angklung di Cigugur membuat angklung, tetapi dimainkan seperti gong renteng yang ditabuh. Cara memainkannya tidak boleh dengan digoyangkan. Harus ditabuh seperti bermain gamelan.
(Nama pembuat angklung itu Pendi, rumah tinggalnya tidak jauh dari Paseban Tri Panca Tunggal. Setelah dikonfirmasi kepada Pendi, pencetusan ide Rama Djati itu terjadi tahun 2013-2015).
Apakah berhasil melakukan transformasi itu?
Saya minta supaya ada sesuatu yang baru. Saya minta dibuatkan angklung dengan cara memainkannya ditabuh.
Pada awalnya, angklung diberi karet untuk menahan getaran. Sekarang sudah diganti dengan per (pegas dari logam).
Kini karena kondisi fisiknya, Rama Jati tidak mampu lagi memainkan anglung yang ditabuh itu. Dewi Kanti, putrinya yang mendampingi, menjelaskan, beberapa tahun sebelumnya, Rama Djati masih mampu memainkan alat musik ciptaannya itu.
Di usianya yang 86 tahun itu, Rama Djati terlihat bersemangat melayani wawancara. Namun, kemampuan fisiknya tidak memungkinkan memberikan penjelasan panjang. Berikut beberapa cuplikan wawancara dengan Dewi Kanti, melengkapi penjelasan ayahnya.
Adakah nilai spiritual yang ingin disampaikan tentang pembaruan alat seni musik ini?
Ini berkaitan dengan pemanfaatan bambu atau awi, dalam bahasa Sunda. Bambu untuk angklung itu mengingatkan kesadaran asali karena filosofi awi memiliki makna kesadaran asali atau wiwitan.
Alat musik yang terbuat dari bambu itu menghasilkan pola komunikasi penyelarasan alam. Setidaknya diyakini resonansi yang dihasilkan dari bambu akan disukai tumbuh-tumbuhan yang kita tanam. Suaranya juga akan mengendalikan hama yang merusak tanaman kita.
Setidaknya bagi penerima informasi tentang perubahan alat musik ini bisa menerima alasan yang ilmiah. Hal seperti ini pernah diriset di negara lain, ternyata ada manfaat dari suara- suara yang dihasilkan bambu. Suara-suara dari bambu itu menyelaraskan alam.
Bagaimana Anda menjabarkan kesadaran asali?
Seperti kehidupan sebuah rumpun bambu, tidak dapat dicampurkan dengan tanaman rumpun lainnya. Seperti itulah kesadaran asali kita. Kita mampu mengenali asal diri kita masing-masing dan saling menghormatinya.
Selamanya, rumpun bambu tidak bisa menyatu dengan rumpun singkong, misalnya. Kesadaran asali ini akhirnya membuat kita saling menghargai adanya perbedaan, adanya keberagaman.
Seperti kita yang menghuni Planet Bumi di bagian kutub. Mereka tentu akan kesulitan hidupnya ketika dipindahkan ke bagian lain. Begitu pula dalam kebudayaan. Seperti menyebut suara ayam berkokok dari ayam yang sama, tetapi masyarakatnya bisa menamai sebutan kokok ayam itu dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang menyebut, kongkorongkong, ada kukuruyuk, ada kokoriko, dan sebagainya.
Kesadaran asali membawa kita untuk saling menghargai keberagaman. Kesadaran asali menumbuhkan kesadaran hidup masyarakat yang beda satu sama lain.
Adakah kaitan tumbuhan, seperti bambu, yang kemudian dijadikan alat musik seperti angklung, dengan ajaran Sunda Wiwitan?
Leluhur Sunda dalam menyampaikan ajaran kearifan, salah satunya dengan membaca pesan-pesan alam sebagai tuntunan laku kehidupan. Pesan yang tersirat dalam kitab kehidupan. Setiap ciptaan Yang Mahakuasa, bisa menjadi cermin tuntunan laku. Seperti halnya bambu yang merupakan tanaman khas yang tumbuh subur di tatar Sunda.
Rumpun bambu secara alami menghasilkan suara harmoni semesta.
Bentuk bilah bambu merupakan batang pohon yang di dalamnya kosong atau hampa, tetapi ketika dialiri daya semesta, menghasilkan suara harmoni yang alami. Dari suara harmoni alami itulah leluhur Sunda menciptakan alat musik bambu, termasuk angklung. Filosofi yang terkandung dalam bilah bambu bahwa manusia harus seperti inti bilah, yang kosong tetapi ketika menyatukan diri dengan daya kesemestaan segala laku kehidupan selaras dengan daya semesta.
Daya semesta akan mengalir pada raga yang murni untuk menggugah kesadaran rasa, memunculkan karakter sejati, baik sebagai manusia maupun selaku suatu bangsa.
Adakah ajaran Sunda Wiwitan yang bisa diterapkan dalam kesadaran berbangsa sekarang ini?
Ajaran yang diwariskan leluhur kami adalah pikukuh tilu, tiga ketentuan dalam kehidupan yang harus dipegang teguh; satu di antaranya mituhu kana tanah. Pengertian mituhu kana tanah, tanah diasumsikan sebagai menghormati tanah adegan dan tanah amparan.
Tanah degan adalah raga, jasmani atau salira, di tanah adegan itulah menjelma jirim, jisim, dan ku. Jirim adalah wujud yang memiliki bentuk dan dapat dilihat serta diraba (raga/jasmani). Jirim meliputi tempat pangancikan (tempat tinggal) jisim yang memiliki ules watek (karakteristik), sedangkan jisim adalah pangancikan hurip. Perpaduan antara jirim dan jisim akan mewujudkan adanya kuring (aku).
Adapun tanah amparan adalah tanah yang kita pijak, yang dimaksud tuhu kana tanah bukan berarti tanah yang berwujud bumi, melainkan tuhu atau mikukuh kepada kebangsaan.
Jadi yang dimaksud dengan tanah amparan adalah sifat pribadi bangsa. Maksudnya agar kita selaku manusia yang telah diciptakan menjadi anggota suatu bangsa harus dapat menghargai dan mencintai bangsanya. Arti kata menghargai adalah bahwa kita harus memelihara, memakai, serta melestarikan cara-ciri bangsa sendiri.
Kalau kita telusuri, tinggalan leluhur Sunda yang relevan untuk situasi kebangsaan kita?
Dalam ajaran kami, menjadi keharusan bahwa setiap bangsa harus dapat menghargai dan mencintai kebangsaannya sendiri, harus saling menghormati dan menghargai antarbangsa satu dengan bangsa lainnya. Karena adanya cara-ciri manusia dan cara- ciri bangsa adalah kehendak Tuhan (sudah menjadi hukum adikodrati).
Jelaslah apabila percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka segala ciptaan-Nya pun harus dihargai, yang dalam pelaksanaannya harus menjunjung tinggi cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa.
Apa yang Anda maksud dengan cara-ciri manusia dan bangsa itu?
Cara-ciri manusia seperti welas asih, tata krama, undak usuk, budi daya budi basa dan wiwaha yuda naraga (kemampuan dalam mengendalikan ego diri). Cara-ciri bangsa meliputi rupa (wujud), adat, bahasa, aksara, dan kebudayaan.
Ketika kita merawat karakter sejati kita sebagai manusia dan sebagai bangsa, maka sebagai sesama manusia kita akan berperilaku menjunjung nilai kemanusiaan, dan berbekal kesadaran merawat karakter bangsa, kita akan menghargai juga karakter bangsa yang berbeda-beda, prinsip manusia Sunda adalah tidak mau dijajah dan tidak mau menjajah.
Pandangan Anda terhadap radikalisme ajaran belakangan ini?
Radikalisme agama yang berkembang saat ini, menurut saya, karena cara pandang keagamaannya itu jauh dari inti pesan damai dan cinta kasih dari agama-agama itu sendiri. Agama sibuk menjadi lembaga struktural yang tidak mengolah kemurnian rasa dan jiwa, sibuk memoles bungkus dan aksesori menjadi formal. Rasa damai tidak bisa dinyatakan di atas kertas.
Mewujudkan sikap toleransi yang tulus dari hati, manusia mesti menemukan benang merah kebenaran dari tiap-tiap agama. Adanya sikap mengutamakan ”sepengertian”, meski tidak ”sepengakuan”. Kebenaran sejati tidak akan hadir dari sekadar pembenaran-pembenaran semu.
Apa perjuangan Anda sekarang ini jika bertolak dari peninggalan leluhur ini?
Sebagai pelestari tradisi dan ajaran leluhur, perjuangan yang belum tercapai adalah menegakkan hak atas keadilan dan kesetaraan para pelestari adat di negeri ini. Keberlangsungan tradisi, terawatnya ajaran-ajaran kearifan leluhur, tidak terlepas dari keteguhan para pelestari ini.
Keteguhan mereka merupakan akar penguat kebinekaan bangsa ini. Perjuangan yang belum tercapai juga mengangkat harkat dan martabat putra-putra negeri, mendorong kebijakan-kebijakan konstitusional agar tidak diperlakukan liyan di Tanah Air sendiri. (Putu Fajar Arcana)